Proses autopsi dua jenazah korban Tragedi Kanjuruhan sedianya dilakukan besok Kamis. Namun, autopsi ini mendadak batal digelar. KontraS menyebut ada upaya intimidasi dari polisi, namun hal itu dibantah.
Polisi pun menjelaskan jika autopsi ini batal bukan karena keputusan sepihak dari polisi. Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto mengeklaim, keluarga kedua jenazah tersebut tidak berkenan dilakukan autopsi.
"Bagaimanapun untuk pelaksanaan autopsi kita salah satunya meminta persetujuan keluarga dan hasil informasi yang saya peroleh, hingga saat ini keluarga sementara belum menghendaki untuk dilakukan autopsi," ujar Toni kepada wartawan di RS dr Syaiful Anwar (RSSA) Malang, Rabu (19/10/2022) pagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan Kapolda Jatim soal autopsi jenazah korban Kanjuruhan ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Dokkes Polda Jatim Kombes drg Erwinn Zainul Hakim. Sebelumnya, Erwinn mengaku dua keluarga korban Kanjuruhan setuju untuk dilakukan autopsi.
"Sudah ada dua keluarga yang sepakat untuk melaksanakan autopsi. Kami sudah bekerja sama dengan PDFI, yang akan dilibatkan dalam proses autopsi 20 Oktober atau Kamis depan," kata Erwinn kepada wartawan, Jumat (14/10).
Hal ini pun mendapat sindiran keras dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS). KontraS mengaku mendapat laporan baru dari keluarga korban Tragedi Kanjuruhan bahwa ada upaya intimidasi dari polisi terkait autopsi jenazah.
Sekjen Federasi KontraS Andy Irfan mengatakan, keluarga korban Tragedi Kanjuruhan mendapatkan intimidasi agar membatalkan pernyataan ketersediaan melakukan autopsi. Intimidasi itu dilakukan polisi dengan mendatangi rumah korban berulang kali.
"Kami mendapatkan laporan keluarga korban yang setuju menjalani autopsi didatangi personel kepolisian berseragam lengkap, membawa senjata. Mereka meminta keluarga korban membatalkan pernyataan ketersediaan melakukan autopsi. Meski tidak ada ancaman verbal, ini tetap merupakan bentuk intimidasi secara persuasif," ujarnya Rabu (19/10/2022).
Andy menyampaikan bahwa korban Tragedi Kanjuruhan yang diintimidasi berinisial DA. Pada tanggal 10 Oktober 2022 lalu, DA telah menyetujui pernyataan ketersediaan jenazah putrinya, NDR dan NDA diautopsi untuk mengetahui penyebab kematian mereka. Sejak membuat pernyataan tersebut, kata KontraS, petugas kepolisian terus mendatangi rumah DA setiap hari.
Tidak hanya petugas kepolisian, Aparatur Sipil Negara (ASN) atau perangkat desa setempat juga mendatangi rumah DA. Kedatangan mereka dengan satu tujuan yang sama, yakni meminta agar DA membatalkan surat ketersediaan melakukan autopsi terhadap jenazah kedua putrinya yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan.
"Setelah membuat surat pernyataan bersedia autopsi, besoknya kepolisian mulai datang dan mempertanyakan, 'kenapa mau autopsi? mbok ya sudah ikhlas saja, kan yang sudah meninggal'. Ya sudah daripada jadi masalah buat secara keseluruhan," kata Andy.
Sanggahan Kapolda Jatim saat disebut polisi lakukan intimidasi. Baca di halaman selanjutnya!
Setelah mendapatkan kunjungan berulang kali dan tekanan dari keluarga, warga Kabupaten Malang itu memutuskan untuk membatalkan surat pernyataan ketersediaan autopsi pada Senin (17/10/2022).
Ia menyayangkan tindakan polisi yang terus menerus melakukan intimidasi. Oleh karena itu, KontraS mendesak agar kepolisian lebih terbuka dan harus melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk ikut andil dalam pelaksanaan autopsi.
"Kalau memang mau autopsi, mari kita terbuka! Libatkan komunitas, korban, keluarga, pendamping, dan Aremania agar semua pihak tidak ada yang merasa tidak punya akses informasi," tandasnya.
Menanggapi pernyataan KontraS soal intimidasi tersebut, Kapolda Jatim Irjen Toni Hermanto membantahnya. Toni menegaskan, informasi tersebut tidak benar.
"Tidak benar ya, sekali lagi tidak benar ya!" tegas Toni di RSSA Malang, Rabu (19/10/2022).
Toni mengeklaim, batalnya autopsi 2 jenazah tersebut bukan keputusan sepihak dari polisi. Melainkan karena keluarga kedua jenazah tersebut tidak berkenan dilakukan autopsi.
"Bagaimanapun untuk pelaksanaan autopsi kita salah satunya meminta persetujuan keluarga dan hasil informasi yang saya peroleh, hingga saat ini keluarga sementara belum menghendaki untuk dilakukan otopsi," katanya.
Jenderal bintang dua itu melanjutkan, pada era keterbukaan seperti ini, seluruh informasi dapat diakses oleh masyarakat. Jika memang dugaan intimidasi itu ada, maka publik dengan mudah bisa mengetahuinya.
"Silakan dikonfirmasi ke yang bersangkutan soal itu. Informasi ini sudah diketahui publik, informasi-informasi itu bisa dikonfirmasi," tegasnya.