Terdakwa kasus dugaan perundungan di PPDS Anestesi Undip, Zara Yupita Azra, menyampaikan tanggapannya atas kesaksian perwakilan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Pamor Nainggolan. Ia mempertanyakan tim Kemenkes yang hanya fokus pada angkatan mendiang dokter Aulia Risma.
Hal itu dikatakan Zara dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Ia mempertanyakan mengapa Kemenkes hanya menyoroti kasus yang menimpa almarhumah Aulia, padahal menurutnya sistem yang disebut bermasalah itu sudah berlangsung turun-temurun dan dialami semua angkatan.
"Mengapa pada kasus ini Pak Pamor fokus korban hanya di angkatan 77, di angkatan almarhum padahal itu sudah suatu sistem yang seperti yang dikatakan Pak Pamor," kata Zara di PN Semarang, rabu (4/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Angkatan 76, angkatan saya, angkatan kakak saya, maupun angkatan adiknya almarhum, sudah melalui semua hal yang sama saat semester 1. Mengapa hanya fokus di korban di angkatan 77 sampai harus menjadikan kami sebagai korban dihukum. Padahal kami melalui hal yang sama," lanjutnya.
Zara juga menyebut interaksinya sebatas teguran karena ia sebagai kakak pembimbing dokter Aulia dan angkatan 77 juga menerima hukuman jika juniornya melakukan kesalahan.
"Yang saya lakukan adalah menegur, karena saya selalu mendapat hukuman atas kesalahan yang Almarhum atau angkatan Almarhum lakukan," tegasnya.
Zara menambahkan, seiring dokter Aulia naik tingkat, hubungan antara dirinya dan almarhum juga disebut tak ada masalah. Ia bahkan menyebut hubungan pribadi mereka baik hingga sebelum korban meninggal dunia.
"Semakin naiknya semester, kami tidak ada lagi hubungan seperti itu. Saya dan Almarhum pun secara pribadi tidak ada masalah, sudah saya sampaikan dari 2023-2024 sampai Almarhum meninggal itu hubungan saya dengan Almarhum terlihat baik dan terlihat dari chat pribadi di HP saya yang sudah rusak," ujarnya.
Zara juga merespons soal iuran angkatan untuk joki tugas senior maupun makan prolong yang sebelumnya disorot dalam persidangan. Menurutnya, kebijakan soal iuran bulanan adalah kesepakatan internal tiap angkatan, bukan paksaan dari senior.
"Iuran bulanan setiap angkatan itu adalah kesepakatan mereka. Kami tidak pernah ada yang menentukan, dari kakak kelas maupun siapapun. Itu semua keputusan dari angkatan 77 sendiri, begitu juga berlaku dengan angkatan saya ke atas maupun ke bawah," terangnya.
Terkait pembagian makan prolong bagi senior dan DPJP yang masih bertugas di RSUP dr Kariadi setelah pukul 18.00 WIB, Zara menyebut itu juga sudah menjadi kebiasaan turun temurun yang hanya berlaku bagi peserta semester awal.
"Setelah naik dari semester satu sudah tidak ada lagi tugas pembagian makan prolong. Karena hanya dilakukan oleh semester satu," jelasnya.
"Makan prolong yang sudah kami habiskan saat semester satu itu semua kami habiskan untuk kami, dari residen untuk residen. Kenapa? Karena kami tidak mendapatkan sarapan, makan siang, dan makan malam dari RSUP dr Kariadi. Dan kami tidak mendapatkan waktu keluar untuk mencari makan," lanjutnya.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Tim Investigasi untuk kasus perundungan PPDS Undip, Pamor Nainggolan, memberikan kesaksian atas adanya perundungan yang diterima dokter Aulia Risma selama menjadi peserta di PPDS Anestesi Undip.
"Terdapat perundungan atas nama Almarhum Aulia Risma dan adanya BOP (Biaya Operasional Pendidikan), pungutan iuran dari PPDS dari 2018-2024 dan itu saya ketahui ketika di dalam penyidikan," kata Pamor di PN Semarang, Rabu (4/6/2025).
Ia mengungkapkan, berdasarkan keterangan mahasiswa PPDS dalam penyelidikan, terdapat iuran BOP sebesar Rp 80 juta dan iuran bulanan yang harus dikeluarkan mahasiswa.
Ia juga mengungkap adanya bentuk perundungan lain yakni operan tugas berupa penyediaan makanan prolong untuk dokter residen dan DPJP yang masih bertugas di RSUP Dr Kariadi di atas pukul 18.00 WIB.
Diketahui, dalam sidang perdana, Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
Sementara Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
(rih/apu)