Diketahui, Guntur dan Dwi merupakan seniman sekaligus pengusaha batik di jalan Soka, Kalurahan Kepek, Kapanewon Wonosari. Mereka membuka toko bernama "Batik Manding Siberkreasi" yang memproduksi batik tulis dan cap sejak 2010 silam.
Tak hanya toko, keduanya juga mendirikan rumah pelestarian batik bernama "Batik Manding Siberkreasi" pada 10 tahun silam. Tempat tersebut didirikan lantaran keduanya memiliki keinginan untuk melestarikan batik.
Awal Mula Pelestarian Batik
Disambangi detikJogja, di rumahnya sekaligus tokonya, tampak motif-motif batik terlukis di papan. Motif tersebut tampak tak sama dengan motif batik umumnya.
Dua tumpuk helai kain yang sudah dibatik rapi terlipat di sebuah kursi. Sebentang helai kain berwarna hitam terlihat masih dalam proses dibatik bermotif abstrak.
Selain kain, ada pula beberapa peralatan dan bahan membatik seperti canting, malam di wajan, dan bahan-bahan pewarna alami. Ada pula beberapa piagam yang terpampang di atas papan kayu.
"Niat awalnya berdua ini bersepakat untuk melestarikan batik karena ya siapa tahu kalau nggak ada generasi penerus itu, siapa lagi yang mau membatik," jelas Guntur kepada detikJogja, Jumat (26/4/2024).
Lebih lanjut dijelaskan, Dwi menciptakan motif batik khusus untuk belasan kalurahan berlandaskan sejarah di masing-masing kalurahan tersebut. Sejauh ini, sudah ada sekitar 15 kalurahan yang dibimbing hingga secara mandiri bisa membatik.
Diketahui, 15 kalurahan itu tersebar mayoritas di Kapanewon, Tepus, Saptosari, Wonosari, Patuk, Ngawen, Girisubo, hingga Semin.
"Sampai sekarang ada sekitar 15 desa yang sudah dibimbing dan itu sampai mereka bisa produksi secara mandiri," ungkap Dwi.
Menurut Dwi, awal keinginan untuk melestarikan batik tumbuh setelah melihat ibu-ibu di wilayahnya yang mayoritas menjadi ibu rumah tangga. Akhirnya dia memutuskan untuk memberikan bimbingan agar mereka bisa berkegiatan di luar rumah.
Berawal dari kalurahan di tempat tinggalnya, berlanjut ke kalurahan lainnya. Menurutnya, banyak yang menunjukkan minat untuk diajari membatik oleh keduanya.
"Dari situ mungkin banyak desa-desa yang tahu. Kemudian meminta kita untuk mengajari mereka," katanya.
Biasanya, saat mengajarkan membatik, Guntur dan Dwi akan menyambangi kalurahan-kalurahan tersebut. Mereka lalu membagi masyarakat yang hadir untuk belajar membatik menjadi berkelompok sekitar 20-25 orang.
Di tahap awal, Guntur akan berusaha membangun rasa cinta masyarakat kepada batik dengan cara belajar membatik bersama. Menurutnya, jika kecintaan kepada batik sudah tumbuh, maka kegiatan membatik akan terasa menyenangkan.
"Jadi misalkan ke desa A itu dibuat kelompok paling 20-25 orang. Kita ajak belajar bersama, yang penting mencintai dulu dan tidak berorientasi kepada profit. Kalau sudah mencintai kan melakukannya tidak dengan terpaksa dan dengan senang hati," ungkap pria yang juga merupakan seniman mural itu.
Proses paling awal yang diajarkan ialah cara membuat lingkaran, garis, lengkung, hingga terbiasa. Jika sudah menguasai mereka akan beralih ke proses membatik yakni mencanting.
![]() |
Ciptakan Motif Batik Khusus
Seperti adagium tak cinta maka tak sayang. Pasutri tersebut kemudian menggali sejarah kalurahan yang akan dibina sehingga tumbuh rasa cinta ke batik kreasi mereka sendiri. Dari sejarah kalurahan itu motif batik diciptakan.
"Lalu untuk lebih mencintai, kita gali sejarah desanya. Sejarah desanya apa kita visualkan ke dalam motif batik. Paling tidak kan menjadi kebanggaan warga desanya ketika motif sendiri," ungkapnya.
"Satu untuk melestarikan. Kedua untuk memakainya. Itu menurut saya cara belajar yang efektif," lanjutnya.
Adapun lama proses pembimbingan di satu kalurahan biasanya memakan waktu sekitar satu hingga dua tahun. Proses tersebut dilakukan dua kali dalam sepekan di hari libur.
Jika masyarakat di kalurahan sudah bisa memproduksi batik secara mandiri, mereka akan berpindah untuk membimbing kalurahan lainnya. Kalurahan yang secara mandiri bisa membatik tidak serta-merta mereka lepas. Ada komunikasi yang tetap terjalin dan terkadang pasutri tersebut keliling untuk menengok.
Selain itu dijelaskan, pembinaan yang memakan waktu lama adalah cara warga bisa membatik menggunakan canting. Sebab, Guntur mengatakan banyak proses yang harus dilalui seperti proses menggambar dan mencanting.
"Kalau tulis itu harus gambar dengan pensil, dicanting, proses pewarnaan. Satu lembar bisa satu minggu sampai satu bulan tergantung kerumitan motifnya," katanya.
Penunjang proses pembimbingan turut didukung oleh pihak kalurahan seperti alat membatik pun bahannya. "Itu support dari desa," kata Guntur.
Dwi mengakui proses pembinaan membatik itu melalui seleksi alam atau ada sejumlah orang yang berhenti belajar. Apalagi proses belajar membatik dinilai panjang dan tidak langsung produk yang dibuat oleh masyarakat yang telah dibimbing langsung laku di pasaran.
"Kita perlu proses yang panjang untuk benar-benar bisa laku. Tapi kalau saya selalu memberi semangat ke mereka," ucapnya.
Dari 15 kalurahan yang sudah dibina, kini sekitar 10 kalurahan yang masih produktif membatik. Pasutri tersebut memaklumi hal itu karena masyarakat mempunyai kesibukan masing-masing.
"Kita tidak bisa memaksa karena mereka kerjaan mereka bertani kebanyakan. Dan akhirnya, pengetahuan membatik menjadi sampingan buat mereka," ucap Guntur.
Guntur bersyukur dengan adanya predikat desa budaya. Sebab, kalurahan wajib melestarikan batik yang sudah diciptakan.
Pelestarian Tanpa Upah
Pasutri tersebut tidak menerima upah saat mendampingi masyarakat dalam membatik. Mereka hanya dibayar saat pelatihan awal.
"Saya paling pas pelatihan 3-5 hari dibayar. Setelah itu kita pendampingan sampai selesai itu benar-benar 0 rupiah. Itu keinginan kita," ucapnya.
"Bisa sih kita mengajar dibayar terus kita tinggal. Mau lanjut terserah, mau tidak lanjut terserah. Kalau saya dan istri itu beban moral. Berbagi ilmu tanpa tuntas itu kaya ada yang ganjel," kata Guntur.
"Panggilan hati. Jadi buat kita kan mereka bisa bukan saingan bisnis, tapi jadi mitra. Semakin banyak yang bisa membatik kami senang. Karena cita-cita kami pelestarian batik kan masuk," timpal Dwi.
Alasan Motif Batik Diambil dari Sejarah
Guntur mengatakan mengapa motif batik yang dia ciptakan berasal dari sejarah kapanewon, karena hal tersebut bisa menjadi identitas kapanewon tersebut.
Selain identitas, Dwi mengatakan motif tersebut juga diharapkan mengingatkan anak-cucu di kalurahan tersebut agar tahu tentang sejarah kalurahannya. Terlebih setiap sejarah di kalurahan memiliki arti dan makna berbeda-beda.
"Karena kan setiap sejarah di desa itu kan memiliki arti dan makna, toh. Jadi kan itu kan jadi pengingat anak-cucu mereka nanti. Karena kan kita nggak tahu 25 atau 50 tahun yang akan datang apakah masih ada pembatik tradisional seperti kita, seperti mereka," tuturnya.
Untuk proses penggalian sejarah suatu desa, Guntur mengatakan pihaknya mendapatkan sejarah dari catatan baik dari perangkat desa maupun sesepuh yang masih ada. Kemudian, pasutri tersebut akan membaca catatan sejarah kalurahan dan mendiskusikannya dengan masyarakat. Hingga akhirnya, mereka akan menyimpulkan objek apa yang akan merepresentasikan kalurahan tersebut.
"Nanti kan kita baca dan kita diskusi bareng-bareng dengan perangkat, dengan warga. Nanti ketemu istilah menyimpulkan objek yang jadi simbol. Kebanyakan (sejarah kalurahan di Gunungkidul dari nama pohon," ungkap Guntur.
"Nanti baru digambar sama Mas Guntur," timpal Dwi.
Jika tidak ditemukan sejarah kalurahan, maka mereka akan menggunakan hasil bumi sebagai representasinya. Seperti halnya di Kalurahan Hargosari, Kapanewon Tanjungsari, dan Kalurahan Tepus, Kapanewon Tepus.
"Kayak di Hargosari itu kan hasil produksi warga kan krecek mangling yang dari singkong itu. Itu bisa diaplikasikan ke gambar," kata Dwi.
"Kayak di Tepus itu kan sampai hari ini mencari pohon tepus belum ketemu. Akhirnya pilihannya ke hasil laut. Jadi motif ikan yang namanya Ciptosamudro," lanjut Guntur.
Setiap motif batik memiliki namanya sendiri dan merupakan hasil diskusi warga. Penciptaan motif batik dilakukan berdasarkan poin sejarah. Guntur mencontohkan motif batik Wonopamiro milik Kalurahan Piyaman, Kapanewon Wonosari.
Sejarah Piyaman, kata Guntur, berawal dari pembukaan lahan alas Nongkodoyong. Dulu kota Kabupaten Gungkidul berada di Kapanewon Ponjong. Akhirnya kota kabupaten dipindah ke Wonosari.
"Ini gambarnya tombak Kiyai Pamong, senjatanya Ki Demang Wonopawiro untuk membuka alas. Di tengah ini ada ceplok bunga melati untuk menggambarkan angkernya alas. Dan ini senjata Ki Demang Wonopawiro saat membikin empat penjuru, sedulur papat limo pancer," katanya.
"Di tengahnya ada gambar bulir padi yang melambangkan kesuburan. Daun nangka saya buat daun nangka seperti hati melambangkan kasih sayang dan semangat kegotongroyongan masyarakat yang terjaga sampai hari ini. Namanya batik Wonopawiro yang diambil dari nama Ki Demang Wonopawiro," lanjutnya.
Guntur menerangkan motif batik kalurahan yang sudah digambar yakni batik Wonopawiro sebab berbasis penafsiran sejarah. Penafsiran motif batik yang telah diciptakan itu dicatat dan disimpan di kalurahan.
Pembuatan motif batik kalurahan biasanya memakan waktu sekitar sepekan. Kesulitan membuat motif, jelas Guntur, adalah memvisualkan inti sejarah ke gambar. Untuk pewarnaan bisa dipilih secara bebas. Dwi mengatakan yang menjadi pakem ialah penggunaan malam di batik tulis.
"Kalau warna nggak harus pakem. Yang pakem itu pakai malam," katanya.
(cln/cln)
Komentar Terbanyak
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa