Brigadir AK alias Ade Kurniawan, pelaku yang menganiaya bayinya berinisial NA hingga tewas, divonis hakim penjara 13 tahun. Ia juga diminta membayar restitusi Rp 74 juta.
Ketua Majelis Hakim, Hasanur Rachman Syah Arif, membacakan vonis terhadap Ade dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Semarang, Kecamatan Semarang Barat. Ade yang hadir mengenakan kemeja putih dan rompi tahanan oranye itu diminta berdiri saat hakim membacakan putusan.
"Menyatakan Terdakwa Ade Kurniawan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan mati, dilakukan oleh orang tuanya," kata Hasanur di PN Semarang, Senin (24/11/2025).
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ade Kurniawan dengan pidana penjara selama 13 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Menjatuhkan pidana terdakwa untuk membayar restitusi sebesar Rp 74,7 juta," lanjutnya.
Hukuman penahanan itu, kata hakim, dikurangi masa penahanan yang telah dijalani Ade. Dalam kasus itu, barang bukti berupa kaos, selimut, hingga buku kesehatan ibu/anak, dikembalikan ke ibu korban.
Dalam putusan, hakim mempertimbangkan keadaan yang meringankan Ade yakni menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya.
"Keadaan yang memberatkan, perbuatan terdakwa menyebabkan NA meninggal dunia. NA adalah anak kandung terdakwa di luar nikah dengan saksi DJP, terdakwa tidak mengakui perbuatannya, seorang aparat hukum yaitu polisi seharusnya mengerti soal hukum," ungkap hakim.
Ade disebut melanggar tiga pasal, yakni Pasal 80 ayat (3) dan (4) juncto Pasal 76C UU Perlindungan Anak, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Hakim menjelaskan, keduanya disebut berkenalan pada sebuah pesta pada akhir Oktober 2023, kemudian menjalin hubungan layaknya pasangan suami istri.
"Dari hasil pemeriksaan USG diketahui bahwa DJP telah hamil dengan usia kandungan 5 minggu. Oleh dokter kandungan tersebut DJP disarankan kontrol kandungan sebulan sekali," katanya.
Usai dinyatakan hamil, DJP meminta terdakwa untuk menikahinya. Terdakwa kemudian menolak menikahi DJP dengan alasan belum siap secara finansial dan telah memiliki rencana menikah dengan orang lain.
"Kemudian terdakwa meminta agar kandungan tersebut digugurkan saja. Namun DJP tidak mau menggugurkan kandungannya dan tetap menuntut agar terdakwa menikahi DJP," ujarnya.
Setelah DJP menolak permintaan untuk menggugurkan kandungan, keduanya sepakat untuk tinggal bersama dan membesarkan anak yang dikandung DJP. Anak mereka, yang diberi nama NA, lahir pada 7 Januari 2025 di sebuah rumah sakit di Kota Semarang.
Hubungan keduanya pun diwarnai konflik. Pada pertengahan Januari 2025, mereka melakukan tes DNA untuk memastikan status biologis anak. Hasil tes menunjukkan Ade adalah ayah kandung bayi tersebut dengan tingkat kepastian 99,99999 persen.
"Selanjutnya, tanggal 1 Februari 2025, keluarga terdakwa datang ke rumah paman DJP untuk membicarakan masalah pertanggungjawaban terdakwa kepada DJP. Terdakwa bersikeras untuk tidak menikahi DJP, tetapi hanya memberi nafkah bulanan," ungkapnya.
Konflik kemudian semakin memuncak saat keluarga DJP dan DJP sendiri kerap mendesak Ade untuk menikah. Ade sisebut merasa tertekan dan kesal atas situasi itu.
(apu/afn)