"Saya bukan lulusan seni, saya lulusan keperawatan di Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang. Memang sebelum saya mengenal dunia tato, saya bekerja sebagai perawat. Pernah kerja di rumah sakit, pernah di klinik, atau homecare," ujar Ovi kepada detikJatim, Senin (9/1/2023).
Perempuan kelahiran 1992 itu mulanya bekerja sebagai perawat seperti pada umumnya. Berjalannya waktu, dia mengalami kesulitan karena memiliki penyakit bawaan bersama anaknya. Hal itu, membuatnya tidak bisa bekerja dengan sif panjang maupun sif malam.
Kemudian, Ovi memutuskan untuk menyesuaikan pekerjaannya dengan beralih dari klinik dokter menjadi pelayanan bagi pasien rawat jalan atau home care.
"Terakhir memang coba kerja di klinik dokter, tapi anakku makin nggak bisa ditinggal, jadi aku pilih home care," kata dia.
Setelah menjalani lika-liku kehidupan, pada tahun 2011 ibu satu anak itu membulatkan tekad untuk meninggalkan pekerjaan sebagai perawat dan beralih ke tato. Keputusan Ovi memilih menekuni tato karena dia suka dengan seni tersebut.
Selain itu, dukungan dari suaminya yang juga merupakan tato artis membuat Ovi semakin yakin untuk menekuni bidang tersebut. Sejak tahun 2011 itu dia dan suaminya membuka jasa tato bersama yang diberi nama Sandria Tatto.
Untuk membuktikan bahwa dirinya kini menjadi orang yang merdeka, Ovi memutuskan untuk menato tubuhnya sendiri. Ovi banyak belajar dari suaminya. Berjalannya waktu, Ovi mulai mengenalkan karyanya kepada teman maupun di media sosial.
"Memang awal sebelum mendalami tato sudah suka dan saya sudah tato badan tapi di bagian yang tidak terlihat. Setelah itu saya ingin merdeka dan memutuskan menato di bagian yang kelihatan sekaligus belajar," ucap Ovi.
Menariknya lagi, seni tato yang dipelajari Ovi bukan seperti biasa, tapi jenis seni tato handpoke atau lebih mudah dikenal dengan metode tanpa mesin. Dalam pengerjaannya, Ovi mengaku memang butuh waktu lama dibandingkan tato pakai mesin.
Ia pun terus belajar dan menekuni seni tato handpoke hingga berhasil mendapatkan formula untuk memangkas waktu pengerjaan. Dari yang seharusnya memakan waktu 2 jam, kini pengerjaan cukup setengahnya saja atau satu jam.
Pada tahun 2019 adalah awal dirinya menerima customer pertama dan berani mematok harga. Meski begitu, sebelum menerima pelanggan pertama, Ovi juga belajar banyak mengenai standar operasional prosedur dalam mengaplikasikan tato di tubuh seseorang.
Sebab, tak boleh sembarangan. Ia harus menjaga kebersihan hingga kehigienisan dan keamanan pelanggannya. Ia gigih pula mengampanyekan SOP bagi tattoo artist mengingat latar belakang Ovi sebelumnya bergelut di bidang kesehatan.
"Sebenernya aku pengen belajar pakai mesin tatoo awalnya, tapi suami aku mengarahkan aku untuk Handpoke Tattoo aja dengan alasan Handpoke Tattoo sebetulnya cukup banyak yang belum menerapkan SOP," terang Ovi.
"Kadang mereka yang pakai metode handpoke masih nato teman sendiri, tanpa sarung tangan, pakai jarum bekas, atau pakai tinta nggak original, itu kan cukup berbahaya bagi kesehatan dan tidak sesuai dengan SOP," sambungnya.
Untuk biaya sekali menato handpoke, Ovi membanderol dengan harga sekitar Rp 250 ribu untuk ukuran standar 10 sentimeter. Tapi biaya tersebut bisa meningkat tergantung pada kerumitan desain yang diminta oleh pelanggan.
Hal itu yang membuat Ovi akan berkonsultasi dan memastikan harganya dengan pelanggan sebelum mulai menato. Sehingga di akhir setelah proses tato selesai, harga tidak akan berubah-ubah. Sejauh ini tarif paling mahal yang pernah ia kenakan sebesar Rp 800 ribu dengan kerumitan tinggi.
"Sebulan saya ngerjakan itu kisaran 6 orang. Tapi kalau secara kolektif di Sandria Tatto sama suami bisa melayani sekitar 20 sampai 25 orang dalam satu bulan," terangnya.
Ovi berharap ke depan bisa mengembangkan kemampuannya dalam menato dan memiliki studio tato sendiri di tempat strategis. Ia juga berkeinginan bisa membuka workshop untuk siapapun yang ingin belajar.
"Pengen banget bisa sharing sama artis handpoke lainnya. Juga bisa bikin event handpoke," tandasnya.
(dpe/dte)