Berlokasi di jantung Kota Pahlawan, sebuah sanggar pedalangan dan karawitan berdiri sebagai wadah yang berperan dalam menjaga seni tradisional Jawa agar senantiasa menyala. Di kala gelombang globalisasi membuat kearifan lokal susah payah mempertahankan eksistensinya, semangat melestarikan seni dan budaya tradisional justru bersemi di kalangan anak-anak di Surabaya.
Komunitas Wayang Bocah atau yang juga dikenal sebagai Sanggar Baladewa telah berdiri sejak tahun 2010, dan aktif berkontribusi untuk menjaga budaya wayang dan karawitan di Indonesia agar tetap hidup. Komunitas ini berdiri atas inisiatif sosok-sosok seniman yang juga menggeluti budaya tradisional Jawa.
Masing-masing memegang peranan penting di Sanggar Baladewa. Di antaranya ada Hario Widyoseno dan Ipung Indarta, lulusan STSI Surakarta jurusan Pedalangan sebagai guru pedalangan, Nanang Pramono lulusan ISI Yogyakarta sebagai guru karawitan, dan Sriyati lulusan STSI Surakarta jurusan Karawitan sebagai guru vokal. Setelah lulus dengan gelar masing-masing, keempat seniman tersebut membentuk sebuah komunitas yang memungkinkan mereka untuk tetap aktif berkesenian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebetulan kami banyak dititipi anak-anak teman kami yang ingin belajar kesenian. Seiring berjalannya waktu, yaudah kami bikinin sanggar saja. Kebetulan juga difasilitasi Taman Budaya," ujar Hario.
Lebih lanjut disebutkan, Taman Budaya telah menyediakan studio karawitan yang dapat dimanfaatkan, sayangnya aktivitas kesenian di sana cenderung pasif, sehingga kehadiran Sanggar Baladewa diharapkan dapat menghidupkan kembali aktivitas karawitan dan pedalangan. Selain agenda latihan rutin, Sanggar Baladewa juga sering terlibat dalam sejumlah kompetisi tingkat nasional, maupun diundang sebagai pengisi suatu pentas kesenian.
Namun, seiring perkembangan zaman, pagelaran kesenian mulai menurun. Sementara itu, anak-anak sanggar dikhawatirkan akan jenuh apabila tidak ada kesempatan menampilkan hasil latihan mereka ke publik. Untuk mengatasi hal tersebut, Sanggar Baladewa kerap menyusun agenda pertunjukan karawitan yang dapat disaksikan masyarakat umum di Taman Budaya.
"Rata-rata umurnya itu dari TK sampai SMP. Meskipun sebenarnya adik-adik itu sampai kuliah pun kalau memang kami rekrut, mereka masih suka datang. Jadi, ini sudah generasi keempat, mau generasi kelima," jelas Hario.
Mengajarkan kesenian musik tradisional Jawa dan pedalangan kepada anak-anak tentu bukan suatu hal yang mudah. Tetapi, proses adaptasi yang panjang diiringi dengan semangat belajar yang tinggi, membuat perjalanan itu menyenangkan. Guru karawitan Sanggar Baladewa Nanang Pramono menyebutkan, anak-anak sanggar memiliki komitmen belajar karawitan yang tinggi.
"Kalau saya sebenarnya karena ketertarikan dari anak-anak sehingga ketika ada hal-hal yang berat pun mereka merasa tertantang, jadi itulah yang menjadi semangat mereka. Kalo hal yang mudah, tapi mereka nggak berminat dan tidak merasa tertantang, ya sulit. Nah, untungnya anak-anak di sini itu karena melihat temannya bisa, maka yang lain merasa tertantang," ujar Nanang dengan penuh semangat.
Terlebih lagi, apabila mendekati minggu-minggu kompetisi, anak-anak akan disiapkan dengan materi tradisi yang harus dikuasai. Materi tersebut di antaranya seperti memulai gending, menghentikan gending, sekaligus mengeraskan dan mengecilkan gending. Oleh karena itu, meski sudah memiliki peranan masing-masing, para pengajar di sanggar harus saling melengkapi untuk memberikan instruksi yang jelas dan dapat diterima dengan baik oleh anak-anak.
Selain itu, setiap anak didik di Sanggar Baladewa memiliki kesempatan untuk mencoba setiap instrumen. Meskipun setiap instrumen karawitan memiliki teknik atau cara memainkannya sendiri, setiap anak didorong untuk mencoba. Melihat antusiasme anak-anak yang masih tinggi untuk menekuni budaya dan kesenian tradisional Indonesia, para seniman optimis bahwa eksistensi kesenian karawitan dan pedalangan akan tetap terjaga ke depannya.
"Kalau selama kami menggeluti Sanggar Baladewa, kami optimis kesenian ini masih bisa jalan sih. Kami yang posisinya ada di perkotaan ternyata peminatnya masih terus ada, sampai hari ini, masih ada anak yang baru masuk daftar. Karena mungkin juga dibantu dengan teknologi informasi dan media, anak-anak ini sudah kenal wayang, karawitan, sinden, dan mereka tergeraknya dari senang itu ingin belajar, jadi gabung ke sini atau ke sanggar lain. Itu yang bikin kami semakin yakin kalau kesenian ini akan tetap eksis terus," ucap Hario, guru pedalangan Sanggar Baladewa.
(irb/iwd)