7 Fakta Dukuh Singomodo Sragen yang Pantang Dengarkan Nyanyian Sinden

Round Up

7 Fakta Dukuh Singomodo Sragen yang Pantang Dengarkan Nyanyian Sinden

Tim detikJateng - detikJateng
Senin, 31 Okt 2022 08:01 WIB
Papan peringatan di makam Syekh Nasher, Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen. Foto diunggah pada Minggu (30/10/2022).
Foto: Agil Trisetiawan Putra/detikJateng. Papan peringatan di makam Syekh Nasher, Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen.
Sragen -

Di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah (Jateng) terdapat sebuah dukuh yang percaya terhadap larangan mendengarkan nyanyian sinden. Dukuh itu bernama Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Jenar, Sragen. Bahkan, tradisi ini sudah dipegang oleh warga di dukuh tersebut secara turun temurun. Berikut 7 fakta Dukuh Singomodo dan kepercayaan pada pantangan mendengarkan nyanyian sinden.

1. Tidak Punya Radio dan Televisi

Warga di Dukuh Singomodo sangat percaya mereka dilarang mendengar nyanyian sinden. Kepercayaan itulah yang kemudian membuat warga di dukuh tersebut hingga kini memilih tak memiliki televisi maupun radio.

Sekelompok warga yang masih menjaga kepercayaan tersebut ada di RT 5. Memang tidak semuanya, tapi kebanyakan dari warga yang tak punya TV dan radio tinggal di dekat makam Singomodo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kepercayaan itu masih dipegang erat oleh warga. Tidak ada yang memiliki televisi maupun radio, terutama yang rumahnya di dekat makam. Mereka khawatir jika nanti keputar lagu sinden," kata Kepala Desa (Kades) Kandangsapi, Pandu, kepada detikJateng belum lama ini.

2. Kepercayaan Sejak Nenek Moyang

Sesepuh Desa Kandangsapi, Sukarno (65) alasan warga tak mau memiliki TV karena takut jika tak sengaja memutar nyanyian sinden.

ADVERTISEMENT

"Tape radio kalau diputar klenengan Jawa, ada sindennya tidak boleh. Kalau kasidah hadroh, masih bisa," ucapnya.

Dia menuturkan, tradisi itu sudah dipegang teguh dari nenek moyang. Hal ini tak terlepas dari kisah Syekh Nasher atau Eyang Singomodo, yang merupakan tokoh agama, yang menyebarkan Islam di Desa Kandang Sapi.

"Tradisi itu sudah ada sejak turun-temurun. Jadi oleh sesepuh desa kami tidak boleh. Pernah dibilang untuk menolak bala," pungkasnya.

3. Kisah Syekh Nasher

Sukarno menuturkan, tradisi itu tak terlepas dari kisah Syekh Nasher atau Eyang Singomodo, yang merupakan tokoh agama, yang menyebarkan Islam di Desa Kandang Sapi.

Sehingga warga yang paling erat memegang kepercayaan larangan di atas yakni yang bertempat tinggal di dekat makam Syekh Nasher. Makam Syekh Nasher hingga kini masih kerap didatangi peziarah.

"Tradisi itu sudah ada sejak turun-temurun. Jadi oleh sesepuh desa kami tidak boleh. Pernah dibilang untuk menolak bala," pungkasnya.

4. Muncul Kejadian Aneh Dilanggar

Sejumlah kejadian aneh dipercaya menimpa masyarakat yang melanggar pantangan mendengar nyanyian sinden. Pantangan ini dipercaya berlaku terutama di kawasan makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo.

Tokoh Masyarakat Desa Kandangsapi, Muhammad Samsul Qomarudin, mengatakan masyarakat di kawasan makam Syekh Nasher takut memiliki TV maupun radio.

"Pernah ada kejadian ada warga memutar langgam Jawa. Dia tiba-tiba hilang, sekaligus radionya. Itu kejadian pada tahun 1990-an," katanya kepada detikJateng beberapa waktu lalu.

Samsul mengatakan warga tersebut hingga saat ini belum kembali, meski sudah dicari ke mana-mana. Bahkan, warga setempat tidak bisa menjelaskan bagaimana orang tersebut beserta radionya hilang.

Kejadian terbaru, lanjut Samsul menimpa rombongan peziarah dari Purwodadi. Rombongan yang tiba di Singomodo itu lalu naik ke atas ke makam Syekh Nasher untuk berziarah.

Namun sang sopir menunggu di dalam mobil. Tanpa mengetahui adanya pantangan, sopir itu memutar musik Jawa di dalam mobilnya sambil menunggu peziarah turun.

"Saat perjalanan pulang, empat ban mobil itu kempes semua. Untung saja tidak sampai terjadi kecelakaan," ujarnya.

Baca Ragam Pantangan Lainnya di halaman berikutnya...

5. Ragam Pantangan Lainnya

Selain memutar musik Jawa, pantangan mengenakan busana berwarna hijau daun juga berlaku di areal makam.

Sesepuh Desa Kandangsapi, Sukarno (65), menambahkan kejadian aneh pernah menimpa bakul jamu gendong yang tengah berjalan di areal makam. Bakul jamu itu mengenakan selendang warga hijau untuk mengikat jamunya.

"Ada orang yang jualan jamu gendong, menggunakan selendang hijau lewat di makam, itu jalannya diputar-putar di sekitar makam saja, dia nggak bisa keluar. Baru bisa keluar saat bertemu warga," pungkasnya.

Adapun aturan saat berziarah ke Syekh Nasher yang tertulis di lokasi tersebut yakni sebagai berikut:

Tamu diminta wudhu terlebih dahulu
Tamu dilarang memakai pakaian warna hijau daun
Tamu dimohon mengisi buku tamu

6. Dimulai dari Pecahnya Kerajaan Mataram

Menurut juru kunci makan, Slamet (68), Syekh Nasher datang ke Dukuh Singomodo saat Kerajaan Mataram pecah menjadi Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogja. Saat itu, Syekh Nasher pergi meninggalkan Keraton Kasunanan Surakarta bersama sahabatnya, yakni Mustofa, Risyal, Solahudin, Munir dan Sholeh.

"Eyang Nasher datang ke Singomodo pada waktu pecah Mataram, di antara Sultan dan Sinuhun berselisih. Eyang pergi menyusuri Bengawan Solo dengan gethek (perahu rakit), hingga tiba di Dukuh Singomodo ini," katanya.

Di sana, Syekh Nasher mendirikan padepokan yang mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santrinya. Konon, Syekh Nasher juga dikenal sebagai seorang petapa.

"Eyang memiliki kemampuan prihatin dan tirakat yang tinggi. Dan mampu bertapa bratha dengan menyelam penuh di sungai, selama 7 hari," ucapnya.

Selama menyiarkan agama Islam, Syekh Nasher menetapkan batas kampung. Batas itu dibuat dengan saluran air di sekeliling kampung. Dia kala itu meminta para pengikutnya tidak melanggar batas yang sudah ditetapkan.

Hingga suatu hari, jelas Slamet, Syekh Nasher mengajak lima pengikutnya membuat rumah. Namun ternyata saat itu ada satu pengikutnya yang justru pergi keluar kampung.

"Pengikutnya itu kepincut menonton ledek ramen (sinden keliling). Karena melanggar, akhirnya pengikut dan sindennya itu dipanggil untuk dinikahkan atau diminta berpisah," kata dia.

Keduanya kemudian diminta tinggal ke barat batas jalan yang sudah dibuat. Sementara Syekh Nasher dan pengikutnya tinggal di timur batas jalan.

"Nah, sejak saat itulah, Syekh Nasher melarang pengikut yang tinggal di wilayah dalam batas timur jalan untuk mendengarkan atau membunyikan apa pun yang ada suara sinden, lalu dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden atau penyanyi wanita," ujarnya.

Baca Asal Nama Dukuh Singomodo di halaman berikutnya...

7. Asal Nama Dukuh Singomodo

Penamaan Dukuh Singomodo sendiri berawal saat Syekh Nasher datang ke lokasi tersebut. Saat itu, Dukuh Singomodo masih berupa hutan belantara yang banyak hewan buas.
"Singomodo sendiri diambil dari kata singo (Singa) dan modo yang artinya tidak bisa dipaido (dibantah)," ucapnya.

Hingga saat ini, warga di sekitar Makam Singomodo masih memegang pantangan-pantangan dari leluhurnya tersebut. Bahkan warga takut memiliki radio hingga televisi. Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Desa (Kades) Kandangsapi, Pandu.

"Kepercayaan itu masih dipegang erat oleh warga. Tidak ada yang memiliki televisi maupun radio, terutama yang rumahnya di dekat makam. Mereka khawatir jika nanti keputar lagu sinden," pungkasnya.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: 36 Biksu Thudong yang Jalan Kaki dari Thailand Telah Sampai di Borobudur"
[Gambas:Video 20detik]
(apl/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads