UNESCO menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia pada Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage Committe (WHC) di Riyadh, Arab Saudi, Senin (18/9) malam waktu Indonesia. Berikut penjelasan mengenai Sumbu Filosofi Jogja.
Sumbu Filosofi Jogja
Dikutip dari laman resmi Pemda DIY, Sumbu Filosofi Jogja merupakan warisan dari Raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sri Sultan HB I membangun kota Jogja beserta Keraton dengan landasan filosofi.
Sri Sultan HB I menata Kota Jogja membentang dari utara ke selatan dengan Keraton Jogja sebagai titik pusatnya. Lalu mendirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih) di utara, dan Panggung Krapyak di sisi selatannya. Ketiga titik itu lah yang apabila ditarik suatu garis lurus akan membentuk sumbu imajiner atau sumbu filosofi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain tiga titik tersebut apabila ditarik garis lebih ke utara, akan lurus ke Gunung Merapi. Dan bila ditarik terus ke selatan akan sampai ke Pantai Selatan.
Adapun filosofi poros imajiner ini merupakan konsep ketuhanan, yang melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alam.
Atribut Sumbu Filosofi Jogja
Di dalam kawasan Sumbu Filosofi Jogja, terdapat beberapa tempat-tempat atau situs-situs sejarah yang juga mendukung konsep Sumbu Filosofi ini.
1. Panggung Krapyak
Dibangun pada Tahun 1782 pada masa pemerintahan Sultan HB I, bangunan Panggung Krapyak berbentuk yoni yang merupakan simbol perempuan dalam agama Hindu.
Panggung Krapyak juga berkaitan dengan siklus kehidupan karena merupakan representasi dari rahim, tempat di mana kehidupan pertama kali muncul dan dimaknai sebagai awal perjalanan hidup manusia.
2. Beteng, Plengkung, dan Pojok Beteng
Beteng, Plengkung, dan Pojok Beteng dibangun pada tahun 1782-1787 dan 1809. Desain dari beteng pertahanan ini menggabungkan elemen Jawa dan Eropa. Plengkung merupakan pintu gerbang yang menghubungkan Kompleks Kraton dengan dunia luar.
3. Kompleks Keraton
Keraton Jogja dibangun dengan konsep tata letak yang mengacu pada makna simbolis peradaban Jawa yang telah dikembangkan dan disempurnakan pada periode Kerajaan Mataram di abad ke-16 M. Mulai dari pemilihan lokasi, ukuran, orientasi, nama, fungsi bangunan, paviliun, plataran, gerbang, dan pohon-pohonnya mengacu pada makna simbolis tersebut.
Pusat Kraton adalah tempat yang paling sakral yang diyakini sebagai titik temu antara dunia makrokosmos dan mikrokosmos. Kediaman Sultan berada di bagian inti Keraton yang mana terdapat bangunan-bangunan sakral tempat diselenggarakannya ritual, tarian dan juga tempat disimpannya api abadi.
4. Tamansari
Tamansari adalah kompleks taman kerajaan utama dan dilengkapi dengan kolam buatan, taman kecil, rumah, dapur, masjid, dan bangunan lainnya. Kompleks ini berfungsi sebagai tempat istirahat dan rekreasi serta tempat meditasi dan ibadah keagamaan.
Tamansari juga berfungsi sebagai bangunan pertahanan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan terowongan bawah tanah yang tersembunyi. Sultan HB I memprakarsai pembangunan Tamansari pada pada tahun 1758-1765 Masehi.
5. Kagungan Dalem Masjid Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Masjid Gedhe)
Masjid Gedhe yang terletak di barat Alun-alun Utara ini dibangun pada Tahun 1773 dengan gaya arsitektur Hindu Jawa. Selain digunakan sebagai tempat ibadah Masjid Gedhe juga untuk upacara dan festival ini memiliki arti penting bagi masyarakat setempat dan Kraton.
6. Pasar Beringharjo
Pasar Beringharjo terletak di sisi timur Sumbu Filosofi kurang lebih 500 m di utara Kraton Jogja. Tata letak ini sesuai dengan Konsep Ibu Kota Kerajaan Jawa yang mengharuskan Sultan menyediakan Pasar di Timur Laut dari Kraton.
7. Kompleks Kepatihan
Beberapa upacara penting berlangsung di Kompleks Kepatihan termasuk upacara pernikahan kerajaan. Pada penyelenggaraan upacara pernikahan ini prosesinya dimulai dengan persiapan upacara di Kraton dan diantar dalam arak-arakan menuju Kompleks Kepatihan melalui Alun-alun Utara, Pangurakan, dan Jalan Malioboro di sepanjang Sumbu Filosofi bagian utara.
8. Tugu Golong Gilig atau Pal Putih
Tugu ini berbentuk tiang silinder setinggi 25 meter dengan bulatan di atasnya, yang menandakan persatuan rakyat dan Sultan. Tugu ini juga menjadi fokus utama Sultan selama meditasinya untuk menyatu dengan Tuhan.
Tugu melambangkan unsur laki-laki atau lingga (lambang laki-laki dalam agama Hindu). Monumen ini dipasangkan dengan Panggung Krapyak, yang merupakan lambang yoni (lambang wanita dalam agama Hindu) di bagian paling selatan dari sumbu Filosofi.
(rih/apl)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan