Sejarah Kelam Pecinan Semarang, Sempat Hidup di Bawah Moncong Meriam VOC

Sejarah Kelam Pecinan Semarang, Sempat Hidup di Bawah Moncong Meriam VOC

Angling Adhitya Purbaya - detikJateng
Sabtu, 24 Sep 2022 22:17 WIB
Suasana Pecinan Semarang, Jumat (23/9/2022).
Suasana Pecinan Semarang, Jumat (23/9/2022). (Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikJateng)
Semarang -

Pecinan menjadi salah satu pusat bisnis dan wisata kuliner di Kota Semarang. Di balik kesibukan dan ingar bingarnya, Pecinan Semarang ternyata memiliki sejarah kelam.

Dulu warga Tionghoa yang ada di Semarang tersebar di beberapa titik. Di daerah Gedungbatu, warga Tionghoa sudah ada sejak sebelum tahun 1000, kemudian menyebar termasuk di awal abad-15 pada masa Ki Ageng Pandan Arang mereka ikut bermukim di daerah Kaligawe di bawah penilikan Syekh Walilanang.

"Jadi Pecinan di Semarang dulunya bukan di situ. Kita mengenal beberapa tempat. Gedungbatu itu yang awal, kalau lihat peta kuno, warga Tionghoa tinggal di Pekojan, Petolongan, Pekojan, Kota Lama, juga ada di Kaligawe," kata pegiat Sejarah Semarang, Rukardi ditemui detikJateng, Jumat (23/9/2022) malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada peristiwa Geger Pacinan 1740 warga Tionghoa dan Jawa bersatu melawan VOC di beberapa kota. Salah satu perlawanan terbesar ada di Kota Semarang. VOC hampir kalah karena Benteng De Vijfhoek di sekitar Jembatan Mblerok terkepung.

"VOC hampir kalah, terdesak beberapa bulan, pemberontak mengepung Benteng De Vijfhoek. Kemudian VOC datangkan bala bantuan dari Batavia dan kalahkan para pemberontak. Setelah kejadian itu VOC trauma dan berpikir Kalau Jawa dan Cina jadi satu bisa melakukan perlawanan, maka harus dipisahkan," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Kemudian dibuatlah Chinezen Camp atau Pecinan dengan aturan Wijkenstelsel yaitu mewajibkan warga Tionghoa bermukim di satu tempat yang disediakan. Aturan ini berlaku tahun 1835 hingga 1915.

Warga Tionghoa juga diberi aturan Passenstelsel yaitu mewajibkan warga Tionghoa untuk mengurus surat izin jika ingin berpergian di luar Pecinan. Passenstelsel berlaku tahun 1935-1906.

"Tempat yang dipilih itu karena supaya bisa terawasi dengan baik, maka dipilih tempat yang masih dalam jangkauan meriam VOC di Benteng De Vijfhoek. Maka tempatnya di cekungan Kali Semarang, pengawasannya enak karena batasnya sungai, terpantau," ujar Rukardi.

Peristiwa lain di Pecinan yaitu pada Masa Perang Jawa di mana pada awal Perang Jawa tahun 1825 warga Tionghoa di Pecinan membangun pintu gerbang di empat jalan masuk yaitu ujung Jalan Sebandara, mulut Jalan Beteng, ujung Barat Gang Warug, dan seberang Jembatan Pekojan.

"Tujuannya itu untuk mengantisipasi serangan pasukan Diponegoro," ujarnya.

Suasana Pecinan Semarang tempo dulu.Suasana Pecinan Semarang tempo dulu. Foto: dok. koleksi Rukardi

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya...

Tragedi nyaris terjadi kala itu. Dalam catatan Liem Thian Joe pada buku Riwajat Semarang menyebut pada tahun 1826 muncul kabar amukan berandal di Demak, Kudus, dan daerah lain di Pantura. Maka warga Pecinan bersiaga melakukan penjagaan.

Kapten Tionghoa Semarang, Tan Tiang Tjhing, membuat keputusan mengumpulkan perempuan dan anak-anak di Klenteng Tay Kak Sie. Dia juga menyiapkan tumpukan kayu di kelenteng itu.

"Kayu bakar digunakan untuk membakar kelenteng beserta wanita dan anak-anak itu jika mereka kalah. Mereka pikir mending mati ketimbang ditangkap dan diperlakukan semena-mena," kata Rukardi.

Untuk mengecek kebenaran kabar amukan di perbatasan, warga Koja membantu warga Pecinan dengan melakukan perjalanan dan warga Koja ada di sisi depan. Rencananya jika warga Koja melihat ada pasukan di perbatasan Semarang-Demak seperti dikabarkan maka mereka akan memberikan sinyal dengan suara letusan.

"Warga Pekojan mencegat di Kali Tenggang. Warga Tionghoa menunggu di daerah Gedangan. Namun ternyata ditunggu sampai sore tidak ada, hoax," jelasnya.

Ketika pertama kali Pecinan ada, warga Tionghoa membangun pemukiman sesukanya. Rumah-rumah dibuat dari bahan bambu, papan, dan beratap sirap. Seiring berjalannya waktu datang imigran dari Tiongkok dan mengubah bangunan menjadi rumah permanen bergaya Tiongkok.

Infrastruktur juga terus dibangun seperti Jembatan Pecinan Lor dan Kidul yang dibuat permanen tahun 1814. Pecinan makin padat dan banyak dibangun rumah toko bertingkat.

Pada zaman Orde Baru juga dilakukan pelebaran jalan dan memangkas bangunan di Gang Pinggir dan Gang Warung sehingga arsitektur asli Pecinan di sana hilang.

Kini Pecinan Semarang dikenal dengan pusat bisnis yang menjual berbagai kebutuhan mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga industri. Pengembangan wisata juga dilakukan salah satunya yaitu dengan adanya Pasar Semawis, lokasi berburu kuliner di Gang Warung yang hanya ada setiap malam di akhir pekan.

Halaman 2 dari 2
(aku/dil)


Hide Ads