Mantan Menko Polhukam Mahfud Md mengisi acara Kongres Pancasila XII di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman. Dia sempat ditanyai awak media terkait sejumlah isu.
Di antaranya mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa keputusan pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah keputusan rakyat. Maupun terkait pencabutan TAP MPR terkait Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Mahfud memberikan komentar mengenai isu-isu itu. Apa saja komentarnya, berikut rangkumannya oleh detikJogja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Pernyataan Jokowi soal IKN
Ditemui usai mengisi acara Kongres Pancasila XII di Universitas Gajah Mada (UGM), Mahfud menjelaskan hal yang menjadi keinginan rakyat adalah ketika hal itu ditawarkan dan kemudian dibuat undang-undang. Oleh sebab itu, Mahfud mengatakan bahwa pernyataan Jokowi benar.
"Ya betul kehendak rakyat, karena keinginan Pak Jokowi itu lalu ditawarkan kepada rakyat dan rakyat setuju lalu dijadikan undang-undang. Itu betul, menjadi secara resmi kehendak rakyat," kata Mahfud kepada wartawan, Kamis (26/9/2024).
Lebih lanjut, Mahfud mengatakan, karena hal itu berdasarkan keinginan rakyat, maka masa depan IKN juga berada di tangan rakyat.
"Oleh sebab itu, nasibnya juga bisa ditentukan oleh rakyat. Nasib IKN itu karena dulu kehendak rakyat," tegasnya.
Dilansir detikNews, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut ibu kota pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) bukan keputusan presiden semata. Dia mengatakan keputusan itu adalah keputusan semua masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud adalah setujunya 93% fraksi di DPR atas berpindahnya ibu kota dari Jakarta ke IKN. Dia mengaku keputusan ini tentu tidak mudah.
"Sebuah keputusan yang tidak mudah tetapi itulah yang sudah kita putuskan, kita juga izin kepada DPR. Saya menyampaikan lisan di dalam rapat paripurna tanggal 16 Agustus, kemudian diikuti dengan pengajuan undang-undang mengenai Ibu Kota Nusantara, dan itu disetujui 93% dari fraksi yang ada di DPR," kata Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Badan Amin Zakat Nasional (Baznas) 2024, di Istana Negara, IKN, Kalimantan Timur, pada Rabu (25/9).
2. Pencabutan TAP MPR Terkait Gus Dur
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut kemudian membahas mengenai pencabutan Ketetapan (TAP) MPR Nomor II/MPR/2001 terkait pemberhentian Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selaku Presiden Ke-4 RI.
Menurut Mahfud, langkah itu merupakan relaksasi politik. "Ya relaksasi politik itu istilah yang tepat, relaksasi politik," jelas dia.
Mahfud mengatakan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 sudah tak berlaku lagi setelah muncul TAP MPR No I/MPR/2003. Hal itu menurut Mahfud sudah otomatis tercabut.
"Ya itu kan sebenarnya sudah dicabut ya oleh TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 dianggap itu selesai dan dinyatakan dicabut, tidak berlaku lagi. Sekarang apa dibuat lagi ya dalam rangka konsumsi politik untuk kearifan politik saja," jelas dia.
"Sebenarnya tanpa itu pun seperti Bung Karno (Soekarno, Presiden Pertama RI) itu kan dicabut TAP tentang beliau padahal kan sudah tercabut dengan sendirinya dengan adanya TAP MPR nomor 1 tahun 2003 dan itu diberi gelar pahlawan proklamator," imbuh dia.
Akan tetapi, dengan dicabutnya TAP MPR tersebut, menurut Mahfud bisa menjadi jalan untuk pengusulan gelar pahlawan kepada Gus Dur.
"Tapi itu bagus juga sebagai tata krama politik orang tidak salah kok diadakan TAP MPR-nya meskipun sudah dicabut ya. Jadi diperkuat saja itu cabutannya bagus dan itu menjadi tiket untuk pengusulan pahlawan nasional bagi Gus Dur kan masalahnya cuma itu," pungkas dia.
Sebelumnya, TAP MPR nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kedudukannya resmi tak berlaku lagi. MPR mendorong mantan presiden RI seperti Soekarno, Soeharto hingga Gus Dur untuk diberikan penghargaan yang layak sesuai dengan undang-undang.
"Surat dari fraksi PKB perihal kedudukan ketetapan MPR nomor 2/MPR 2001 tentang pertanggungjawaban presiden KH Abdurrahman Wahid. Berdasarkan kesepakatan rapat gabungan MPR dengan pimpinan fraksi kelompok DPD pada tanggal 23 September yang lalu, pimpinan MPR menegaskan ketetapan MPR nomor 2/MPR 2001, tentang pertanggung jawaban presiden RI KH Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi," kata Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) di rapat paripurna, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/9).
![]() |
3. DPR Sahkan RUU Kementerian Negara
Pakar Hukum Tata Negara merespons mengenai RPR RI yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kementerian Negara yang berisi salah satu klausul terkait jumlah kementerian yang dapat dibentuk oleh presiden yang akan datang. Ia menerangkan sejak dulu presiden boleh mengangkat presiden sesuai kebutuhan.
"Ya ndak papa. Sejak dulu juga presiden itu boleh mengangkat menteri berdasarkan kebutuhan," tutur Mahfud Md.
Mahfud mengatakan, dulunya UU Kementerian berfungsi untuk membatasi jumlah menteri yang diangkat. Akan tetapi, jika hal itu dianggap tidak relevan maka bisa diubah.
"Dulu kan Undang-Undang kementerian itu untuk membatasi agar tidak eksesif. Ya kalau sekarang dianggap itu tidak tepat ya diundangkan yang baru kan boleh saja," ujarnya.
Akan tetapi, Mahfud memberikan catatan. Dia meminta ketika mengubah undang-undang hendaknya dengan cara demokratis dan jujur.
"Itu cara bernegara kan cara keberadaban. Dalam bernegara itu begitu, yang perlu diubah undang-undang ya ubah undang-undang yang penting semuanya demokratis, jujur, terbuka," pungkas dia.
Sebelumnya, DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025.
Rapat digelar di ruang paripurna Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2024). Pengesahan ini diambil dalam agenda pembicaraan tingkat II yang dihadiri oleh 48 anggota DPR RI.
(apu/apu)
Komentar Terbanyak
Kanal YouTube Masjid Jogokariyan Diblokir Usai Bahas Konflik Palestina
Israel Ternyata Luncurkan Serangan dari Dalam Wilayah Iran
BPN soal Kemungkinan Tanah Mbah Tupon Kembali: Tunggu Putusan Pengadilan