Menyusuri Jejak Terakhir Kampung Mati di Pengasih Kulon Progo

Terpopuler Sepekan

Menyusuri Jejak Terakhir Kampung Mati di Pengasih Kulon Progo

Tim detikJateng - detikJateng
Minggu, 25 Jun 2023 14:02 WIB
Sulitnya akses menuju kampung mati di Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023).
Sulitnya akses menuju kampung mati di Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng
Solo -

Kampung Mati, demikian julukan yang disematkan untuk sebuah daerah di Kulon Progo karena kondisinya yang nyaris tak berpenghuni. Hanya satu keluarga yang bertahan di kampung itu dan menceritakan perjuangan hidup hingga gangguan mistis yang dialaminya.

Kampung mati ini berada di Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sempat dihuni tujuh kepala keluarga, kini hanya tersisa satu yakni Sumiran (49) bersama istrinya yakni Sugiati (50) dan dua anaknya Agus Saarwanto (23) dan Septiani (10).

Kampung itu kehilangan penghuninya karena letaknya yang di tengah hutan membuat tidak adanya akses yang memadai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berada di lokasi terpencil dan nyaris terisolasi, lokasinya jauh dari fasilitas publik seperti pasar, klinik, maupun kantor pemerintahah. Pun demikian dengan permukiman penduduk terdekat yang jaraknya bisa mencapai 2 km.

Hanya ada satu cara untuk bisa sampai ke kampung ini, yaitu dengan berjalan kaki menyusuri perbukitan. Jalur yang ditempuh berupa tanah berbatu dan dengan tingkat kemiringan hingga 70 derajat. Kondisi ini tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan, bahkan sepeda sekalipun.

ADVERTISEMENT

"Kalau pas musim hujan itu lebih berbahaya lagi. Selain karena licin, juga kadang ada bebatuan yang tiba-tiba jatuh. Jadi memang harus hati-hati kalau mau ke sini," ujar Sugiati kepada detikJateng, Jumat (16/6/2023).

Sugiati menjelaskan sulitnya akses itulah yang membuat penduduk perlahan meninggalkan Kampung Mati. Mereka jengah dengan kondisi kampung yang terisolir.

"Karena di sini jauh dari jalan yang bisa diakses kendaraan. Harus jalan kaki dulu sejauh 1,5 sampai 2 km. Jadi banyak yang pindah," ucap Sugiati.

"Penduduk terakhir yang pindah itu sekitar 4 tahun lalu. Jadi sejak 4 tahun ini kami memang menyendiri," imbuhnya.

Dukuh Watu Belah, Gunawan mengkonfirmasi hal tersebut. Dia mengatakan dulunya ada 10 rumah termasuk milik keluarga Sumiran yang menetap di area perkampungan tersebut. Karena akses jalan yang sulit, banyak warga yang pindah sehingga menyisakan satu rumah saja.

"Kalau jarak terdekat dari rumah warga lain (dari keluarga Sumiran) kurang lebih 1,5-2 km," imbuhnya.

Meski jauh dengan tetangga, keluarga Sumiran tetap bersosialisasi. Keluarga ini juga rutin ikut kegiatan kemasyarakatan seperti hajatan pernikahan, melayat, dan sebagainya.

Gunawan mengatakan keluarga Sumiran yang masuk kategori kurang mampu juga telah mendapat program bantuan dari pemerintah. Di antaranya PKH hingga Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), yakni program bantuan perbaikan rumah yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat penerima bantuan dalam hal ini masyarakat yang terkategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
--
Hidup tanpa tetangga di tengah hutan yang dikenal wingit itu membuat keluarga Sumiran acap bersentuhan dengan hal-hal mistis.

"Sering sekali," ucap sang istri, Sugiati saat ditanya soal pengalaman mistis yang dirasakan, Jumat (16/6) lalu.

Sugiati, bahkan pernah mengalami kejadian mistis yang hingga ini masih membekas di ingatannya. Kejadian ini bermula saat Sugiati bersama anak bungsunya, Dewi Septiani atau akrab disapa Septi sedang memasak di dapur.

Ketika itu Septi yang masih berusia tiga tahun usil mengganggu ibunya yang sibuk mengolah minyak. Tiba-tiba terdengar suara gebrakan meja dari rumah tetangga. Mendengar hal itu, keduanya lantas terdiam.

"Setelah di situ, rumah itu ada orang yang mendobrak meja kemudian lanjut kaca ini yang didobrak. Terus masuk mendobrak meja yang di dalam situ ditambah ada bunyi-bunyian dari piring," ucap Sugiati.

Tak sampai di situ. Sugiati dan Septi kembali dikejutkan dengan penutup panci yang tiba-tiba melayang. Tak tahu harus berbuat apa, mereka pun hanya bisa terdiam.

Simak lebih lengkap di halaman berikutnya....

Sugiati juga pernah menjumpai sesosok ular yang ukurannya sebesar kepala manusia. Ular ini memiliki dua kepala. Sosok itu ditemuinya ketika sedang mencari kayu bakar.

Sosok lain yang pernah Sugiati temui yakni pria misterius yang muncul tiba-tiba di area perbukitan dekat rumahnya. Menurutnya sosok ini menggunakan singlet putih dan celan hitam sembari membawa keranjang mata air dan celurit.

"Setelah lihat itu saya langsung pulang. Nah tiba-tiba ada potongan janur yang nancep di kepala saya, langsung saya buang," ujarnya.

"Jadi memang banyak kalau di sini. Banyak suara-suara juga tapi enggak saya dengerin karena udah biasa. Selain itu juga biar hantunya itu kalau dicuekin malu sendiri, capek sendiri untuk menghantui saya," imbuhnya.

Selain Sugiati, hal serupa juga dialami Sumiran. Beberapa kali Sumiran ditimpuk batu oleh sesuatu yang tak berwujud. Biasanya terjadi ketika dirinya sedang mengambil air di sumber mata air dusun setempat.

"Pernah itu pas mau ambil air tahu-tahu ada yang nimpuk pakai batu. Wah saking seringnya jadi udah biasa," ucapnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Mengalami Insiden Terperosok di Air Saat Bermain Offroad di Yogyakarta"
[Gambas:Video 20detik]
(sip/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads