Jaksa Penuntut Umum (JPU), Saptanti mengungkap fakta bahwa Brigadir Ade Kurniawan sempat melakukan tes DNA untuk memastikan status biologis bayinya, NA yang berusia satu bulan 25 hari sebelum akhirnya melakukan kekerasan hingga bayi itu meninggal dunia.
Hal ini diungkap Saptanti dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Nenden Rika Puspitasari, di Ruang Sidang Wirjono Prodjodikoro, PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat.
Ia mengatakan, tes DNA dilakukan pertengahan Januari 2024 saat Ade yang menjalin hubungan dengan DJP itu mengetahui bahwa DJP telah hamil lima minggu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa probabilitas Ade Kurniawan sebagai ayah kandung dari anak kandung DJP adalah 1,726,562,306,403 kali lebih besar dibanding laki-laki lain dari populasi yang sama. Hipotesis terbukti dengan derajat kemungkinan seorang ayah kandung adalah 99,99999 persen," kata Saptanti di PN Semarang, Rabu (16/7/2025).
Namun, meski tes DNA membuktikan statusnya sebagai ayah kandung, Brigadir Ade tetap menolak untuk menikahi DJP, dan hanya bersedia memberikan nafkah bulanan. Keputusan itu memicu konflik berkepanjangan antara keduanya.
"Saksi DJP dan ibunya sering marah-marah dan mengata-ngatai terdakwa dengan kata-kata kasar," paparnya.
Dianiaya di Mobil
Puncak kejadian terjadi pada 2 Maret 2025. Saat hendak pergi berbelanja ke Pasar Peterongan, Ade disebut melakukan tindakan kekerasan terhadap bayi tersebut, baik di rumah kontrakan maupun di dalam mobil hingga bayi itu menunjukkan tanda-tanda sesak napas, kejang, dan pucat.
"Terdakwa menggunakan jari jempol dan telunjuk pada bagian kepala bayi satu kali disertai rasa kesal dan jengkel atas perlakuan dan perkataan kasar dari DJP," tuturnya.
Bayi itu pun sempat menangis selama tiga menit. Usai menganiaya bayinya, Ade sempat panik karena bayi tersebut mengalami sesak nafas dan terpejam seperti tertidur.
"Terdakwa sempat panik, kemudian terdakwa mengecek detak jantung dan nadi anak korban terdakwa. Ternyata masih ada denyut nadinya dan nafasnya masih ada," kata dia.
Saat hendak menelepon DJP, DJP ternyata sudah berjalan memasuki mobil setelah berbelanja. Ade menyerahkan bayinya dan sempat bercakap-cakap dengan DJP.
Tiba-tiba, DJP mengetahui bayinya terlihat pucat dan bibirnya membiru. Karena DJP panik bayinya tak merespons saat ditepuk-tepuk, bayi itu kemudian dilarikan ke rumah sakit dan sempat mendapatkan perawatan intensif.
"Tetapi pada hari Senin tanggal 3 Maret 2025 sekira pukul 14.00 WIB, anak korban NA meninggal dunia yang disebabkan karena ada cairan yang masuk di dalam paru," ungkapnya.
Tinggalkan Ibu Korban
Bayi NA kemudian dimakamkan. Setelah itu, DJP kembali mendesak pertanggungjawaban Ade untuk menikahinya. Namun, Ade justru meninggalkan DJP tanpa pamit, sehingga membuat DJP semakin jengkel.
"DJP menjadi jengkel dan marah terhadap terdakwa. Kemudian melaporkan perbuatan terdakwa di kantor Polda Jawa Tengah," jelasnya.
Atas permintaan penyidik Ditreskrimum Polda Jateng, dilakukan ekshumasi terhadap makam bayi. Hasil autopsi menunjukkan adanya tanda-tanda kekerasan tumpul pada tubuh korban, termasuk bagian kepala, wajah, dan anggota gerak bagian bawah.
"Sehingga penyebab kematian anak NA bukan karena tersedak susu, melainkan karena kekerasan tumpul pada kepala mengakibatkan perdarahan otak," ungkap Saptanti.
Atas perbuatannya, Ade pun didakwa melanggar tiga pasal, yakni Pasal 80 ayat (3) dan (4) juncto Pasal 76C UU Perlindungan Anak, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Dalam persidangan, Ade mengatakan dirinya merasa keberatan dan hendak mengajukan eksepsi. Kuasa hukum Ade meminta waktu kepada majelis hakim untuk menyampaikan eksepsi minggu depan.
Diberitakan sebelumnya, seorang oknum anggota Polda Jawa Tengah dilaporkan menganiaya bayi usia 2 bulan hingga meninggal. Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jateng saat ini menangani laporan tersebut.
Laporan yang dilayangkan menggunakan Pasal 80 ayat (3) UU RI nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan atau Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang Penganiayaan Berat.
(afn/apl)