Kisah Pak Guru Rasino, Berjuang Lestarikan Seni Gamelan Dalam Gelap

Kisah Pak Guru Rasino, Berjuang Lestarikan Seni Gamelan Dalam Gelap

Agil Trisetiawan Putra - detikJateng
Selasa, 22 Jul 2025 16:38 WIB
Guru tunanetra, Rasino (50), saat ditemui di SMKN 8 Solo, Selasa (22/7/2025)
Guru tunanetra, Rasino (50), saat ditemui di SMKN 8 Solo, Selasa (22/7/2025). Foto: Agil Trisetiawan P/detikJateng
Solo -

Pak Guru Rasino, begitu para muridnya di SMKN 8 Solo memanggil. Sosok guru tunanetra itu mengajar di kelas seni pedalangan. Dia mengajarkan berbagai ilmu budaya tradisional kepada murid di tempat yang dulunya bernama Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) itu, utamanya di bidang musik karawitan dan seni pedalangan.

Rasino lahir 50 tahun yang lalu di sebuah desa di Kebumen dalam keadaan buta. Mengandalkan indra pendengarannya, Rasino kecil menemukan cahaya pada musik tradisional. Ia mengenal musik karawitan itu lewat siaran radio serta pagelaran musik yang terkadang dipentaskan di desanya.

Ketertarikannya pada musik tradisional menumbuhkan tekad pada Rasino kecil untuk belajar memainkan karawitan. Dia mulai belajar musik pelan-pelan di rumah tetangganya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekitar (umur) 10 tahun saya mulai belajar. Di Desa saya ada yang punya alat musik gamelan. Saya waktu itu baru belajar saron saja, tidak pakai notasi, masih feeling saja bunyinya seperti apa," kata Rasino saat ditemui di SMKN 8 Solo, Selasa (22/7/2025).

Dia semakin mendalami alat musik tradisional saat diajak ke tempat salah seorang dalang di sekitar desanya. Di sana, dia diajari memainkan alat musik tradisional lainnya oleh para niyaga yang bekerja pada dalang tersebut.

ADVERTISEMENT

Pada usia 15, Rasino mulai mengenyam pendidikan SD di Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SCPRN) Purworejo. Di sana dia belajar musik, kerajinan tangan, dan pijat. Dia juga mempelajari musik modern.

Lulus dari SD, Rasino melanjutkan pendidikan SMP di SLB A YKAB, Kota Solo. Sayangnya dia kembali tidak menemukan guru musik tradisional di tempat itu. Sehingga dia juga bergabung ke Yayasan Kesejahteraan Tunanetra, untuk bisa mendalami seni musik karawitan.

"Saya pernah ikut lomba penataan karawitan di ISI Solo. Kita dapat juara 3 dan juara grup. Pesertanya se-Solo Raya, tapi grup saya satu-satunya grup tunanetra," ucapnya.

Namun waktu SMA, dia lebih fokus pada musik modern. Sempat membentuk band dengan aliran slow rock bersama teman sekolahnya, Rasino juga sempat ikut grup keroncong sebagai bassist.

Rasino kembali bisa mendalami musik tradisional saat masuk kuliah dengan mengambil jurusan seni karawitan di (Institut Seni Indonesia) Solo. Saat kuliah itu, Rasino semakin banyak mementaskan musik karawitan.

Menyambung Hidup Jadi Tukang Pijat

Kabar duka datang saat Rasino memasuki semester 2. Ayahnya, Lasimun meninggal dunia. Padahal, sang ayah lah yang membiayai hidup dan pendidikan Rasino.

"Ayah saya kuli bangunan. Dia yang membiayai kehidupan dan sekolah saya. Waktu ayah saya meninggal, ibu saya kan tidak tahu soal pembiayaan saya," ujarnya.

Guru tunanetra, Rasino (50), saat ditemui di SMKN 8 Solo, Selasa (22/7/2025)Guru tunanetra, Rasino (50), saat ditemui di SMKN 8 Solo, Selasa (22/7/2025) Foto: Agil Trisetiawan P/detikJateng

Kepergian sang ayah sempat membuat Rasino terpuruk. Namun demi menenangkan sang ibu, Ratinah, dia harus bangkit dan mulai hidup mandiri.

"Saya sempat berbohong dengan ibu saya. Saya bilang agar ibu saya tidak usah bingung kehidupan dan pendidikan saya di Solo, saya bilang saya sudah bekerja di Solo," kata dia.

Rasino mulai putar otak agar bisa mendapatkan uang untuk membiayai kehidupan dan pendidikannya setiap malam, dia pergi ke Stasiun Jebres untuk membuka jasa pijat. Bahkan saat libur semester, dia pergi ke Jakarta untuk bekerja di sebuah rumah pijat.

Selain itu, dia juga pentas musik karawitan. Jerih payahnya dapat menutup kebutuhan hidup dan biaya pendidikannya hingga dia lulus kuliah.

"Pendapatannya hampir sama. Kalau pentas kan tidak setiap hari. Kalau buka pijat, bisa setiap hari meski tidak setiap hari ada yang pijat. Saya setiap malam berangkat bekerja sampai subuh, lalu pagi kuliah," terangnya.

Kisah Rasino selengkapnya baca halaman berikutnya

Jadi Guru Karawitan

Rasino pernah menjadi guru di beberapa tempat, seperti di SCPRN Purworejo dari tahun 2023-2011. Dia berangkat bekerja dari Palur dengan menggunakan kereta api.

Pada tahun 2015, Rasino mulai mengajar di SMKN 8 Solo. Dia mendapatkan honor kontrak dari Pemprov Jateng tahun 2017.

"Pertama saya di SMKN 8 sebagai pengiring di jurusan Pedalangan. Tahun 2017, sesuai ijazah saya, saya diangkat sebagai guru. Biar linier, saya mengajar di Karawitan dan Pedalangan," ucapnya.

Memiliki status sebagai tunanetra, tak menyurutkan semangat mengajarkan musik karawitan kepada anak didiknya. Dia selalu menyiapkan materi pembelajaran terlebih dahulu.

"Kalau teori, saya dulu masih mengetik manual Tapi kalau notasi kan tidak bisa diketik manual, karena ada tangga nada. Jadi saya minta tolong ke teman," ucapnya.

"Sekarang tuna netra sudah dimanjakan teknologi. Jadi kalau saya mau mengajar, tinggal buat modul dengan pdf. Lampiran notasinya tinggal disalinkan saja. Saya tidak pernah mengajar dengan papan tulis," sambungnya.

Jika ada materi baru, Rasino menjelaskan dengan mendikte anak muridnya, yang nanti akan ditulis muridnya.

"Jika praktik, saya tahu ketukannya benar atau tidak. Masing-masing anak kan pegang alat sendiri-sendiri, sehingga bisa langsung saya evaluasi," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(ahr/apu)


Hide Ads