"Jadi memqng banyak kalau di sini. Banyak suara-suara juga tapi enggak saya dengerin karena udah biasa. Selain itu juga biar hantunya itu kalau dicuekin malu sendiri, capek sendiri untuk menghantui saya," imbuhnya.
Sumiran dan keluarganya menjadi penghuni terakhir 'Kampung Mati' di Kulon Progo. Hidup sendiri di pelosok hutan membuat mereka akrab dengan pelbagai gangguan baik itu dari hewan liar hingga entitas gaib. Seperti apa kisahnya?
Jauh dari hiruk pikuk perkotaan membuat suasana Kampung Mati yang terletak di pelosok hutan wilayah Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, terasa begitu sunyi. Desiran angin dan kicauan burung menjadi satu-satunya pemecah keheningan wilayah yang masuk kawasan perbukitan Menoreh itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejauh mata memandang, hanya terlihat rerimbunan pohon yang tumbuh memadati bukit. Di bagian lereng bukit inilah terdapat sebuah rumah yang nampak begitu kontras dengan kondisi lingkungan di sekitarnya.
Bagaimana tidak, rumah itu menjadi satu-satunya bangunan yang berdiri di wilayah Kampung Mati. Rumah ini dihuni oleh satu keluarga beranggotakan empat orang, yakni pasangan suami-istri Sumiran (49) dan Sugiati (50) serta dua anaknya Agus Sarwanto (23) dan Dewi Septiani (10). Mereka adalah penghuni terakhir kampung ini pascaeksodus warga beberapa tahun silam.
Hidup tanpa tetangga di tengah hutan yang dikenal wingit itu membuat keluarga Sumiran acap bersentuhan dengan hal-hal mistis.
"Sering sekali," ucap sang istri, Sugiati saat ditanya soal pengalaman mistis yang dirasakan, Jumat (16/6/2023) lalu.
Sugiati, bahkan pernah mengalami kejadian mistis yang hingga ini masih membekas di ingatannya. Kejadian ini bermula saat Sugiati bersama anak bungsunya, Dewi Septiani atau akrab disapa Septi sedang memasak di dapur.
Saat itu di rumah hanya mereka berdua. Sumiran sedang pengajian di luar kampung. Sedangkan anak bungsunya baru keluar. Adapun kejadian berlangsung saat malam hari.
Ketika itu Septi yang masih berusia tiga tahun usil mengganggu ibunya yang sibuk mengolah minyak. Tiba-tiba terdengar suara gebrakan meja dari rumah tetangga. Mendengar hal itu, keduanya lantas terdiam.
Sesaat kemudian terdengar lagi suara dobrakan yang berasal dari jendela kaca rumah keluarga ini.
"Setelah di situ, rumah itu ada orang yang mendobrak meja kemudian lanjut kaca ini yang didobrak. Terus masuk mendobrak meja yang di dalam situ ditambah ada bunyi-bunyian dari piring," ucap Sugiati.
Tak sampai di situ. Sugiati dan Septi kembali dikejutkan dengan penutup panci yang tiba-tiba melayang. Tak tahu harus berbuat apa, mereka pun hanya bisa terdiam.
"Saya eggak tahu rupanya, enggak keliatan. Tapi ternyata Septi ini lihat sosok itu sambil bilang 'Mak saya takut Mak'. Terus saya minta Septi 'Diam aja Sep biarin nanti capek sendiri hantunya'. Gitu. setelah itu saya tidur," jelas Sugiati.
Sugiati juga pernah menjumpai sesosok ular yang ukurannya sebesar kepala manusia. Ular ini memiliki dua kepala. Sosok itu ditemuinya ketika sedang mencari kayu bakar.
"Ya di sana (menunjuk hutan) saya pernah melihat ular besar sebesar kepala manusia. Saat itu saya sedang mencari kayu. Njuk (lalu) sebelum itu waktu anak saya yang besar tadi, yang laki-laki itu usia sekitar 3 tahun ada ular badannya satu kepalanya dua," ucapnya.
Sosok lain yang pernah Sugiati temui yakni pria misterius yang muncul tiba-tiba di area perbukitan dekat rumahnya. Menurutnya sosok ini menggunakan singlet putih dan celan hitam sembari membawa keranjang mata air dan celurit.
"Setelah lihat itu saya langsung pulang. Nah tiba-tiba ada potongan janur yang nancep di kepala saya, langsung saya buang," ujarnya.
"Jadi memang banyak kalau di sini. Banyak suara-suara juga tapi enggak saya dengerin karena udah biasa. Selain itu juga biar hantunya itu kalau dicuekin malu sendiri, capek sendiri untuk menghantui saya," imbuhnya.
Selain Sugiati, hal serupa juga dialami Sumiran. Beberapa kali Sumiran ditimpuk batu oleh sesuatu yang tak berwujud. Biasanya terjadi ketika dirinya sedang mengambil air di sumber mata air dusun setempat.
"Pernah itu pas mau ambil air tahu-tahu ada yang nimpuk pakai batu. Wah saking seringnya jadi udah biasa," ucapnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Banyaknya kejadian mistis di Kampung Mati membuat siapapun yang berkunjung di sini perlu hati-hati. Sebab pernah ada kejadian orang yang tiba-tiba kesasar saat mendatangi kampung tersebut padahal hari masih terang.
"Sering juga itu, ada yang lewat sini mau ke kampung sebelah. Nah harusnya kan enggak sampai sejam ya, nah itu ternyata dibuat kesasar sampai hampir enam jam muter-muter di situ. Makannya harus hati-hati, terutama kalau datang pas surup (senja)," jelasnya.
Selain hal-hal gaib, keluarga inj juga sering mendapat gangguan dari hewan-hewan liar yang jamak ditemui di perbukitan menoreh. Di antaranya ular kobra dan celeng.
"Yang paling sering itu ular sama celeng mas. Bahkan yang Septi itu pernah digigit ular kobra, untung masih bisa diselamatkan," ucap Sumiran.
"Saya juga cukup sering ketemu ular jenis ini. Dan beberapa kali hampir kena patok," imbuhnya.
Meski penuh dengan gangguan, keluarga ini memutuskan tetap tinggal menyendiri di Kampung Mati. Alasannya karena mudah mendapatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Saya senang di sini, karena kalau cari kayu bakar dekat. Cari rumput dekat, cari daun singkong juga dekat. Air, walaupun itu airnya agak-agak putih, tetap bisa mengalir dari sendang pule di atas situ," ucap Sugiati.
Sementara itu Dukuh Watu Belah, Gunawan mengkonfirmasi hal tersebut. Dia mengatakan dulunya ada 10 rumah termasuk milik keluarga Sumiran yang menetap di area perkampungan tersebut. Karena akses jalan yang sulit, banyak warga yang pindah sehingga menyisakan satu rumah saja.
"Karena di sini waktu itu masih ada 10 rumah termasuk Bapak Sumiran, tapi berjalannya waktu karena akses jalan yang mungkin tidak bisa dibuka khususnya untuk yang di RT 45 atau di wilayah Pak Sumiran ini warga itu berpindah ke tempat yang lebih dekat dengan akses jalan karena mungkin juga mengingat dari kewilayahan di seputaran sini itu memang agak sulit letak geografisnya," ucapnya.
"Kalau jarak terdekat dari rumah warga lain (dari keluarga Sumiran) kurang lebih 1,5-2 km," imbuhnya.
Meski jauh dengan tetangga, keluarga Sumiran tetap bersosialisasi. Keluarga ini juga rutin ikut kegiatan kemasyarakatan seperti hajatan pernikahan, melayat, dan sebagainya.
"Karena untuk yang di wilayah kami itu khususnya di pengunungan seperti ini membudayakan gotong royong. Jadi untuk hubungan kemasyarakatan cukup baik," ujar Gunawan.
Gunawan mengatakan keluarga Sumiran yang masuk kategori kurang mampu juga telah mendapat program bantuan dari pemerintah. Di antaranya PKH hingga Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), yakni program bantuan perbaikan rumah yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat penerima bantuan dalam hal ini masyarakat yang terkategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Karena itu, keluarga ini sebenarnya sudah punya rumah di dekat permukiman penduduk. Hanya saja, Gunawan menyebut adanya masalah internal keluarga membuat Sumiran masih urung pindah dari rumah lamanya di Kampung Mati.
"Iya, untuk dari Pak Sumiran sudah terdata di PKH, terus terakhir tahun lalu masuk dapat rumah BSPS, akan tetapi mungkin dengan adanya kendala dari internal keluarga yang belum terselesaikan, jadi rumah itu belum ditempati," jelasnya.
Simak Video "Mengalami Insiden Terperosok di Air Saat Bermain Offroad di Yogyakarta"
[Gambas:Video 20detik]
(aku/aku)