Terdakwa Sri Maryani menyebut iuran biaya operasional pendidikan (BOP) di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) tidak berlangsung sejak 2018. Melainkan iuran itu sudah ada sejak 2014 silam.
Hal itu diungkapkannya dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djohan Arifin, Maryani menegaskan, praktik itu bukan dimulai tahun 2018 seperti disampaikan saksi dari Kementerian Kesehatan, Pamor Nainggolan.
"Beliau menyampaikan bahwa BOP itu terjadi mulai tahun 2018 itu salah. Itu yang benar mulai tahun 2014. Itu saya ditugaskan oleh dr. Heru," kata Maryani di PN Semarang, Rabu (4/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Beliau sebagai ketua KSM (Komite Sterilisasi Medis) RSUP dr. Kariadi dan juga ketua bagian FK Undip. Beliau meminta saya untuk membantu mengelola BOP Prodi Anestesi. Sudah tahun 2014," lanjutnya.
Menurut Maryani, pengelolaan BOP dilakukan secara administratif dan diperuntukkan untuk kebutuhan resmi, seperti membayar ujian para residen. Ia juga menampik dana tersebut digunakan untuk konsumsi atau keperluan informal seperti penyediaan makan prolong.
"Saya tidak pernah mengeluarkan uang untuk membeli makan prolong untuk residen. Jadi untuk keperluan prodi saja dan ujian-ujian residen," tegasnya.
Sri Maryani juga membantah bahwa dirinya bertindak sebagai bendahara untuk seluruh angkatan PPDS. Ia menegaskan, posisinya adalah staf administrasi di Prodi Anestesi FK Undip, bukan bendahara seluruh angkatan maupun staf administrasi di KSM RSUP dr Kariadi. Seluruh tugasnya pun dilaksanakan atas perintah pimpinan prodi.
"Saya di sini bukan staf KSM Kariadi, tapi saya di sini bertugas di staf administrasi FK Undip. Di mana di prodi anestesi itu artinya hanya saya sendiri. Saya tidak mempunyai partner. Jadi, mau nggak mau saya harus melaksanakan perintah pimpinan," terangnya.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Tim Investigasi untuk kasus perundungan PPDS Undip, Pamor Nainggolan, memberikan kesaksian atas adanya perundungan yang diterima dokter Aulia Risma selama menjdi peserta si PPDS Anestesi Undip.
"Terdapat perundungan atas nama Almarhum Aulia Risma dan adanya BOP (Biaya Operasional Pendidikan), pungutan iuran dari PPDS dari 2018-2024 dan itu saya ketahui ketika di dalam penyidikan," kata Pamor di PN Semarang, Rabu (4/6).
Ia mengungkapkan, berdasarkan keterangan mahasiswa PPDS dalam penyelidikan, terdapat iuran BOP sebesar Rp 80 juta dan iuran bulanan yang harus dikeluarkan mahasiswa.
Ia juga mengungkap adanya bentuk perundungan lain, yakni operan tugas berupa penyediaan makanan prolong untuk dokter residen dan DPJP yang masih bertugas di RSUP Dr Kariadi di atas pukul 18.00 WIB.
Diketahui, dalam sidang perdana, Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
Sementara Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
(apu/rih)