Menilik Kehidupan Buruh Pabrik Rokok Terbesar di Masa Hindia Belanda

Menilik Kehidupan Buruh Pabrik Rokok Terbesar di Masa Hindia Belanda

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Rabu, 11 Sep 2024 10:00 WIB
Gedung BAT Cirebon
Gedung BAT Cirebon (Foto: Sudirman/detikTravel).
Cirebon -

Salah satu bangunan bersejarah di Cirebon adalah gedung British American Tobacco atau yang akrab disebut gedung BAT, berlokasi di Jalan Pasuketan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Gedung yang memiliki luas sekitar 2.000 meter persegi dengan gaya art deco tersebut, dahulu digunakan untuk memproduksi rokok.

"Ini Gedung BAT dahulu merupakan pabrik rokok putih. Seperti dalam prasasti, gedung BAT didirikan pada tahun 1924," tutur pegiat sejarah Cirebon, Putra Lingga Pamungkas belum lama ini.

Kala itu, pabrik rokok BAT dapat memproduksi rokok sampai jutaan batang perhari, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Algemeen handelsblad edisi 8 Maret 1925. "Pabrik tersebut dirancang untuk menampung 80 mesin rokok dengan mesin karton dan mesin pengemas. Saat ini, 60 mesin berkapasitas sebelas juta batang rokok per hari sudah beroperasi, dengan total dua ratus lima puluh juta batang rokok per bulan," tulis Algemeen handelsblad edisi 8 Maret 1925.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk membantu proses produksi rokok, pabrik BAT didukung oleh sekitar 2.000 tenaga kerja pribumi. Tenaga kerja pribumi tersebut digaji sebesar 36.000 gulden, serta mendapatkan fasilitas kesehatan selama menjadi menjadi buruh pabrik rokok di gedung BAT.

Selain mendapatkan gaji dan fasilitas kesehatan, tak jarang para buruh juga mendapatkan tiket hiburan gratis ke pasar malam, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar De Locomotif edisi 26 Oktober 1933.

ADVERTISEMENT

"Perusahaan tembakau British American Tobacco telah memesan 3.000 tiket masuk sebagai pasar malam untuk buruhnya. Kami memahami bahwa panitia pasar malam telah mendapat izin dari Gubernur Jawa Barat untuk menyelenggarakan undian barang sebesar NLG 999," tulis surat kabar De Locomotif 26 Oktober 1933.

Meski dapat menyerap banyak tenaga kerja pribumi. Namun, dalam perjalanannya, pabrik rokok BAT banyak mengalami berbagai macam kendala dalam urusan tenaga kerja. Setelah tiga tahun berdiri, dalam surat kabar De Avondpost edisi 20 September 1928, Pemerintah Hindia Belanda, melalui Inspektorat Pendidikan Masyarakat menemukan banyak anak-anak usia sekolah yang dipekerjakan sebagai buruh di pabrik rokok BAT.

Penemuan ini bermula ketika banyak anak yang tidak masuk sekolah. Setelah dicari tahu penyebabnya, ternyata, anak-anak tersebut mendapatkan pekerjaan di British American Tobacco, yang kala itu sedang membutuhkan banyak tenaga kerja. Tak hanya bekerja, anak-anak tersebut juga diperbolehkan untuk merokok.

"Pengurus kelompok ini juga menetapkan bahwa para pekerja, laki-laki, perempuan dan anak-anak, selain upahnya yang tidak rendah, diperbolehkan merokok dalam jumlah tertentu per hari. Karena ini lebih banyak rokok tersedia untuk laki -laki dan anak laki-laki, sehingga anak laki-laki tersebut mendapat enam batang rokok sehari dengan merek "Elifant". Masih belum diketahui tindakan apa yang akan diambil oleh inspektorat. Namun, masalah ini tidak akan mudah diselesaikan tanpa paksaan," tulis surat kabar De avondpost edisi 20 September 1928.

Selain pekerja anak, masalah lain yang menimpa pabrik BAT adalah pungli, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Nieuwsblad van Het Noorden edisi 27 Desember 1933. Biasanya, para pelaku pungli akan mendatangi pabrik BAT setiap Sabtu sore, di mana para buruh mendapatkan upah dari perusahaan.

Mulanya, para pelaku pungli akan menunggu di setiap pintu gerbang perusahaan, lalu, para pelaku pungli termasuk rentenir akan mendatangi para mandor dan atasan pabrik. Sambil mengancam, para mandor dan atasan dipaksa untuk membayar sejumlah uang kepada para pelaku pungli dan rentenir.

Karena di bawah tekanan para pelaku pungli. Para mandor dan atasan memungut uang pajak kepada para buruh atau kuli yang bekerja di pabrik BAT. Untuk nominal uangnya, tergantung seberapa banyak buruh yang bekerja di bawah mandor tersebut.

"Setiap kuli harus dikenakan "pajak" sebesar 10 sen per minggu. Tentu saja para mandor memungut pajak itu dari para kuli. Dan jika ada di antara mereka yang tidak puas dengan 'pajak', jangan khawatir, para pemeras punya cukup sarana untuk menanamkan hal ini pada orang tersebut," tulis surat kabar Nieuwsblad van Het Noorden edisi 27 Desember 1933.

Meski mengetahui tindakan yang dilakukan para pelaku pungli salah. Tetapi, karena di bawah rasa takut akan ancaman penganiayaan dan keselamatan nyawa, para mandor dan atasan hanya bisa bungkam dan tidak ada yang berani melaporkannya kepada kepolisian. Padahal, para pelaku pungli kebanyakan adalah orang pribumi.

Pada tahun 1933 juga, hampir terjadi insiden pembunuhan kepada salah satu pekerja yang ada di pabrik BAT. Surat kabar Soerabajasch Handelsblad edisi 27 Juli 1933 menceritakan, kala itu, karena pertengkaran, seorang pekerja Tiongkok melakukan upaya pembunuhan dengan menggunakan palu terhadap rekan senegaranya di pabrik.

"Setelah pertengkaran singkat, dia hampir menghancurkan tengkorak korbannya dengan palu, meninggalkan pria tersebut seperti mati. Khawatir dia telah melakukan pembunuhan dan takut akan balas dendam kerabatnya, dia melarikan diri," tulis surat kabar Soerabajasch Handelsblad edisi 27 Juli 1933

Setelah melihat lawannya tepar, pekerja Tiongkok tersebut langsung melarikan diri. Namun, tak lama kemudian, para detektif yang melakukan investigasi berhasil menemukan pria tersebut. Saat ditemukan, pria Tionghoa tersebut sedang bersembunyi di perkebunan singkong di Kuningan.

Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1950, terjadi pemogokan massal di Pabrik BAT. Penyebabnya, ada 11 pekerja yang dipecat karena dituduh mencuri 60 juta batang rokok. Padahal, pabrik BAT berencana untuk meningkatkan produksi rokok hingga 700 juta batang rokok per bulan.

Dalam surat kabar Ons Noorden edisi 30 Agustus 1950 menyebutkan, ada sekitar ribuan buruh yang melakukan pemogokan. "Dan yang pabriknya di Cheribon kini terhenti karena pemogokan selama tiga minggu yang dimulai dengan 200 orang, kini telah diperluas menjadi 2000 orang," tulis surat kabar Ons Noorden edisi 30 Agustus 1950.

Bagikan Rokok Gratis kepada Pengangguran

Pada tahun 1932, untuk memperingati hari lahir ratu Belanda, setiap tanggal 31 Agustus, pabrik BAT membagikan rokok kepada para pengangguran, yang kala itu jumlahnya sangat banyak. Kebanyakan dari mereka adalah pecandu rokok, namun tidak mampu yang membeli rokok karena harganya sedang naik.

Dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 22 Februari 1935 menyebutkan, ada sekitar 25.000 batang rokok yang dibagikan, tak hanya di Cirebon. Rokok gratis juga dibagikan sampai Batavia.

"Tentu saja pemberian yang murah hati ini sangat dihargai. Meskipun harga rokok telah turun secara signifikan, banyak pekerja yang tidak mampu membayar pengeluaran yang kecil sekalipun, sehingga berkat kemurahan hati BAT, banyak yang dapat memperoleh beberapa bungkus secara gratis," tulis surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 22 Februari 1935.




(mso/mso)


Hide Ads