Mahkamah Konstitusi atau MK menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang selama ini ditetapkan sebesar 20 persen. Hal tersebut tertuang dalam putusan MK nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025.
Gugatan itu diajukan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Mereka yang membidani lahirnya gugatan ini yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Keempatnya merupakan mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogja.
Salah satu pemohon, Enika, mengatakan gugatan yang diajukan merupakan representasi pendapat personal dan bukan institusi. Meskipun identitas sebagai mahasiswa UIN tak bisa dilepaskan saat proses persidangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sampaikan bahwa permohonan kami ini adalah representasi, permohonan personal dari diri kami sendiri dan bukan merupakan representasi dari pendapat institusi kami, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta," ujar Enika dalam sesi konpres di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Suka Jogja, Sleman, Jumat (3/1/2025).
Dia menegaskan bahwa permohonan gugatan Pasal 222 ini tidak mendapat intervensi dari pihak manapun.
"Kami ingin tegaskan bahwa permohonan kami tidak mendapat intervensi dari organisasi, institusi, maupun partai politik manapun," tegasnya.
Menurutnya, gugatan itu murni dilakukan sebagai bentuk perjuangan akademik.
"Apa yang kami lakukan sekarang, permohonan yang kami lakukan sekarang merupakan murni perjuangan akademis dan juga perjuangan advokasi konstitusional," ujarnya.
Enika melanjutkan, kajian soal presidential threshold sudah dimulai sejak 2023. Saat itu, keempatnya bergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) di fakultas. Mereka kemudian mengikuti debat yang diselenggarakan oleh Bawaslu RI dan sampai babak final.
"Nah, komunitas pemerhati konstitusi ini merupakan komunitas yang dia fokus pada kajian-kajian pendekatan konstitusi dan juga pada respon-respon isu ketatanegaraan. Pada tahun 2023, tim kami, tim debat kami itu mengikuti debat, Bawaslu RI yang memasuki ranah final, yang dimana pada 2023 tersebut final, babak finalnya menggunakan mosi presidential threshold," ujarnya.
Berbekal dari materi dan kajian dari debat tersebut dan ditambah dengan adanya putusan MK 90 akhirnya mereka mulai menyiapkan draft gugatan pada Februari 2024.
"Akhirnya, kami mulai meng-draft atau kemudian menulis terkait dengan gugatan permohonan ini itu di Februari. Di sana kami mulai meng-draft, kami mulai kemudian menulis gugatan permohonan-permohonannya," katanya.
Dari Februari 2024 hingga Januari 2025, mereka terus berproses di MK. Tak kurang 7 kali sidang telah mereka jalani.
"32 putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya menyatakan tidak diterima dan ditolak pasal, ditolaknya permohonan-permohonan tersebut, kemudian di permohonan ke-33 ini, akhirnya Mahkamah Konstitusi dapat menguatkan keinginan dari masyarakat Indonesia itu sendiri," pungkasnya.
Sebelumnya, dilansir detikNews, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, MK menilai pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. MK juga menilai besaran ambang batas lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR.
"Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest)," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
MK lantas menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh ambang batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon, maka dapat dikenakan sanksi larangan ikut serta dalam Pilpres berikutnya.
"Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional," tuturnya.
"Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," imbuh Saldi.
(ahr/ahr)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas