Salah satu produsen mi lethek dibuat industri rumahan di kawasan Dusun Bendo, Bantul. Industri rumahan ini dikelola secara turun-temurun sejak tahun 1940-an.
"Kurang lebih sudah berdiri 1940-an mungkin sebelum 1940-an juga sudah berdiri," jelas pemilik pabrik mi lethek, Yasir Feri saat ditemui detikJogja, Senin (22/4/2024).
Feri yang merupakan generasi ketiga ini mengatakan produksi mi letheknya masih mempertahankan cara lama, yakni menggunakan tenaga sapi. Dia menyebut teknologi tradisional ini justru mendapatkan sertifikasi Kementerian Kebudayaan soal warisan budaya tak benda (WBTB).
"Kan kita sudah masuk dan mendapatkan sertifikat WBTB. Jadi, kalau kita mau naik tingkat ke teknologi ini kita harus tetap dipertahankan tradisionalnya," jelasnya.
"Karena waktu saya ikut seminar itu, kelihatannya mau diangkat menjadi cagar budaya. Karena di Indonesia satu-satunya ini," sambung dia.
Produksi Mi Lethek Butuh2 Hari
Dia menjelaskan proses pembuatan mi lethek membutuhkan waktu sekitar dua hari. Pihaknya pun masih membutuhkan tenaga matahari untuk proses penjemuran mi agar kering.
Feri menerangkan proses pembuatan mi lethek menggunakan tepung tapioka yang dicampur dengan tepung gaplek. Kedua bahan itu lalu dimasukkan ke dalam silinder yang ditarik dengan tenaga sapi.
"Tepung tapioka dan tepung gaplek dicampur dalam silinder yang menggunakan tenaga sapi. Setelah dicampur nanti kita bentuk kota-kotak untuk kita keraskan. Setelah kita keraskan, kita kukus. Setelah dikukus, tepung kembali lagi ke silinder untuk dicampur, dilihat kadar airnya. Setelah itu, masuk ke mesin press, untuk dipress keluar menjadi bentuk mi," terangnya.
"Setelah menjadi bentuk mi, mi itu kita kukus lagi. Setelah itu mie kita dinginkan semalam, dan pagi harinya kita rendam di ember untuk dicuci, agar kayak lendir lemnya itu hilang. Setelah bersih baru kita cetak kotak-kota lalu dijemur," urai Feri menjelaskan proses pembuatan mi lethek pabriknya.
![]() |
Dengan proses itu, butuh waktu sekitar dua hari untuk memproduksi mi lethek. Feri menyebut satu hari digunakan untuk proses produksi, sedangkan hari berikutnya untuk proses penjemuran.
"Hasilnya itu 2 hari ya. Satu hari itu proses pencampuran, besok pagi sehari untuk proses jemur. Buatnya dari pagi sampai sore, dari jam 07.30 WIB sampai pukul 17.00 WIB. Kalau pas cuaca bagus, ya bisa sampai 800 kilo," urainya.
Bahan baku untuk membuat mi lethek sempat berubah-ubah. Dia menyebut pembuatan mi sempat menggunakan bahan campuran beras hingga saat ini konsisten menggunakan tepung gaplek.
"Awalnya campurannya pakai beras, tahun 60-an pakai jagung, lalu tahun berapa pakai onggok. Baru habis itu pakai gaplek," terang Feri.
Berawal dari Niat Syiar
Feri mengungkap ide pembuatan mi lethek ini berawal dari kakeknya yang berasal dari Yaman. Kala itu kakeknya datang ke Indonesia untuk syiar.
"Agar orang saat itu orang bisa mendengar apa yang disampaikan kakek itu salah satunya pangan. Kemudian kakek kepikiran untuk bikin ini (mi lethek), akhirnya tujuan beliau tercapai," jelas dia.
Dia mengaku menjual satu paket mi lethek seberat 5 kilogram dengan harga Rp 100 ribu. Penjualannya pun langsung diedarkan ke distributor di pasar-pasar. Saat ditanya soal omzet, Feri menyebut tak pernah menghitungnya.
"Karena tradisional tadi, jadi kalau menggunakan teknologi ekonomi saat ini yang nggak masuk. Ngitungnya jadi agak mumet," jelas Feri.
Artikel ini ditulis oleh Mutiara Zalsabilah Ridwan dan Dayinta Ayuning Aribhumi peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ams/rih)
Komentar Terbanyak
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Amerika Minta Indonesia Tak Balas Tarif Trump, Ini Ancamannya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa