- Sejarah Jenang Sengkolo Malam 1 Suro
- Filosofi Jenang Sengkolo 1. Simbol Dualitas Kehidupan 2. Ungkapan Rasa Syukur dan Penyerahan Diri 3. Penolak Bala dan Penjaga Keselamatan 4. Simbol Kesuburan dan Kelestarian Alam 5. Pengingat Etika Mengelola Harta Titipan
- Resep Jenang Sengkolo Bahan-bahan: Cara membuat:
Setiap budaya memiliki cara tersendiri dalam menandai waktu-waktu istimewa, termasuk masyarakat Jawa yang memaknai malam 1 Suro dengan berbagai simbol tradisional. Salah satu yang paling menonjol adalah jenang sengkolo, bubur merah putih yang sarat makna. Dalam sejarah jenang sengkolo, makanan ini bukan sekadar sajian kuliner, melainkan media pengingat akan nilai-nilai kehidupan.
Filosofi di balik jenang sengkolo juga erat kaitannya dengan refleksi diri dan pengharapan akan tahun yang lebih baik. Warna merah dan putih pada bubur tersebut melambangkan dualitas hidup.
Lantas, peristiwa apakah yang menginspirasi penyajian jenang sengkolo pada malam 1 Suro atau pada hari Asyura? Mari kita cari tahu sejarah lengkapnya, detikers!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Jenang Sengkolo Malam 1 Suro
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan dalam laman resmi Nahdlatul Ulama serta buku Misteri Bulan Suro oleh Muhammad Solikhin, bubur merah putih, yang disebut juga sebagai jenang sengkolo atau bubur suro memiliki akar sejarah yang kuat dalam tradisi Islam di Nusantara. Khususnya berkaitan dengan peringatan hari Asyura pada bulan Muharram.
Tradisi ini bermula dari kisah Nabi Nuh AS yang turun dari kapal setelah peristiwa banjir bandang besar. Ketika beliau dan umatnya mencapai daratan, Nabi Nuh bertanya apakah masih ada sisa bekal dari pelayaran.
Setelah mengetahui bahwa masih ada, beliau memerintahkan agar semua sisa bahan makanan tersebut dicampur menjadi bubur, lalu dibagikan kepada orang-orang sebagai bentuk rasa syukur karena telah diselamatkan oleh Allah. Dari sinilah awal mula tradisi membuat bubur sengkolo, sebuah simbol keselamatan dan rasa syukur atas rahmat Allah yang diberikan dalam momen-momen penting dalam sejarah umat manusia.
Selain sebagai simbol keselamatan, bubur suro atau jenang sengkolo juga menjadi media pelestarian sejarah besar lainnya dalam Islam, yakni kemenangan Nabi Musa AS atas Fir'aun, yang juga terjadi pada hari Asyura. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh masyarakat Jawa dalam bentuk bubur merah (abang) dan bubur putih yang disajikan secara berdampingan.
Dalam kebudayaan ini, bubur putih dimaknai sebagai simbol kesucian, kebenaran, dan rasa syukur, sebagaimana rasa syukur Nabi Musa AS atas kebebasannya dari tirani Fir'aun. Bubur ini juga menjadi simbol kemenangan moral Sayyidina Husain bin Ali di Karbala, meskipun secara duniawi ia gugur di tangan penguasa zalim Yazid bin Muawiyah.
Filosofi Jenang Sengkolo
Dirangkum dari penjelasan di dalam buku Medang Kamulan oleh Ki Awu Ning Gni, Etika Jawa oleh Sri Wintala Achmad, Sastra Rempah oleh Aprinus Salam, Kejawen oleh Universitas Negeri Yogyakarta, Islam di Tengah Tradisi Mistis Masyarakat Jawa oleh Nurhadi Faqih, jenang sengkolo memiliki filosofi yang mendalam, khususnya bagi umat Islam yang berada di Jawa maupun masyarakat Jawa pada umumnya. Mari simak pembahasannya!
1. Simbol Dualitas Kehidupan
Jenang sengkolo disajikan dalam dua warna, yaitu merah dan putih. Warna merah melambangkan darah, unsur feminin, atau unsur ibu. Sementara warna putih melambangkan mani, unsur maskulin, atau unsur bapak. Penyatuan keduanya mencerminkan asal muasal manusia, yaitu pertemuan dua unsur penciptaan.
Dalam konteks yang lebih luas, perpaduan warna ini menyimbolkan dualisme kehidupan, yaitu baik dan buruk, terang dan gelap, lahir dan batin, serta maskulin dan feminin. Masyarakat Jawa meyakini bahwa keseimbangan antara dua unsur ini harus dijaga agar kehidupan tetap harmonis.
2. Ungkapan Rasa Syukur dan Penyerahan Diri
Jenang abang putih juga memiliki fungsi sebagai media rasa syukur. Dalam upacara penyambutan tahun baru atau awal bulan Sura, jenang ini menjadi simbol doa dan harapan. Disajikan sebagai bentuk penyerahan diri kepada Tuhan, jenang ini menyiratkan bahwa manusia sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada kuasa Ilahi.
3. Penolak Bala dan Penjaga Keselamatan
Dalam berbagai upacara adat, jenang sengkolo juga dipercaya berfungsi sebagai tolak bala. Kehadirannya diyakini mampu menangkal roh jahat dan energi negatif, terutama dalam konteks pertunjukan wayang topeng.
4. Simbol Kesuburan dan Kelestarian Alam
Dalam upacara bersih desa, jenang abang putih diposisikan sebagai simbol kesuburan dan keabadian. Warna merah yang mewakili darah dan warna putih yang melambangkan mani menegaskan makna regenerasi dan siklus kehidupan yang terus berputar.
Jenang ini menjadi bentuk harapan agar alam tetap lestari, hasil bumi melimpah, dan manusia dijauhkan dari malapetaka. Ia menjadi bagian dari hubungan sakral antara manusia dan alam yang harus dirawat dengan kesadaran spiritual dan budaya.
5. Pengingat Etika Mengelola Harta Titipan
Filosofi lain yang melekat pada jenang sengkolo adalah sebagai pengingat agar manusia bijak dalam menggunakan harta titipan dari Tuhan. Dalam ajaran Jawa, harta yang dimiliki bukan sepenuhnya milik pribadi, melainkan titipan (nggadhuh) dari Sang Pencipta. Oleh karena itu, jenang ini juga berfungsi sebagai pengingat moral agar manusia tidak serakah, tidak merusak, dan senantiasa bertanggung jawab terhadap apa yang dimiliki.
Resep Jenang Sengkolo
Kini, detikers bisa mencoba membuat jenang sengkolo sendiri di rumah sebagai bentuk pelestarian warisan budaya dan wujud refleksi diri. Berikut langkah-langkahnya yang dijelaskan oleh Hindah Muaris dalam bukunya Bubur Manis Nusantara.
Bahan-bahan:
- 250 gram beras putih, cuci bersih dan rendam minimal 1 jam
- 1 liter santan encer (dari 1 butir kelapa)
- 500 ml santan kental (dari 1 butir kelapa)
- 2 lembar daun pandan
- 2 lembar daun salam
- 1 sendok teh garam
- 200 gram gula merah, disisir halus
Cara membuat:
- Masak beras bersama santan encer, daun pandan, daun salam, dan garam. Aduk terus di atas api sedang agar tidak pecah santan. Masak hingga beras matang dan berubah menjadi bubur yang kental.
- Setelah bubur mengental, tuangkan santan kental. Masak sebentar saja hingga tercampur rata dan harum. Angkat dan dinginkan sejenak.
- Bagi bubur menjadi dua bagian. Ambil satu bagian, masak kembali bersama gula merah yang telah disisir. Aduk rata hingga warna bubur menjadi merah kecokelatan dan gula larut sepenuhnya.
- Siapkan mangkuk atau wadah saji. Tata bubur putih dan bubur merah secara berdampingan atau selang-seling sesuai selera. Sajikan hangat sebagai sajian simbolis penuh makna.
Demikianlah tadi penjelasan lengkap mengenai sejarah jenang sengkolo yang kerap tersaji pada malam 1 Suro. Semoga bermanfaat!
(sto/rih)