Saksi Kemenkes Ungkap Sistem Kasta di Balik Patuhnya Mahasiswa PPDS ke Senior

Saksi Kemenkes Ungkap Sistem Kasta di Balik Patuhnya Mahasiswa PPDS ke Senior

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 04 Jun 2025 15:47 WIB
Suasana sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan PPDS Undip, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (4/6/2025).
Suasana sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan PPDS Undip, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (4/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng.
Semarang -

Sidang lanjutan kasus perundungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Universitas Diponegoro (Undip) digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, hari ini. Saksi dari Kemenkes mengungkapkan mengapa para mahasiswa menuruti kemauan senior.

Sidang yang dipimpin Hakim Ketua, Djohan Arifin, itu menghadirkan enam saksi, yaitu Nusmatun Malinah yang merupakan ibu dokter Aulia, Nadia selaku adik dokter Aulia, Akwal dan Nur Diah selaku kerabat dokter Aulia, serta Yunan dan Pamor Nainggolan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.

Para saksi dimintai keterangan satu per satu. Pamor Nainggolan menjadi orang pertama yang dimintai keterangannya dalam sidang kedua itu. Ia mengungkapkan, dokter Aulia sempat mendapatkan perundungan selama di PPDS Anestesi Undip.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengungkapkan, ketiga terdakwa, yakni Taufik Eko Nugroho merupakan Kepala Program Studi Anestesi Undip, Sri Maryani selaku staf administrasi, dan dokter Zara Yupita Azra selaku kakak pembimbing dokter Aulia.

"Terdapat perundungan atas nama almarhum Aulia Risma dan adanya BOP (Biaya Operasional Pendidikan), pungutan iuran dari PPDS dari 2018-2024 dan itu saya ketahui ketika di dalam penyidikan," kata Pamor di PN Semarang, Rabu (4/6/2025).

ADVERTISEMENT

"Pak TE banyak berinteraksi dengan almarhum sebelum meninggal, dengan Zara memang menurut kami ada kata-kata verbal, termasuk perundungan," lanjutnya.

Ia mengungkapkan, berdasarkan keterangan mahasiswa PPDS dalam penyelidikan, terdapat iuran BOP sebesar Rp 80 juta yang harus dikeluarkan mahasiswa. Hal itu dinilai tak memiliki dasar hukum.

"Dari kebijakan iuran BOP kami tahu, ada biaya-biaya. Saya untuk BOP ini tahu dalam proses penyidikan, setelah saya tahu, ada iuran sekitar Rp 80 juta per mahasiswa, tapi terakhir turun (nominalnya)," ungkapnya.

Ia juga mengungkap adanya bentuk perundungan lain yakni operan tugas berupa penyediaan makanan prolong untuk dokter residen dan DPJP yang masih bertugas di RSUP Dr Kariadi di atas pukul 18.00 WIB.

Tak hanya itu, terdapat sistem kasta yang diterapkan di PPDS Undip yang mengkategorikan mahasiswa mulai dari mahasiswa tingkat satu sebagai 'kuntul', kakak pembimbing, middle senior, senior, chief of chief, dewan suro, hingga DPJP. Diketahui, masing-masing kasta memiliki julukan hingga rincian tugas-tugasnya selama menjalani proses pendidikan dokter spesialis.

Hal itu yang kemudian disebut Pamor membuat mahasiswa menuruti permintaan para senior. Terlebih, hal itu sudah menjadi tradisi di PPDS Anestesi Undip.

"Sudah tradisi, dan sudah disampaikan juga mereka saat orientasi itu untuk melakukan job mereka sebagai kuntul," ungkapnya.

Selain itu, ada pula konsekuensi yang akan diterima junior jika tak menjalankan tugas yang harus dilakukannya, maupun melanggar pasal anestesi, sistem kasta atau hierarki tersebut.

"Bisa dapat last man, pulang paling akhir di stase IBS (Instalasi Bedah Sentral). (Pulangnya) Dini hari," jelas Pamor.

Selain pulang paling akhir, kata Pamor, dokter residen PPDS Anestesi yang melanggar mendapat hukuman berdiri setengah jam.

"Hukumannya berdiri setengah jam dan dilakukan evaluasi. Angkatan sering melakukan itu, mereka dapat saat awal-awal studi," terangnya.

Pamor mengaku pihaknya pernah bertanya kepada dokter residen PPDS Anestesi Undip, apakah konsekuensi tersebut yang membuat mereka menurut. Mahasiswa disebut membenarkan hal itu

"Ya itu pernah kita tanyakan, kata mereka iya," kata Pamor.

Bahkan, jika tak menurut, dokter residen PPDS Anestesi Undip terancam tak mendapat ilmu dari senior mereka karena dikucilkan.

"Artinya tidak diikutkan kegiatan atau mereka lebih banyak dikucilkan, tidak diajak kegiatan dengan seniornya. (Itu hukuman berat?) Iya, karena tujuan mereka kan menimba ilmu. (Kalau dikucilkan tidak diberi pengetahuan?) Iya," jelasnya.

Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(apl/apu)


Hide Ads