Warga Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, tak merasakan carut marut terkait pembelian gas LPG 3 kilogram. Mereka tak khawatir akan kebutuhan energi untuk memasak setiap hari di rumah.
Sebab, selama ini warga Talangagung merupakan penerima manfaat dari gas metana (CH4) yang dihasilkan dari pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talangagung. Program ini digagas oleh Pemkab Malang sejak 2009.
Warga desa setempat memanfaatkan gas metana untuk kebutuhan sehari-hari, menggantikan penggunaan elpiji yang kini tengah ramai jadi sorotan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aniatul, salah satu warga penerima manfaat gas metana mengatakan, dirinya sudah beberapa tahun ini menggunakan gas metana.
Dengan adanya fasilitas tersebut, keluarganya merasa terbantu, terlebih gas metana dapat ia dapatkan secara cuma-cuma alias gratis.
"Cukup membantu, karena ini gratis. Apalagi kalau ada kelangkaan gas elpiji, jadi gak perlu susah cari elpiji," ujar Aniatul ditemui wartawan di kediamannya, Rabu (5/2/2025).
Selain penggunaan gas metana secara gratis, TPA Talangagung juga memberikan fasilitas penyaluran secara cuma-cuma. Termasuk memberikan satu kompor gas di sebanyak kurang lebih kepada 300 pengguna.
"Semua gratis, mulai dari pemasangan pipa, kami juga mendapatkan kompornya gratis," katanya.
Meski demikian, beberapa kendala masih dialami Aniatul dalam memanfaatkan gas metana. Salah satunya, yakni kondisi besaran api yang tidak menentu, beberapa kali api yang dihasilkan cenderung kecil.
"Tidak selalu lancar, apalagi setelah TPA kebakaran. Apinya cenderung kecil, tapi ya karena memang tidak berbayar jadi ya kami menyadari, penggunanya juga mulai banyak," bebernya.
Sementara itu, petugas TPA Talangagung Rudi Santoso menambahkan, ada sebanyak 300 kepala keluarga (KK) yang telah dialiri gas metana di Dusun Kasin, Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen sebagai bahan bakar.
Gas metana ini berasal dari proses pembusukan sampah organik di TPA Talangagung. Gas metana ini kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk pemanasan, memasak, dan pembangkit listrik.
"Kita manfaatkan kadar panasnya ini. Di TPA Talangagung digunakan untuk pembangkit listrik 5.000 watt. Selebihnya nanti dipakai untuk masyarakat, untuk kebutuhan memasak sehari-hari, dialirkan 24 jam non stop dan gratis," imbuh Rudi terpisah.
Rudi menerangkan, gas metana ini dilakukan proses purifikasi atau pemurnian terlebih dahulu sebelum disalurkan ke rumah-rumah warga. Sebab, kadar gas metana yang disalurkan ke warga tidak boleh melebihi angka 65 persen.
"Jadi biogas yang dari landfill tidak serta merta langsung kita kirimkan. Ada proses pemurnian terlebih dahulu. Kita alirkan dan batasi maksimum gas metan nya itu hanya sekitar 65 persen. Jangan sampai lebih. Kalau lebih itu berbahaya, sangat mudah terbakar," ujarnya.
Gas metana disalurkan ke rumah-rumah warga menggunakan pipa PVC seperti layaknya pemasangan pipa air. Pipa PVC ini diklaim lebih baik dari pipa besi karena minim resiko pecah atau kebocoran gas.
"PVC lebih aman, lebih awet, dan lebih murah. Kalau pecah masyarakat bisa langsung ganti. Sejak 2010 sampai 2025, selama 15 tahun, belum pernah terjadi hal yang tidak kita inginkan, ledakan atau kebakaran. Sampai sejauh ini aman, karena tidak sama dengan elpiji," bebernya.
Rudi mengaku, gas metana ini cukup membawa dampak bagi industri rumahan yang ada di sekitaran TPA Talangagung, seperti keripik singkong dan berbagai macam snack.
Sehingga selain dampak lingkungan, pemanfaatan gas metana ini juga dapat membantu ekonomi warga sekitar.
"Jadi ada dampak sisi ekonomi, juga sisi lingkungan. Secara tidak langsung masyarakat pengguna biogas ini ikut andil dalam menjaga efek pemanasan global dari gas metana itu sendiri," pungkasnya.
Ngalam Mbois adalah rubrik spesial detikJatim yang mengupas seputar seluk-beluk, capaian, prestasi, dan kelokalan khas yang ada di Malang Raya. Ngalam Mbois tayang setiap hari Senin.
(hil/iwd)