Syekh Nasher, Tokoh di Balik Larangan Nyanyian Sinden di Singomodo Sragen

Syekh Nasher, Tokoh di Balik Larangan Nyanyian Sinden di Singomodo Sragen

Agil Trisetiawan Putra - detikJateng
Minggu, 30 Okt 2022 17:30 WIB
Makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo di Sragen. Foto diunggah pada Minggu (30/10/2022).
Makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo di Sragen. Foto: Agil Trisetiawan Putra/detikJateng
Sragen -

Syekh Nasher atau Eyang Singomodo, merupakan sosok di balik pantangan mendengar nyanyian sinden di Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapo, Kecamatan Jenar, Sragen. Seperti apa kisahnya?

Menurut juru kunci makan, Slamet (68), Syekh Nasher datang ke Dukuh Singomodo saat Kerajaan Mataram pecah menjadi Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogja. Saat itu, Syekh Nasher pergi meninggalkan Keraton Kasunanan Surakarta bersama sahabatnya, yakni Mustofa, Risyal, Solahudin, Munir dan Sholeh.

"Eyang Nasher datang ke Singomodo pada waktu pecah Mataram, di antara Sultan dan Sinuhun berselisih. Eyang pergi menyusuri Bengawan Solo dengan gethek (perahu rakit), hingga tiba di Dukuh Singomodo ini," katanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sana, Syekh Nasher mendirikan padepokan yang mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santrinya. Konon, Syekh Nasher juga dikenal sebagai seorang petapa.

"Eyang memiliki kemampuan prihatin dan tirakat yang tinggi. Dan mampu bertapa bratha dengan menyelam penuh di sungai, selama 7 hari," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Selama menyiarkan agama Islam, Syekh Nasher menetapkan batas kampung. Batas itu dibuat dengan saluran air di sekeliling kampung. Dia kala itu meminta para pengikutnya tidak melanggar batas yang sudah ditetapkan.

Hingga suatu hari, jelas Slamet, Syekh Nasher mengajak lima pengikutnya membuat rumah. Namun ternyata saat itu ada satu pengikutnya yang justru pergi keluar kampung.

"Pengikutnya itu kepincut menonton ledek ramen (sinden keliling). Karena melanggar, akhirnya pengikut dan sindennya itu dipanggil untuk dinikahkan atau diminta berpisah," kata dia.

Keduanya kemudian diminta tinggal ke barat batas jalan yang sudah dibuat. Sementara Syekh Nasher dan pengikutnya tinggal di timur batas jalan.

"Nah, sejak saat itulah, Syekh Nasher melarang pengikut yang tinggal di wilayah dalam batas timur jalan untuk mendengarkan atau membunyikan apa pun yang ada suara sinden, lalu dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden atau penyanyi wanita," ujarnya.

Simak lebih lengkap di halaman berikutnya...

Penamaan Dukuh Singomodo sendiri berawal saat Syekh Nasher datang ke lokasi tersebut. Saat itu, Dukuh Singomodo masih berupa hutan belantara yang banyak hewan buas.

"Singomodo sendiri diambil dari kata singo (Singa) dan modo yang artinya tidak bisa dipaido (dibantah)," ucapnya.

Hingga saat ini, warga di sekitar Makam Singomodo masih memegang pantangan-pantangan dari leluhurnya tersebut. Bahkan warga takut memiliki radio hingga televisi. Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Desa (Kades) Kandangsapi, Pandu.

"Kepercayaan itu masih dipegang erat oleh warga. Tidak ada yang memiliki televisi maupun radio, terutama yang rumahnya di dekat makam. Mereka khawatir jika nanti keputar lagu sinden," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Kata BGN Soal Ratusan Siswa Sragen Diduga Keracunan MBG"
[Gambas:Video 20detik]
(sip/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads