Ibu mendiang dokter Aulia Risma, Nusmatun Malinah menjadi saksi dalam sidang kasus perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Universitas Diponegoro (Undip) yang menewaskan anaknya. Ia mengungkapkan deretan perlakuan berat yang dialami putrinya sebelum meninggal dunia.
Sidang pemeriksaan saksi kasus yang menewaskan mahasiswa PPDS, dokter Aulia Risma itu dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat.
Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Djohan Arifin itu Nusmatun Malinah membeberkan tekanan fisik, tugas yang membebani, hingga iuran tak wajar sejak awal dokter Aulia menjalani praktik di RSUP dr Kariadi, Juni 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tampak beberapa kali saat memberikan penjelasan, Nusmatun sempat menjelaskan dengan menggebu-gebu hingga sempat menangis. Namun, ia langsung ditenangkan adik dokter Aulia yang duduk di sampingnya.
"Jam belajarnya mulai dari jam 03.00 WIB dini hari, pulangnya 01.30 WIB dini hari. Hampir 24 jam. Otomatis anak saya tidak kuat. Agustus 2022 pulang naik motor dari RSUP dr Kariadi, jatuh ke selokan," kata Nusmatun di PN Semarang, Rabu (4/6/2025).
"Selama jatuh itu kan dini hari, bahkan tidak ada yang menolong sampai anak saya sadar sendiri, kemudian melanjutkan pulang ke kos," lanjutnya.
Setelah itu, anaknya mulai mengeluhkan masalah kesehatan. Pinggang dan kaki dokter Aulia disebut sakit, hingga hasil MRI menunjukkan adanya saraf terjepit di tiga titik.
"Kemudian dilakukan operasi, setelah operasi itu kemudian masih melanjutkan cuti untuk pengobatan. Belum sembuh betul, tapi karena anak saya semangat melanjutkan, akhirnya melanjutkan," tuturnya.
Nusmatun mengaku sempat meminta ada perlakuan khusus agar mendiang dokter Aulia tidak diberi beban yang terlalu berat.
"Karena saya kaget ternyata disuruh bagi makanan 80 porsi dari lantai 1-2 dan tidak boleh dibantu OB, mengangkat galon, pasien, tidak di bagian yang ringan tapi yang berat, terus mendorong tempat tidur pasien," jelasnya.
"Saat membagikan makanan ditanya satu-satu, mau makan apa, jadi 80 porsi itu beda-beda, makannya beda, minumnya beda," lanjutnya.
Tak hanya itu, dokter Aulia juga tetap diminta mencari jurnal dan merevisi tesis, meskipun beban kerja sudah tinggi. Belum lagi jika anaknya salah, dirinya harus dihukum berdiri berjam-jam.
Iuran itu juga menjadi beban berat lainnya. Padahal, sebagai penerima beasiswa Kemenkes, biaya pendidikan Aulia seharusnya ditanggung Kemenkes.
"Iuran pertama Rp 20 juta, belum sebulan kalau habis minta lagi, Agustus bahkan sampai Rp 45 juta," tuturnya.
Ia menyebut total iuran yang dikeluarkan anaknya mencapai lebih dari Rp 90 juta hanya dalam enam bulan pertama. Usai enam bulan, meski nominal iuran berkurang, iuran tetap berlanjut sampai akhir hayat dokter Aulia.
"Ada buktinya dari rekening saya masuk ke rekening almarhum, kemudian itu menyebar ke mana-mana, ada semua. Sudah saya serahkan buktinya," ungkapnya.
Puncaknya, 12 Agustus 2024, ibunda dokter Aulia mendapat kabar bahwa anaknya drop. Belakangan diketahui Aulia menyuntikkan obat penghilang rasa sakit ke dirinya sendiri untuk meredakan nyeri karena tak tahan menanggung sakit.
"Jam 23.30 saya ditelepon Mbak Dyah katanya anak saya drop. Karena posisi saya di Tegal, suami sedang sakit, saya naik kereta. Sampai kos jam 02.00 WIB pagi, anak saya sudah tidak bernyawa," kata Nusmatun.
Ia juga mempertanyakan perubahan jadwal yang menyebabkan anaknya, yang semestinya bertugas di RS Kariadi, harus bergeser ke Tembalang. Ia mengaku tidak tahu tugas spesifik yang diberikan saat itu, namun beban berat itu diyakini berperan dalam memburuknya kondisi anaknya.
"Yang belum kelihatan itu peran 2024 itu apa yang menyebabkan anak saya diberikan beban yang berlebih," ungkapnya.
Diketahui tiga orang duduk sebagai terdakwa dalam kasus ini. Mereka ialah Taufik Eko Nugroho selaku Kaprodi Anestesi, Sri Maryani selaku staf Prodi Anestesi, dan Zara yang merupakan senior dr Aulia.
Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
(afn/apl)