Kisah Penghuni Terakhir 'Kampung Mati' di Tengah Hutan Kulon Progo

Kisah Penghuni Terakhir 'Kampung Mati' di Tengah Hutan Kulon Progo

Jalu Rahman Dewantara - detikJateng
Minggu, 18 Jun 2023 17:27 WIB
Kondisi rumah satu-satunya di Kampung Mati, Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023).
Kondisi rumah satu-satunya di Kampung Mati, Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023). (Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng)
Kulon Progo -

Sebuah perkampungan di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditinggalkan oleh hampir seluruh penduduknya. Kini, perkampungan itu tinggal menyisakan satu keluarga yang hidup terisolir. Seperti apa kisahnya?

Kampung Mati. Begitulah julukan yang disematkan masyarakat terhadap sebuah permukiman di wilayah Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo.

Sebutan ini muncul bukan tanpa alasan. Dahulu, area kampung yang berada di tengah hutan kawasan perbukitan Menoreh itu dihuni oleh sedikitnya tujuh kepala keluarga (KK).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lambat laun, mereka memutuskan pergi meninggalkan wilayah tersebut. Eksodus itu membuat kampung ini menjadi sepi dan seakan mati dari geliat aktivitas manusia.

Kendati begitu kampung ini sepenuhnya senyap karena masih ada satu keluarga yang bertahan. Keluarga beranggotakan empat orang, yakni pasangan suami-istri Sumiran (49) dan Sugiati (50) serta dua anaknya Agus Sarwanto (23) dan Dewi Septiani (10) itupun menjadi penghuni terakhir Kampung Mati.

ADVERTISEMENT

"Saya senang di sini, karena kalau cari kayu bakar dekat. Cari rumput dekat, cari daun singkong juga dekat. Air, walaupun itu airnya agak-agak putih, tetap bisa mengalir dari Sendang Pule di atas situ," ucap Sugiati menjelaskan alasannya tetap tinggal di Kampung Mati, Jumat (16/6/2023).

Keluarga ini telah menetap di Kampung Mati sejak 24 tahun silam. Untuk makan dan minum keluarga ini mengandalkan sumber daya alam yang memang masih banyak ditemukan di perbukitan Menoreh. Seperti sumber air bersih, sayur mayur, buah-buahan hingga hewan.

Hal tersebut sedikit membantu menekan biaya pengeluaran keluarga kecil ini. Sebab, keluarga ini tergolong kurang mampu. Sumiran bekerja sebagai tukang kayu dengan penghasilan tak menentu. Sedangkan Sugiati fokus mengurus rumah tangga.

Adapun anak sulung mereka, yakni Agus Sarwanto menjadi pekerja di sebuah pabrik pengolahan makanan di Bantul. Sementara si anak bungsu, Dewi Septiani masih duduk di kelas III, SDN Kutogiri.

Rumah yang keluarga ini huni merupakan warisan dari leluhur Sumiran. Rumah bergaya joglo dengan dinding kayu dan lantai tanah ini tampak mencolok karena menjadi satu-satunya bangunan yang berdiri di Kampung Mati.

Sejauh mata memandang hanya terlihat rerimbun pohon dan pekarangan penuh rumput liar. Dulunya pekarangan itu merupakan area permukiman.

"Di samping rumah ini (pekarangan) kita masih bisa lihat sisa pondasi bangunan. Nah itu bekas pondasi rumah tetangga kami yang sekarang sudah pergi," ujar Sugiati.

"Nah di atas bukit itu juga dulu ada rumah mas. Tapi sekarang yang punya udah pindah," timpal Sumiran.

Sugiati menjelaskan ada sejumlah alasan yang membuat penduduk meninggalkan Kampung Mati. Salah satunya karena jengah dengan kondisi kampung yang terisolir.

"Karena di sini jauh dari jalan yang bisa diakses kendaraan. Harus jalan kaki dulu sejauh 1,5 sampai 2 km. Jadi banyak yang pindah," ucapnya.

"Penduduk terakhir yang pindah itu sekitar 4 tahun lalu. Jadi sejak 4 tahun ini kami memang menyendiri," imbuhnya.

Simak keterangan Dukuh Watu Belah di halaman selanjutnya.

Dukuh Watu Belah, Gunawan mengkonfirmasi hal tersebut. Dia mengatakan dulunya ada 10 rumah termasuk milik keluarga Sumiran.

"Kalau jarak terdekat dari rumah warga lain (dari keluarga Sumiran) kurang lebih 1,5-2 km," ujar Gunawan.

Meski jauh dengan tetangga, keluarga Sumiran tetap bersosialisasi. Keluarga ini juga rutin ikut kegiatan kemasyarakatan seperti hajatan pernikahan, melayat, dan sebagainya.

"Karena untuk yang di wilayah kami itu khususnya di pengunungan seperti ini membudayakan gotong royong. Jadi untuk hubungan kemasyarakatan cukup baik," ujar Gunawan.

Gunawan mengatakan keluarga Sumiran yang masuk kategori kurang mampu juga telah mendapat program bantuan dari pemerintah. Di antaranya PKH hingga Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), yakni program bantuan perbaikan rumah yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat penerima bantuan dalam hal ini masyarakat yang terkategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Karena itu, keluarga ini sebenarnya sudah punya rumah di dekat permukiman penduduk. Hanya saja, Gunawan menyebut adanya masalah internal keluarga membuat Sumiran masih urung pindah dari rumah lamanya di Kampung Mati.

"Iya, untuk dari pak Sumiran sudah terdata di PKH, terus terakhir tahun lalu masuk dapat rumah BSPS, akan tetapi mungkin dengan adanya kendala dari internal keluarga yang belum terselesaikan, jadi rumah itu belum ditempati," jelasnya.



Simak Video "Mengalami Insiden Terperosok di Air Saat Bermain Offroad di Yogyakarta"
[Gambas:Video 20detik]


Hide Ads