Masyarakat di wilayah Jogja punya cara tersendiri dalam memaknai datangnya malam satu Suro yang berlangsung setiap tahunnya. Ada begitu banyak tradisi yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menyambut momentum sakral tersebut. Apa sajakah itu?
Sebelumnya, mari mengenal terlebih dahulu dengan istilah malam satu Suro. Secara umum, malam satu Suro dapat dimaknai sebagai malam yang bertepatan dengan hari pertama dalam kalender Jawa. Satu Suro juga tak terlepas dari kalender Hijriah atau Islam karena waktu berlangsungnya sering kali bertepatan dengan tanggal 1 Muharram. Adapun tanggal 1 Muharram merupakan Tahun Baru Hijriah atau Islam.
Dijelaskan dalam buku '70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia' oleh Fitri Haryani Nasution, ada begitu banyak tradisi unik yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat di Indonesia pada malam satu Suro. Hal ini tak terlepas dari kepercayaan masyarakat terkait dengan nuansa mistis maupun gaib yang tak terlepas dari malam satu Suro.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut membuat tidak sedikit masyarakat yang mengadakan tradisi tertentu untuk introspeksi sekaligus mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tidak terkecuali bagi masyarakat di Jogja yang sebagian di antaranya juga masih melestarikan sejumlah tradisi malam satu Suro.
Nah, bagi detikers yang penasaran ingin mengenal secara lebih dekat berbagai tradisi malam satu Suro di Jogja, artikel ini akan membahasnya. Simak baik-baik penjelasannya berikut ini, ya.
8 Tradisi Sambut Malam Satu Suro di Jogja
Untuk diketahui, tradisi yang akan diuraikan di bawah ini tak terbatas pada kegiatan yang dilakukan di malam Suro saja. Ada juga beberapa di antaranya yang dilakukan pada tanggal satu Suro atau bahkan sepanjang bulan Suro. Dihimpun dari laman Dinas Kebudayaan DIY, Dinas Kebudayaan Gunungkidul, Museum Sonobudoyo, Kemantren Pakualaman, hingga Kemdikbud RI, berikut rangkuman tradisi sambut malam satu Suro masyarakat Jogja yang menarik untuk dikenal secara lebih dekat.
1. Jenang Suran
Tradisi pertama yang masih dilakukan oleh masyarakat di Jogja saat menyambut datangnya Suro adalah menyantap Jenang Suran atau yang dikenal juga sebagai bubur Suran. Biasanya menjelang 1 Muharram yang menandai Tahun Baru Islam Abdi Dalem Kasultanan Yogyakarta akan menggelar tradisi Jenang Suran. Tradisi ini digelar di kompleks Makam Raja Mataram.
Adapun tujuan diselenggarakan tradisi jenang suran berdasarkan kepercayaan masyarakat Jogja adalah sebagai bentuk rasa syukur atas berbagai kemudahan yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Terutama selama menjalani berbagai aktivitas di tahun sebelumnya.
Tak hanya menyantap Jenang Suran, ada juga kegiatan yang akan dilakukan pada tradisi ini. Sebut saja dengan menggelar tahlilan, doa bersama, hingga menyediakan ubarampe yang berisikan berbagai jenis hidangan. Selain diikuti oleh para Abdi Dalem, tradisi Jenang Suran juga melibatkan masyarakat setempat.
2. Berziarah ke Makam Leluhur
Selanjutnya, ada ziarah ke makam leluhur yang menjadi salah satu tradisi tak terlewatkan selama bulan Suro. Biasanya kalangan masyarakat tertentu akan mengunjungi makam-makam leluhur. Tradisi ini dilakukan berbekal keyakinan yang dipercaya secara turun temurun.
Satu di antaranya adalah adanya kepercayaan tentang keberkahan yang akan didapatkan saat melakukan tradisi tersebut. Oleh sebab itu, tidak sedikit masyarakat yang mengirimkan doa-doa di makam leluhur untuk memberikan penghormatan kepada mereka yang telah tiada.
Bukan hanya itu saja, tradisi ini juga menjadi sebuah wisata religi tersendiri yang berlangsung setiap tahunnya. Ini dikarenakan adanya fenomena sebagian masyarakat yang akan berbondong-bondong mengunjungi makam leluhur untuk menyambut datangnya bulan Suro.
3. Ubarampe
Sebelumnya, telah dijelaskan adanya Jenang Suran atau bubur Suran yang sering kali dibuat untuk disantap di momen malam satu Suro. Tak hanya sekadar menyediakan bubur suran saja, sebagian masyarakat juga kerap menyantap kuliner khas bulan Suro lainnya. Kuliner tersebut biasanya tersaji dalam wujud ubarampe.
Di dalam Senarai Istilah Jawa, ubarampe diartikan sebagai perlengkapan yang dibutuhkan dalam upacara adat. Biasanya ubarampe diwujudkan dalam bentuk jajanan pasar, tumpeng, hingga kemenyan. Khusus ubarampe di malam satu Suro, terdapat berbagai hidangan yang biasanya disediakan.
Adapun ubarampe yang biasanya disajikan bersama dengan bubur suran adalah opor ayam, telur pindang, tempe bacem, hingga sambal goreng. Bahkan ada juga jenis hidangan lain yang biasanya turut disediakan untuk menyambut datangnya malam satu Suro.
4. Jamasan Pusaka
Kemudian ada tradisi bernama Jamasan Pusaka yang menjadi salah satu ritual khas dari Keraton Yogyakarta. Seperti namanya, Jamasan Pusaka adalah sebuah ritual untuk membersihkan benda-benda suci yang dimiliki oleh kerajaan.
Pada tradisi ini seluruh benda sakral akan dicuci dengan cara dibersihkan dengan penuh khidmat. Adapun benda sakral yang dimiliki oleh Keraton Jogja di antaranya ada tosan aji atau senjata, kereta, gamelan, bendera, perlengkapan berkuda, hingga serat atau manuskrip.
Jamasan Pusaka melibatkan para Abdi Dalem yang akan berpuasa dan membersihkan dirinya terlebih dahulu sebelum bertugas dalam tradisi ini. Kemudian para Abdi Dalem juga harus menjaga tutur kata, sikap, dan perbuatan selama melibatkan dirinya dalam Jamasan Pusaka. Biasanya benda milik Keraton Yogyakarta yang akan dibersihkan saat Jamasan Pusaka berupa tosan aji atau kereta.
5. Mubeng Beteng
Tepat di malam Suro, terdapat sebuah tradisi yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Tradisi yang dimaksud adalah Mubeng Beteng. Seperti namanya Mubeng Beteng adalah sebuah tradisi yang diikuti oleh para Abdi Dalem dan masyarakat yang akan mengelilingi benteng keraton.
Tak hanya sekadar mengelilingi keraton saja, orang-orang yang mengikuti tradisi ini juga akan melakukannya dalam kondisi diam atau tidak berbicara. Inilah yang membuat Mubeng Beteng juga dikenal sebagai Tapa Bisu.
Siapa saja yang mengikuti tradisi ini akan berjalan dengan perlahan mengitari beteng Keraton Yogyakarta tanpa menggunakan alas kaki. Tidak hanya itu saja, suasana yang tercipta juga cenderung sunyi. Tujuan dilakukannya tradisi ini sebagai wujud perjalanan lahir dan batin yang dilakukan seseorang serta menunjukkan mereka tunduk kepada semesta.
6. Lampah Ratri
Kalau sebelumnya ada Tapa Bisu, kali ini juga terdapat Lampah Ratri yang dilakukan di Pura Pakualaman. Pada malam satu Suro, Kadipaten Pakualaman juga melakukan Lampah Ratri yang memiliki makna laku prihatin. Tradisi ini memiliki kemiripan dengan Mubeng Beteng.
Hal yang membedakan adalah Lampah Ratri dilakukan di sekitar wilayah Kemantren Pakualaman. Tak hanya diikuti oleh Penghageng Pura Pakualaman, Lampah Ratri juga melibatkan para Abdi Dalem maupun masyarakat secara luas.
Selama melakukan Lampah Ratri, setiap orang akan mengitari rute yang telah ditentukan dengan berjalan dan tidak bercakap-cakap alias dalam diam. Momentum ini juga dapat diisi dengan bermunajat kepada Sang Pencipta agar diberikan keselamatan di tahun yang akan datang.
7. Sedekah Laut
Berikutnya ada tradisi berupa Sedekah Laut yang digelar di wilayah Gunungkidul, DIY. Tradisi ini sering kali dilakukan oleh masyarakat yang ada di sekitar Pantai Baron atau Pantai Kukup yang terletak di Gunungkidul. Sedekah Laut dibuka dengan adanya kenduri atau selamatan yang diwujudkan dalam bentuk gunungan.
Umumnya, gunungan tersebut berisikan makanan atau hasil bumi yang diberikan oleh warga setempat. Tak hanya itu saja, ada sebagian masyarakat yang akan menggunakan pakaian tradisional.
Kemudian orang yang dituakan di wilayah tersebut akan memimpin jalannya tradisi Sedekah Laut. Kegiatan dibuka dengan terlebih dahulu membaca doa kepada Sang Pencipta. Kemudian dilakukan pula taburan bunga atau sejumlah sesaji.
8. Kirab Budaya Satu Suro
Sebelumnya ada tradisi yang dilakukan di wilayah Kota Jogja dan Kabupaten Gunungkidul, kini saatnya bergeser di Kabupaten Bantul. Terdapat sebuah tradisi bernama Kirab Budaya Satu Suro yang digelar oleh masyarakat di sekitar wilayah Pantai Goa Cemara.
Kirab budaya ini dilakukan dengan arak-arakan yang diikuti oleh masyarakat setempat. Para peserta kirab budaya akan berjalan kaki melalui rute tertentu untuk sampai di Pantai Goa Cemara. Tak hanya sekadar berjalan kaki, para peserta tradisi ini juga akan mengenakan pakaian adat dengan membawa berbagai pernak-pernik.
Itulah tadi tradisi sambut malam satu Suro yang biasanya dilakukan oleh masyarakat di Jogja. Semoga informasi ini dapat menambah wawasan baru bagi detikers, ya.
(sto/afn)
Komentar Terbanyak
Kanal YouTube Masjid Jogokariyan Diblokir Usai Bahas Konflik Palestina
Israel Ternyata Luncurkan Serangan dari Dalam Wilayah Iran
BPN soal Kemungkinan Tanah Mbah Tupon Kembali: Tunggu Putusan Pengadilan