Tanggapi Kesaksian Ibu dr Aulia, Zara: Saya Tak Niat Bully, Saya dalam Tekanan

Tanggapi Kesaksian Ibu dr Aulia, Zara: Saya Tak Niat Bully, Saya dalam Tekanan

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Kamis, 05 Jun 2025 09:16 WIB
Terdakwa Zara Yupita Azra dalam sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan PPDS Undip, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (4/6/2025).
Terdakwa Zara Yupita Azra dalam sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan PPDS Undip, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (4/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Terdakwa Zara Yupita Azra buka suara membantah kesaksian ibu korban PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dr Aulia Risma, dalam sidang pemeriksaan saksi. Ia membantah tudingan telah melakukan perundungan dan menyebut dirinya juga berada dalam tekanan sistem senioritas.

Hal itu diungkapkan Zara dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Ia menanggapi kesaksian ibu dokter Aulia, Nusmatun Walinah, yang mengatakan dirinya merundung dokter Aulia.

"Saya tidak pernah bermaksud untuk mem-bully almarhum. Semua kalimat yang keluar karena saya berada dalam tekanan," kata Zara di PN Semarang, Rabu (4/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zara menjelaskan, sistem kasta yang berlaku di PPDS Anestesi Undip saat itu membuat mahasiswa semester 2 seperti dirinya kala itu kerap dihukum setiap kali mahasiswa semester 1 melakukan kesalahan.

Seperti diketahui, terdapat sistem kasta di PPDS Anestesi Undip yang mengategorikan mahasiswa dalam 7 tingkatan yang memiliki tugasnya masing-masing.

ADVERTISEMENT

Mulai dari 'kuntul' untuk julukan mahasiswa tingkat satu, kakak pembimbing (kambing) atau mahasiswa tingkat dua, middle senior yakni mahasiswa tingkat tiga-empat, senior atau mahasiswa tingkat lima, chief of chief (COC) atau mahasiswa tingkat 6-7, dewan suro atau mahasiswa tingkat 8 atau akhir, hingga dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

"Memang sistemnya yang mendapatkan hukuman selalu kakaknya. yang semester 2. Semester 1 tidak mendapat hukuman, padahal yang salah semester 1. Hukuman itu juga diberikan angkatan chief of chief atau di atas chief seperti dewan syuro," ujarnya.

Menurut Zara, dirinya hanya menjalankan sistem yang sudah ada. Ia mengklaim tugasnya sebagai kambing hanya sebatas menguji juniornya, termasuk memberikan hukuman berdiri, yang menurutnya hanya sebentar.

"Hukuman berdiri jarang sekali sampai 1 jam, biasanya hanya sebentar. Namun hanya untuk difoto lalu dikirim ke senior, lalu nanti kita evaluasi bareng-bareng," ucap Zara.

"Kenapa (hukuman) selalu jam 02.00 WIB atau 03.00 WIB pagi karena di RSUP dr Kariadi kami pulangnya selalu di atas jam 01.00-02.00 WIB, program dimulai pagi hari jam 04.00-05.00 WIB. Jadwal pulang berbeda sesuai stase dan jadwal kerjanya, jadi tidak pilih kasih," lanjutnya.

Zara juga menepis anggapan bahwa almarhum Aulia disebut tidak mendapatkan perlakuan istimewa usai mengalami saraf terjepit. Ia mengungkapkan, beban dokter Aulia lebih ringan dibanding junior lainnya.

"Saya bersaksi untuk almarhum Aulia Risma waktu setelah 2023-2024 itu diperlakukan istimewa. Beban kerjanya untuk juniornya itu diberikan lebih berat dibandingkan dengan almarhum," tegasnya.

"Almarhum memang dipulangkan lebih cepat, kemudian beban kerja lebih ringan, persiapan obat tidak disiapkan lebih berat seperti teman-temannya yang lain. Jadi saya saksinya dan saya yakin teman-teman yang lain juga melihat itu," sambungnya.

Zara juga menyebut beban kerja berat seperti mendorong bed pasien, membagi makanan, hingga mengangkat pasien juga dialami semua peserta PPDS, bukan hanya korban.

"Dorong bed pasien, angkat pasien, kemudian seperti bagi dimakan, itu semua kita mengalami. Memang sebenarnya itu bukan tugas kita," ujarnya.

Pernyataan Zara sempat membuat hakim mengetuk palu dan memberikan teguran. Hakim meminta terdakwa untuk hanya menanggapi apa pernyataan Nusmatun yang menurutnya salah.

"Terdakwa, kita ulangi lagi ya. Tadi berarti kan benar. Kalau benar ya jangan disampaikan, yang salah yang diceritakannya. Ada lagi yang salah?" tutur Hakim Ketua Djohan Arifin.

Zara kemudian menyatakan cukup dan tidak menambahkan keterangan lebih lanjut. Sidang kasus dugaan kekerasan dalam pendidikan PPDS Anestesi Undip ini akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi Akwal, kerabat korban, yang batal dimintai keterangan dalam sidang kali ini.

Sebelumnya diberitakan, ibu mendiang dokter Aulia Risma, Nusmatun Walinah menjadi saksi dalam sidang kasus perundungan PPDS Undip. Ia membeberkan tekanan fisik, tugas yang membebani, hingga iuran tak wajar sejak awal dokter Aulia menjalani praktik di RSUP dr Kariadi, Juni 2022.

Mulai dari jam kerja dari pukul 03.00-02.00 WIB dini hari, beban kerja luar biasa, hingga akhirnya korban sempat jatuh dari motor ke selokan akibat kelelahan dan akhirnya mengalami saraf terjepit di tiga titik.

"Kemudian dilakukan operasi, setelah operasi itu kemudian masih melanjutkan cuti untuk pengobatan. Belum sembuh betul, tapi karena anak saya semangat melanjutkan, akhirnya melanjutkan," kata Nusmatun di PN Semarang, Rabu (4/6).

Nusmatun lantas meminta ada perlakuan khusus agar mendiang dokter Aulia tidak diberi beban yang terlalu berat. Namun ia menyebut, beban anaknya itu tetap berat dan tak ada perlakuan istimewa.

Diketahui, dalam sidang perdana, Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.

Sementara Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.




(rih/apu)


Hide Ads