Curhat Sang Adik, dr Aulia Diperintah Senior PPDS Undip Belikan Kopi-Parfum

Curhat Sang Adik, dr Aulia Diperintah Senior PPDS Undip Belikan Kopi-Parfum

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Kamis, 05 Jun 2025 16:37 WIB
Terdakwa Zara Yupita Azra dalam sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan PPDS Undip, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (4/6/2025).
Terdakwa Zara Yupita Azra dalam sidang pemeriksaan saksi kasus perundungan PPDS Undip, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Rabu (4/6/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Adik kandung peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dr Aulia Risma, Nadia, mengungkap kakaknya sering diminta membeli barang hingga memesan hotel. Bahkan, sang kakak kerap dimarahi senior PPDS jika salah melayani.

Nadia mengungkapkannya dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri (PN) Semarang. Menurut Nadia, dr Aulia sering diminta seniornya, Zara Yupita Azra, yang juga kakak pembimbing (kambing) korban melaksanakan perintah pribadi di luar kewajaran.

"Almarhumah sering dimintai tolong Zara, menuruti permintaan Zara. Jadi misal membelikan parfum, membayar booking-an hotel untuk acara pisah sambut senior, membelikan makanan, kopi," ungkapnya, Rabu (4/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nadia menuturkan, kakaknya mengalami eksploitasi fisik serta mental sejak awal diterima di PPDS Anestesi Undip pada Mei 2022.

"Baru bulan Mei, belum mulai perkuliahan, Almarhum sudah disuruh mengerjakan tugas pribadi Bu Zara. Bahkan disuruh untuk tidak menyampaikan ke siapapun. Mulai dari tesis, jurnal, disuruh nulis pasal anestesi," tutur Nadia.

ADVERTISEMENT

Sering Kena Marah jika Salah Melayani

Masih dikatakan Nadia, Almarhumah kakaknya tersebut juga bakal dimaki-maki oleh Zara jika salah dalam melayani.

"Sebetulnya curhatnya banyak sekali. Mayoritas adalah masalah kesalahan dari pelayanan terhadap senior. Misal telat memberikan makan, salah membelikan rokok, Bu Zara pasti akan menegur dengan cara dimarahi dan dimaki," ujarnya.

"Bukan hanya dimarahi biasa, tapi dimaki-maki dengan dibilang 'kamu lelet, gila, anestesi itu tesnya di sini'. Kalau misal kamu nggak bisa ngikutin kamu mati," imbuh Nadia.

Karena perundungan itu, Nadia berujar dr Aulia harus menjalani terapi ke psikolog pada November 2022.

"Karena merasa tertekan dengan orderan Bu Zara yang sangat di luar pelayanan," tuturnya.

Uang Kas Dipakai untuk Penuhi Permintaan Senior

Selain tugas pribadi, terungkap juga dokter Aulia menjadi bendahara angkatan. Nadia berkata, uang kas yang seharusnya dipakai demi kepentingan angkatan justru banyak dihabiskan memenuhi kebutuhan senior.

"Uang tidak dipakai untuk angkatannya sendiri, tapi untuk memenuhi permintaan dari seniornya, katanya. Ketika Bu Zara minta siapkan makanan, menu makanan, bukan hanya Bu Zara, tapi 80 orang," kata Nadia.

Bahkan, almarhumah juga pernah meminta bantuan adiknya. Dikatakan Nadia, sang kakak sempat meminjam Rp 40 juta.

"Korban pernah minta uang saya salah satunya sebesar Rp 40 juta untuk bayar iuran, saya transfer ke rekening Almarhum satu kali pengiriman," ungkapnya.

Nadia juga menyatakan bahwa tidak ada pemberitahuan dari pihak kampus tentang mahasiswa baru PPDS akan dibebani kewajiban non-akademik seperti memenuhi kebutuhan senior.

"Ketika di awal masuk tidak ada pemaparan dalam pendidikan harus mengeluarkan uang kas untuk memenuhi kebutuhan senior, terutama kebutuhan makan prolong. Awalnya Almarhum hanya bayar semesteran, registrasi, dan biaya hidupnya sendiri. Tapi ternyata begitu masuk ada yang disuruh bayar seniornya," paparnya.

Sidang yang dipimpin hakim ketua Djohan Arifin itu menghadirkan enam saksi yaitu Nusmatun Malinah selaku ibu dokter Aulia, Nadia selaku adik dokter Aulia, Akwal dan Nur Diah selaku kerabat dokter Aulia, serta Yunan dan Pamor Nainggolan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI..

Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho selaku kaprodi dan Sri Maryani selaku staf yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(apu/afn)


Hide Ads