Asal-usul Singomodo, Dukuh di Sragen yang Pantang Dengar Nyanyian Sinden

Asal-usul Singomodo, Dukuh di Sragen yang Pantang Dengar Nyanyian Sinden

Agil Trisetiawan Putra - detikJateng
Senin, 31 Okt 2022 10:29 WIB
Papan peringatan di makam Syekh Nasher, Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen. Foto diunggah pada Minggu (30/10/2022).
Papan peringatan di makam Syekh Nasher, Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen. Foto diunggah pada Minggu (30/10/2022). Foto: Agil Trisetiawan Putra/detikJateng
Sragen -

Masyarakat Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, memegang tradisi larangan mendengarkan nyanyian sinden dan pantang mengenakan busana berwarna hijau. Begini awal mula pantangan tersebut dan sejarah Dukuh Singomodo.

Sejumlah pantangan itu dipercaya berlaku terutama di kawasan makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo, tokoh agama yang menyebarkan Islam di Desa Kandangsapi.

Menurut juru kunci makan, Slamet (68), Syekh Nasher datang ke Dukuh Singomodo saat Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Jogja. Saat itu, Syekh Nasher pergi meninggalkan Keraton Kasunanan Surakarta bersama sahabatnya, yakni Mustofa, Risyal, Solahudin, Munir, dan Sholeh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Eyang Nasher datang ke Singomodo pada waktu pecah Mataram, di antara Sultan dan Sinuhun berselisih. Eyang pergi menyusuri Bengawan Solo dengan gethek (perahu rakit), hingga tiba di Dukuh Singomodo ini," kata Slamet saat ditemui detikJateng beberapa waktu lalu.

Di sana, Syekh Nasher mendirikan padepokan yang mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santrinya. Konon, Syekh Nasher juga dikenal sebagai seorang petapa.

ADVERTISEMENT

"Eyang memiliki kemampuan prihatin dan tirakat yang tinggi. Dan mampu bertapa bratha dengan menyelam penuh di sungai, selama 7 hari," ucapnya.

Selama menyiarkan agama Islam, Syekh Nasher menetapkan batas kampung. Batas itu dibuat dengan saluran air di sekeliling kampung. Dia kala itu meminta para pengikutnya tidak melanggar batas yang sudah ditetapkan.

Hingga suatu hari, jelas Slamet, Syekh Nasher mengajak lima pengikutnya membuat rumah. Namun ternyata saat itu ada satu pengikutnya yang justru pergi keluar kampung.

"Pengikutnya itu kepincut menonton ledek ramen (sinden keliling). Karena melanggar, akhirnya pengikut dan sindennya itu dipanggil untuk dinikahkan atau diminta berpisah," kata dia.

Keduanya kemudian diminta tinggal ke barat batas jalan yang sudah dibuat. Sementara Syekh Nasher dan pengikutnya tinggal di timur batas jalan.

"Nah, sejak saat itulah, Syekh Nasher melarang pengikut yang tinggal di wilayah dalam batas timur jalan untuk mendengarkan atau membunyikan apa pun yang ada suara sinden, lalu dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden atau penyanyi wanita," ujarnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya...

Penamaan Dukuh Singomodo sendiri berawal saat Syekh Nasher datang ke lokasi tersebut. Saat itu, Dukuh Singomodo masih berupa hutan belantara yang banyak hewan buas.

"Singomodo sendiri diambil dari kata singo (Singa) dan modo yang artinya tidak bisa dipaido (dibantah)," ucapnya.

Hingga saat ini, warga di sekitar Makam Singomodo masih memegang pantangan-pantangan dari leluhurnya tersebut. Bahkan warga takut memiliki radio hingga televisi. Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Desa (Kades) Kandangsapi, Pandu.

"Kepercayaan itu masih dipegang erat oleh warga. Tidak ada yang memiliki televisi maupun radio, terutama yang rumahnya di dekat makam. Mereka khawatir jika nanti keputar lagu sinden," kata Pandu.



Hide Ads