Saat MK Kabulkan Gugatan Presidential Threshold dari 4 Mahasiswa UIN Jogja

Round-Up

Saat MK Kabulkan Gugatan Presidential Threshold dari 4 Mahasiswa UIN Jogja

Tim detikJogja - detikJogja
Jumat, 03 Jan 2025 07:00 WIB
patung dewi keadilan, Dewi Themis yang menjadi simbol keadilan
Ilustrasi gugatan presidential threshold dikabulkan MK. Foto: Ari Saputra
Jogja -

Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna mencetak momen yang tentu akan mereka ingat terus. Pasalnya, gugatan mereka terkait ketentuan ambang batas atau presidential threshold dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Keempat mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jogja ini diketahui melakukan judicial review atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Pasal itu berisi mengenai presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR sebagai syarat mencalonkan presiden dan wakil presiden.

1. Kampus Sebut Putusan MK Monumental

Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN, Gugun El Guyanie, menyebut putusan MK itu monumental.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ya itu satu yang terpenting dari putusan monumental Mahkamah Konstitusi adalah lembaga pengawal konstitusi ini membuka ruang partisipasi publik yang sangat bermakna," kata Gugun saat dihubungi wartawan, Kamis (2/1/2025).

"Kenapa ini monumental? Karena satu, banyak permohonan JR (judicial review) yang ditolak ya soal angka presidential threshold, yang kedua dikabulkannya ini mahasiswa dan kebetulan mahasiswa UIN," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

2. Yakin MK Tidak Disetir Kekuasaan Oligarki

Dengan dikabulkannya JR keempat mahasiswa UIN Jogja, Gugun meyakini MK tidak berada di bawah kekuasaan oligarki, apalagi disetir kekuatan dinasti politik.

"Putusan ini membuat optimisme pendidikan demokrasi dan konstitusi. Karena anak-anak yang masih belajar di perguruan tinggi mempersoalkan satu pasal penting yang lebih dari 30 kali diuji di MK tidak pernah dikabulkan dan momen kali ini dikabulkan," ujarnya.

"Itu artinya bahwa dugaan atau tuduhan bahwa MK itu disetir oleh oligarki, MK itu tunduk pada kekuatan kekuasaan dinasti, itu tidak benar juga dari putusan hari ini ya," imbuh dia.

3. Ungkap Alasan 4 Mahasiswa Lakukan JR Presidential Threshold

Gugatan juga mengungkapkan alasan keempat mahasiswanya menggugat ambang batas presiden threshold. Dia menegaskan tidak ada motif kekuasaan tertentu yang melatarbelakangi aksi mereka.

"Saya kira pertama bahwa apa yang di motif dari pengujian ini, motif JR ini mahasiswa ini objektif, dia tidak tidak ada subjektif kepentingan kekuasaan tertentu. Coba bayangkan kalau yang mengajukan ini misalnya tokoh partai politik yang tidak lolos presidential threshold," katanya.

"Jadi pemohonnya benar-benar ya jelas mereka adalah bagian dari rakyat yang ingin agar ruang-ruang demokrasi itu tidak dikendalikan oleh oligarki dengan cara apa? Dengan cara disikat itu pasal presidential threshold itu," sambung dia.

Gugun berujar, yang dilakukan empat mahasiswa UIN Jogja itu murni berdasarkan kepentingan rakyat. Supaya dalam setiap momen pilpres, calon yang maju bisa semakin bervariasi, sehingga publik bisa mendapat banyak pilihan.

"Betul. Ya, karena mereka mahasiswa itu bagian dari masyarakat yang gelisah. Kalau angka presidential threshold itu tidak dihapus oleh MK, maka setiap pilpres ya ketemunya capres-nya itu-itu aja dari partai-partai besar, yang itu pasti sudah dikooptasi didominasi, dihegemoni oleh kepentingan oligarki," pungkas dia.

Sebelumnya seperti dikutip detikNews, MK menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangannya, MK menilai pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. MK juga menilai besaran ambang batas lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR.

"Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest)," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.




(apu/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads