Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait ambang batas minimum pencalonan presiden atau presidential threshold. Pihak pemohon, Enika Maya Oktavia dan tiga temannya yang seluruhnya merupakan mahasiswa UIN Jogja, awalnya tidak percaya gugatan mereka bakal dikabulkan.
"Saya jawab. Untuk jawaban optimistis atau tidak, jawab jujur, tidak optimistis," kata Enika saat konferensi pers di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogja, Sleman, DIY, Jumat (3/1/2025).
Hal itu tak lepas dari 32 gugatan serupa yang tidak dikabulkan oleh MK. Selain itu, mereka merasa draft gugatan yang dibuat masih jelek. Bahkan saat masuk persidangan, permohonan mereka dikuliti hakim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami ketika kami baca permohonan kami kok jelek ya. Kemudian kami masuk ke sidang pendahuluan. Nah, itu semuanya dikuliti oleh Yang Mulia, Pak Hakim Mahkamah Konstitusi, kami selalu merasa wah ini ternyata change-nya untuk lanjut ke persidangan pokok permohonan saja seperti sangat kecil. Tapi alhamdulillah, alhamdulillah, kemudian lanjut," ungkapnya.
Gugatan ini diajukan empat mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jogja yakni Enika Maya Octavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi. Draft kajian itu juga telah didiskusikan dengan sesama rekan di komunitas.
"Bahkan ketika kami berdiskusi dengan rekan-rekan komunitas pemerhati konstitusi, 9 orang itu memilih bahwa permohonan kami pasti ditolak, dan 8 orang dipilih itu dikabulkan. Jadi, sebenarnya kami pribadi kami merasa sepertinya tidak ada change karena ini akan mengubah peta perpolitikan di Indonesia itu sendiri," ujarnya.
Senada dengan Enika, Faisal Nasirul Haq juga awalnya pesimis permohonan mereka bakal dikabulkan hakim.
"Karena di awal kami sudah berpandangan seperti itu ya. Ini permohonan kami ya, bisa apa gitu," ujarnya.
Meski demikian, terlepas dari putusan hakim, langkah mereka mengajukan permohonan atas Pasal 222 UU No 7/2017 bisa jadi pembelajaran bagi pemohon selanjutnya.
"Jadi ya saya pribadi terlepas dari apa pun amar putusannya yang jelas pasti di bidang hukum dan sebagainya itu ada hal-hal yang bisa berguna bagi mungkin pemohon-pemohon berikutnya apabila kami gugur di perkara ini. Namun ternyata dikabulkan," pungkas dia.
Sebelumnya, dilansir detikNews, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.
Tidak Ingin Terjun ke Politik
Empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogja itu juga menyatakan tidak ingin terjun ke dunia politik.
"Saya tidak mau jadi politisi," kata Enika kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).
Enika bilang, di keluarganya hanya dirinya yang belajar hukum. Selain itu, anggota keluarganya juga tidak ada yang berafiliasi dengan partai maupun kegiatan politik apapun.
"Keluarga saya tidak ada yang paham hukum, tidak ada yang berkaitan dengan politik. Jadi kalau misalnya saya mau di politik atau tidak, rasa-rasanya saya tidak kuat bahwa saya akan jadi politisi," ujarnya.
Rizki Maulana Syafei juga mengaku tidak akan terjun ke dunia politik.
"Tujuan utama kami mengajukan permohonan ini untuk memberi kesempatan yang terbuka luas bagi putra-putri bangsa Indonesia yang mungkin jalannya ingin menempuh langkah politik," ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Faisal Nasirul Haq. "Saya lebih senang menjadi peneliti," kata dia.
Tsalis Khoirul Fatna juga mengatakan hal hampir serupa. Dia bilang tak ada keluarganya yang terjun dalam politik praktis.
"Mungkin orang tua saya pun juga tak tahu apa itu presidential treshold," kata dia.
(rih/dil)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas