Gas Melon Jadi Idola Nelayan Terdampak Rob di Demak

Gas Melon Jadi Idola Nelayan Terdampak Rob di Demak

Mochamad Saifudin - detikJateng
Senin, 10 Jul 2023 10:43 WIB
Nelayan terdampak rob di Demak memilih bahan bakar gas melon. Gas melon disebut jauh lebih irit ketimbang bahan bakar bensin. Foto diunggah Senin (10/7/2023).
Nelayan terdampak rob di Demak memilih bahan bakar gas melon. Gas melon disebut jauh lebih irit ketimbang bahan bakar bensin (Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng
Demak -

Nelayan dan petambak di Dukuh Glondong, Desa Gebang, Kecamatan Bonang, Demak, terdampak rob sejak 1997. Akibat rob, mayoritas sawah warga kini dialihfungsikan menjadi tambak.

Kehadiran gas melon sebagai bahan bakar perahu pun memperingan beban hidup warga setiap harinya. Sebab, bahan bakar gas melon lebih irit untuk perahu berukuran 4x1,5 meter yang dipakai warga melaut dan mengelola tambak. Selisih perbandingan setiap harinya dengan bensin, bahkan mencapai dua kali lipat menyesuaikan mesin yang digunakan.

Kadus Glondong, Imron Suaidi, mengatakan selama tiga tahun terakhir ini rob berdampak parah bagi tambak-tambak warga. Dampaknya hasil tambak warga tak maksimal bahkan tak bisa dipanen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk jarak Dukuh Glondong sampai ke bibir pantai kurang lebihnya 4,5 kilometer. Untuk terdampak rob dari pertanian (sawah) beralih fungsi menjadi tambak di dukuh kami sejak tahun 1997/1998, akan tetapi mulai parahnya setelah menjadi tambak baru tiga tahun terakhir," ujar Imam saat dimintai konfirmasi, Minggu (10/7/2023).

"Mulai parahnya terkena dampak rob/abrasi sekitar 3 tahunan ini. Tanggul-tanggul tambak mulai hilang dan para petani tambak hasilnya berkurang. Minimnya pendapatan hasil panen para petani tambak, semakin tahun semakin tambah parah," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, Sekdes Gebang, Chrisna Ardiyanto mengatakan jumlah kepala keluarga (KK) di Dukuh Glondong sebanyak sekitar 300 KK. Mayoritas warga di dukuh tersebut merupakan nelayan dan petambak.

"Hampir mayoritas nelayan, sebagian punya tambak. Ada hampir 300 KK," terangnya.

Gas Melon Jadi Primadona

Salah satu nelayan dan petambak, Rokimin (43), mengaku merasakan perbedaan menggunakan bahan bakar bensin dengan gas melon. Pria yang sudah melaut sejak usia 17 tahun ini biasa berangkat melaut sekitar pukul 07.00 WIB hingga petang sekitar pukul 18.00 WIB.

Selain itu saat masa panen tambak ia juga harus menyedot air bercampur rob menggunakan mesin perahu. Perbedaan bahan bakar tersebut bisa satu gas melon ukuran 3 kilogram banding 9 liter bensin.

"Setiap hari habis 5 liter pakai bahan bakar bensin. Setiap hari saya (dari Glondong) sampai ke perairan Sayung (Demak), Tambaklorok, Banjarkanal (Semarang). Kalau pakai tabung gas habisnya hanya satu," ujarnya, Jumat (7/7).

"Kalau saya buat nyedot tambak, gas pol mulai sore sampai jam 13.00 WIB baru habis, tabung satu. Perbandingannya 9 liter bensin banding satu tabung gas melon," terangnya.

Dia menyebut harga satu tabung gas melon atau LPG 3 kg sekitar Rp 23 ribu, sedangkan bensin satu liter Rp 12 ribu. Satu kali operasional perahu dia membutuhkan bensin sekitar 5 liter sedangkan bila menggunakan gas melon hanya membutuhkan satu tabung, sehingga dia bisa berhemat Rp 37 ribu sekali operasional.

Hal senada disampaikan nelayan lainnya, Masluri. Selain nelayan ia juga memiliki tambak udang panami seluas sekitar satu hektare. Tambak yang ia tanami itu seringkali terdampak rob yang mengakibatkan udang di dalamnya turut hanyut saat air pasang.

"Ikannya pada hanyut hilang. Sebelah utara terdampak, relatif aman untuk sebelah selatan," ujar Masluri.

Ia menjelaskan akibat rob hasil tambaknya kerap terjual murah karena minimnya pembeli. Bahkan, sertifikat tambaknya pun tak bisa buat agunan di bank.

"Tambaknya nggak bisa disat, jual belinya itu murah, nggak bisa dipanen. Misalkan jual tahunan atau los itu tidak ada yang minat. Bahkan sertifikat aja dimasukkan ke bank aja nggak masuk, tidak bisa buat agunan," terang Rplo,om.

"Tidak bisa dipanen, tidak bisa disat, (alternatifnya) pakai jaring naga tadi," imbuhnya.

Selengkapnya di halaman berikut.

Ia mengakui bahan bakar gas melon memperingan biaya pembakaran mesin. Sebab, saat musim panen tambak ia menyedot air dan menghabiskan empat gas melon. Biaya itu bisa lebih membengkak jika menggunakan bahan bakar bensin.

"Sangat luar biasa kebermanfaatan gas melon, nyesat air pakai bahan bakar melon. Empat melon untuk satu hektare tambak untuk panen, menyedot rob. Itu aja ketika musim rob, kalau surut cuma dua (gas melon). Kalau pakai bensin habis banyak," terangnya.

Selain itu, Masruri juga melaut setiap harinya dengan waktu tempuh 1,5 jam. Yakni ke perairan Desa Babalan, Kecamatan Wedung.

"Melaut sampai Wedung. Perjalanan 1,5 jam. Pulangnya juga 1,5 jam. Kalau Jumat nelayan libur semua, karena nggak mungkin salat Jumat di laut," terangnya.

Terpisah, Ketua Kelompok Nelayan Bintang Samudra, Nur Syahid mengatakan mayoritas nelayan dukuh setempat menggunakan bahan bakar gas melon untuk operasional perahunya. Ia menyebut ada enam kelompok nelayan di wilayah tersebut mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Ia menyebut pertama kali menggunakan bahan bakar gas melon sekitar tahun 2015. Ia mengaku sempat kesulitan karena perbedaan alat mesin dibandingkan sebelumnya.

Ia menuturkan nelayan Kampung Glondong terkenal sejak dulu menggunakan gas melon sebagai bahan bakar. Menurutnya, gas melon sudah menjadi idaman atau primadona bagi nelayan setempat.

"Sekarang itu sudah menjadi idaman pakai bahan bakar gas melon. Anggaran bekal itu lebih irit. Misalnya 1 hari dengan minyak itu kisaran 3 liter, kalau pakai gas tabung itu kadang nyampai dua hari. Kadang dua hari, kadang satu hari setengah," ujar Syahid.

"Bensin eceran Rp 12 ribu, sedangkan tabung gas Rp 23 ribu. Kalau tiga liter itu (kebutuhan sehari) minimal. Perbandingannya bisa 2 sampai 3 kali lipat," sambungnya.

Nelayan di Demak memilih gas melon sebagai bahan bakar perahu. Gas melon dinilai lebih irit ketimbang bensin. Foto diunggah Senin (10/7/2023).Nelayan di Demak memilih gas melon sebagai bahan bakar perahu. Gas melon dinilai lebih irit ketimbang bensin. Foto diunggah Senin (10/7/2023). Foto: Mochamad Saifudin/detikJateng

Ia menambahkan pemasangan bahan bakar gas melon digunakan berbagai ukuran mesin. Misalnya mesin 160 cc, 200 cc, dan 270 cc.

"Semua mesin bisa (dipasang bahan bakar gas). 6 PK juga bisa, 9 PK juga bisa. 160 cc bisa, 200 cc bisa, 270 cc juga bisa," terangnya.

Selain irit, Syahid menambahkan alasan teknis pemakaian gas melon adalah bisa bertahan lama bagi nelayan setempat. Dia menyebut ada dua bengkel perahu di wilayah tersebut.

"Soalnya kebetulan nelayan kecil menggunakan itu semua. Di sini ada bengkel, terus lihat-lihat terus bisa sendiri. Bengkelnya ada dua. Sekarang sudah bisa memperbaiki sendiri. Kerusakannya biasanya alat dari jalur mesin ke gas, dulunya kalau alat itu rusak bingung. Mungkin belajar, terus sekarang sudah bisa," paparnya.

Servis Mesin Lebih Mudah

Sementara itu nelayan sekaligus teknisi kerusakan mesin perahu, Nur Soleh (42), mengatakan sering memasangkan instalasi mesin perahu tidak hanya di Dukuh Glondong. Melainkan hingga ke wilayah Kecamatan Sayung, Karangtengah, dan wilayah pesisir Demak lainnya.

"Iya, sampai Sayung, temen-temen nelayan di Menco-Wedung. Tapi rata-rata kalau nelayan sini sudah tahu semua (cara memperbaiki kerusakan pada mesin perahu dengan bahan bakar gas melon). Soalnya pakai gas tabung terus," ujar Soleh.

"Kalau di luar kan kadang-kadang ada yang pakai bensin, kadang ada yang pakai gas. Kalau di Sayung itu ada yang pakai bensin ada yang pakai gas. Kalau daerah Glondong sini mayoritas gas semua," imbuhnya.

Pengalaman menjadi tukang bengkel perahu tersebut ia dapatkan dari ikut kakaknya. Ia pun tak membuka lapak bengkel, hanya menerima panggilan saat dibutuhkan memperbaiki kerusakan pada mesin perahu.

"Pengalaman benerin mesin sejak sekitar 2014, tu ikut kakak saya, lihat diajak, terus bongkar pasang mesin sendiri, bisa. Langsung saya diangkat ke Jakarta (Program pemerintah). Satu Jateng diambil dua orang. Itu mesin jetski," papar Soleh.

Nur Soleh mengungkapkan ia sudah menjadi nelayan sejak umur 14 tahun. Ia menambahkan mesin relatif lebih bersih ketika menggunakan melon ketimbang pakai bensin. Menurutnya perawatan mesin berbahan bakar gas melon hanya pada oli yang berkualitas.

"Lebih bersih di ring sehernya (piston) kalau pakai gas melon. Kalau pakai bensin itu ada kotorannya seperti keraknya, item. Kalau pakai gas itu bersih putih. Perawatannya cuma tergantung oli. Olinya harus terjamin, soalnya gas lebih panas," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Demak, Nanang Tasunar David Narutomo membenarkan pernah ada bantuan berupa konverter kit beserta tabung gas melon kepada nelayan di Demak. Hal tersebut bertujuan membantu nelayan agar menggunakan energi yang relatif lebih murah.

"Iya, melalui DKP. Itu sebetulnya programnya itu Kementerian ESDM kerjasama dengan Kementerian Kelautan Perikanan. Kita ditunjuk sebagai salah satu tempat untuk penerima bantuan tersebut. Itu dua tahun kayaknya. tahun 2013 sama 2014, dua tahun itu ada bantuan konventer beserta mesinnya yang bisa menggunakan bahan bakar elpigi untuk mengganti bahan bakar bensin. Karena pemakainya kan memang bensin mesin honda waktu itu pakainya premium," ujar Nanang.

"Jumlahnya sekitar 200 (di) tahun pertama, kemudian 400-an tahun kedua. mungkin sekitar 600-an dua tahun. Itu untuk se-Kabupaten Demak. Sayung, Karangtengah, Bonang, dan Wedung. Ada semua," sambungnya.

Ia menerangkan penggunaan gas melon sebagai bahan bakar lebih hemat dibanding bensin. Hal ini karena pembakaran gas melon pembakarannya lebih sempurna.

"Memang yang di Bonang itu kebanyakan di Glondong tadi," terangnya.

"Memang gas melon lebih irit dibandingkan premium karena pembakarannya dia lebih sempurna dengan alat konverter itu. Harganya memang ini naik lagi (bensin), itu murah pakai gas melon," sambungnya.

Ia juga menyebut bahan bakar gas melon unggul secara tarikan. Selain itu jarak tempuhnya relatif lebih jauh.

"Kebiasaan masyarakat saja yang perlu penyesuaian dengan itu. Tarikannya juga sepertinya lebih bagus, dan jarak tempuhnya lebih panjang pakai gas melon. Kelemahannya hanya satu, nggak bisa ngecer satu kilo liter, harus 3 kilogram itu," ujarnya.

"Iya sementara ini memang kami belum ada program lagi. Kami sudah berkonsultasi juga ke KKP, sehingga memang dulu itu programnya termasuk aspirasi dewan di pusat. Komisi VII yang membidangi energi, nah itu mencari solusi untuk nelayan yang lebih murah dan juga lebih efektif," sambungnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) IESR, Fabby Tumiwa menjelaskan investasi energi terbarukan memainkan peran krusial dalam mengatasi perubahan iklim dan mencapai Persetujuan Paris. Jawa Tengah memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, khususnya energi surya.

"Berdasarkan studi IESR, jika 9 juta bangunan rumah memasang PLTS atap maka mampu menghasilkan 100 ribu megawatt (MW), dan apabila 35 kantor bupati dan walikota se-Jawa Tengah memasang PLTS atap maka akan menghasilkan sekitar 5 megawatt (MW) dari energi surya," ujar Fabby dalam keterangan resminya dalam acara Central Java Renewable Energy Investment Forum 2023, Selasa (4/7).

Fabby menegaskan potensi energi terbarukan di Jawa Tengah, termasuk pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), di luar pembangkit
listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Jawa Tengah, mencapai 198 megawatt (MW).

"Ketersediaan energi terbarukan saat ini menjadi faktor utama daya tarik investasi. Untuk itu, apabila kita ingin meningkatkan daya saing investasi di Jawa Tengah maka perlu meningkatkan ketersediaan pasokan energi hijau, ini menjadi indikator baru bagi investor. Potensi sumber energi terbarukan yang besar tidak akan tercapai jika tidak ada pendanaan untuk pengembangannya," pungkasnya.

Halaman 2 dari 3
(ams/apl)


Hide Ads