Ternyata Ada Pantangan Lain di Singomodo Sragen Selain Dengar Nyanyian Sinden

Ternyata Ada Pantangan Lain di Singomodo Sragen Selain Dengar Nyanyian Sinden

Agil Trisetiawan Putra - detikJateng
Senin, 31 Okt 2022 10:14 WIB
Makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo di Sragen. Foto diunggah pada Minggu (30/10/2022).
Makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo di Dukuh Singomodo, Sragen. Foto diunggah pada Minggu (30/10/2022). Foto: Agil Trisetiawan Putra/detikJateng
Sragen -

Masyarakat Dukuh Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, memegang tradisi larangan mendengarkan nyanyian sinden. Selain memutar musik Jawa, pantangan mengenakan busana berwarna hijau daun juga berlaku. Seperti apa?

Pantangan ini dipercaya berlaku terutama di kawasan makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo, tokoh agama yang menyebarkan Islam di Desa Kandangsapi.

Sesepuh Desa Kandangsapi, Sukarno (65), menceritakan kejadian aneh pernah menimpa bakul jamu gendong yang tengah berjalan di areal makam. Bakul jamu itu mengenakan selendang warga hijau untuk mengikat jamunya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada orang yang jualan jamu gendong, menggunakan selendang hijau lewat di makam, itu jalannya diputar-putar di sekitar makam saja, dia nggak bisa keluar. Baru bisa keluar saat bertemu warga," kata Sukarno saat ditemui detikJateng beberapa waktu lalu.

Adapun aturan saat berziarah ke Syekh Nasher yang tertulis di lokasi tersebut yakni sebagai berikut:

ADVERTISEMENT
  • Tamu diminta wudhu terlebih dahulu
  • Tamu dilarang memakai pakaian warna hijau daun
  • Tamu dimohon mengisi buku tamu

Tidak Punya Radio dan Televisi

Warga di Dukuh Singomodo sangat percaya mereka dilarang mendengar nyanyian sinden. Kepercayaan itulah yang kemudian membuat warga di dukuh tersebut hingga kini memilih tak memiliki televisi maupun radio.

Sekelompok warga yang masih menjaga kepercayaan tersebut ada di RT 5. Memang tidak semuanya, tapi kebanyakan dari warga yang tak punya TV dan radio tinggal di dekat makam Singomodo.

"Kepercayaan itu masih dipegang erat oleh warga. Tidak ada yang memiliki televisi maupun radio, terutama yang rumahnya di dekat makam. Mereka khawatir jika nanti keputar lagu sinden," kata Kepala Desa (Kades) Kandangsapi, Pandu, kepada detikJateng belum lama ini.

Sesepuh Desa Kandangsapi, Sukarno (65), mengatakan alasan warga tidak mau memiliki TV karena takut jika tak sengaja memutar nyanyian sinden.

"Tape radio kalau diputar klenengan Jawa, ada sindennya tidak boleh. Kalau kasidah hadroh, masih bisa," ucap Sukarno.

Dia menuturkan, tradisi itu sudah dipegang teguh dari nenek moyang. Hal ini tak terlepas dari kisah Syekh Nasher atau Eyang Singomodo.

"Tradisi itu sudah ada sejak turun-temurun. Jadi oleh sesepuh desa kami tidak boleh. Pernah dibilang untuk menolak bala," pungkasnya.

Selengkapnya di halaman selanjutnya...

Muncul Kejadian Aneh Dilanggar

Sejumlah kejadian aneh dipercaya menimpa masyarakat yang melanggar pantangan mendengar nyanyian sinden. Tokoh Masyarakat Desa Kandangsapi, Muhammad Samsul Qomarudin, mengatakan masyarakat di kawasan makam Syekh Nasher takut memiliki TV maupun radio.

"Pernah ada kejadian ada warga memutar langgam Jawa. Dia tiba-tiba hilang, sekaligus radionya. Itu kejadian pada tahun 1990-an," kata Samsul kepada detikJateng beberapa waktu lalu.

Samsul mengatakan warga tersebut hingga saat ini belum kembali, meski sudah dicari ke mana-mana. Bahkan, warga setempat tidak bisa menjelaskan bagaimana orang tersebut beserta radionya hilang.

Kejadian terbaru, lanjut Samsul menimpa rombongan peziarah dari Purwodadi. Rombongan yang tiba di Singomodo itu lalu naik ke atas ke makam Syekh Nasher untuk berziarah.

Namun sang sopir menunggu di dalam mobil. Tanpa mengetahui adanya pantangan, sopir itu memutar musik Jawa di dalam mobilnya sambil menunggu peziarah turun.

"Saat perjalanan pulang, empat ban mobil itu kempes semua. Untung saja tidak sampai terjadi kecelakaan," ujarnya.



Hide Ads