Kala Wabah Tifus Menyerang Cirebon di Masa Hindia Belanda

Lorong Waktu

Kala Wabah Tifus Menyerang Cirebon di Masa Hindia Belanda

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Minggu, 25 Agu 2024 08:00 WIB
Kegiatan soal pelayanan kesehatan di Cirebon pada masa Hindia Belanda.
Kegiatan soal pelayanan kesehatan di Cirebon pada masa Hindia Belanda. (Foto: Arsip Cirebon History/Lingga)
Cirebon -

Pada awal abad ke-20, Cirebon kembali diserang oleh wabah penyakit. Masyarakat Cirebon banyak yang terkena penyakit tifus. Surat kabar Hindia Belanda mengabarkan tentang kondisi Cirebon saat dilanda wabah tifus.

Surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 26 Januari 1915. Kala itu, wabah tifus mulai terjadi saat musim barat (muson barat), banyak penduduk pribumi sampai orang Eropa mengalami berbagai macam gejala kesehatan, seperti demam selama beberapa hari hingga terkena batuk darah atau hemoptisis. Bahkan, di antara mereka banyak yang meninggal.

"Situasi kesehatan di Cheribon (Cirebon) saat ini masih buruk. Namun, hal ini terjadi setiap saat pada musim barat. Epidemi malaria atau tifus datang ke sini. Namun, situasinya sekarang sangat kritis, di desa-desa tertentu, ratusan penduduk asli meninggal dan orang-orang Eropa juga menjadi korban," tulis Batavia Nieuwsblad edisi 26 Januari 1915.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski masyarakat Cirebon ketika itu tidak mengetahui secara pasti penyebab mereka sakit. Namun, dalam koran tersebut dijelaskan dugaan penyebab wabah tifus muncul di Cirebon, seperti kampung yang kumuh, sistem drainase buruk dan pembangunan jalur kereta uap yang membuang limbah sembarangan

"Masyarakat tidak tahu apa-apa tentang penyebabnya, namun kondisi kampung yang tercemar tentu saja juga menjadi penyebabnya. Tetapi, belum ada yang menduga, sebagaimana dapat dipastikan dari masa lalu, bahwa penggalian perusahaan trem uap Semarang-Cheribon di jalur kereta api dan jalan akses, tepatnya di kawasan yang terkena dampak, adalah pihak yang paling patut disalahkan," tulis surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 26 Januari 1915.

ADVERTISEMENT

Pada tahun 1921, menyusul semakin banyaknya masyarakat terkena tifus, dokter setempat menyarankan agar warga merebus air, susu dan sayuran terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. "Menyusul banyaknya kasus tifus di Cheribon, dokter pemerintah daerah Dr. L Corner menyarankan warga untuk merebus susu dan air sebelum digunakan dan tidak memasukkan es ke dalam minuman, hanya sayuran yang direbus, jadi jangan makan salad dan dapatkan vaksinasi tifus," tulis surat kabar Batavia nieuwsblad edisi 1 Oktober 1921.

Beberapa tahun setelahnya, yakni, di tahun 1930-an, wabah tifus masih menyebar, bahkan kondisinya semakin parah, hampir semua wilayah Cirebon terkena wabah tifus.

Mengutip surat kabar De Locomotif edisi 8 Januari, 25 Juli, dan 8 Oktober 1930, di wilayah Cangkring, Pulasaren, Pandesan, Pasuketan, Karanggetas, Kejaksan, Kebonbaru, dan Pekalangan, penyakit tifus masih terus menyebar.

"Kesehatan Cheribon masih buruk. Kasus tifus kembali terdeteksi di rumah dua warga Tjangkring (Kampung Cangkring) dan Pulosaren (Pulasaren). Terlepas dari semua tindakan pencegahan yang dilakukan, penyakit ini terus merajalela dan mencari korbannya, tidak hanya di kalangan penduduk asli dan Tiongkok, tetapi juga di antara penduduk Eropa, terutama di kalangan anak-anak;" tulus De Lokomotif 8 Januari 1930.

Dalam koran Soerabajasch Handelsblad edisi 27 Maret 1935, wabah tifus yang semakin parah di Cirebon karena banyak penduduk yang mengonsumsi makanan yang telah terkontaminasi bakteri, dan sistem pembuangan feses yang buruk. "Kondisi ini dianggap karena kontaminasi makanan, seperti minum es krim, sirup, makan manisan di warung yang terkontaminasi, dan serangan lalat serta pembuangan feses yang buruk. Angka kesakitan penyakit tifus mengalami fluktuasi yang signifikan dari tahun ke tahun," tulis Soerabajasch Handelsblad edisi 27 Maret 1935.

Sehari sebelumnya, surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 26 Maret 1935 menyebutkan dibandingkan dengan kota-kota lain, Cirebon menjadi kota yang tertinggal dalam bidang pelayanan medis. Tak hanya itu, Cirebon juga masih belum memiliki sistem tata kota yang baik. Hal inilah yang menyebabkan wabah tifus di Cirebon masih untuk sulit ditangani.

"Di Kotamadya Cheribon banyak permasalahan di bidang medis, higienis yang memerlukan perhatian khusus, seperti air minum yang buruk, serangan lalat, drainase tinja yang buruk, pembuangan yang tidak memadai, semua faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya dan penyebaran penyakit menular, penyakit perut, terutama demam tifoid (tifus)," tulis koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 26 Maret 1935.

Surat kabar De Locomotief.Surat kabar De Locomotief. Foto: Arsip Delpher

Respons Pemerintah

Dalam jurnal Wabah Tifus di Cirebon Masa Hindia Belanda: Kebijakan Pemerintah dan Solusi Masyarakat Sehat (2020) yang ditulis Imas Emalia, seorang direktur laboratorium di Batavia bernama dr Grijin telah meneliti wabah tifus di Cirebon. Grijin menyebut wabah tifus yang melanda Cirebon karena buruknya kondisi lingkungan daerah tersebut akibat pembangunan infrastruktur saat itu.

Menurut Grijin, wabah tifus menyebar dengan cara kontak langsung antara manusia dan lingkungan, ia menyebutkan daerah pinggiran Kali Bacin yang kotor sehingga menjadi sumber penyakit. Hal ini menyebabkan banyak penduduk Kota Cirebon yang tinggal di sekitar Kali Bacin banyak yang terkena wabah tifus.

Namun, laporan dari Grijin tidak diterima oleh pihak Pemerintah Cirebon. Menurut pemerintah, wabah tifus disebabkan oleh penggunaan air mentah yang tidak bersih dan juga bahan pengawet untuk membuat es. Perbedaan pendapat ini, membuat pemerintah kurang maksimal dalam menangani wabah tifus.

Pada tahun 1930, dalam koran Batavia Nieuwsblad edisi 8 September 1930 melaporkan tentang adanya aksi buruh di Kota Cirebon terkait wabah tifus, setidaknya ada dua tuntutan yang diinginkan buruh.

Pertama menuntut pembagian jatah air bersih untuk dikonsumsi sehari-hari. Karena menurut para buruh, air yang dialirkan banyak yang sudah terkontaminasi proyek perbaikan jalan. Kedua menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan dokter atas kematian keluarga mereka yang meninggal karena tifus.

Pegiat sejarah Cirebon, Putra Lingga Pamungkas mengatakan, memang pada zaman Hindia Belanda, Cirebon dikenal sebagai kota yang kumuh. Akibatnya, wabah penyakit sangat mudah menyebar di Cirebon. "Pernah masa Hindia Belanda, Cirebon itu terkena wabah malaria, tifus, kolera dan juga pes," tutur Lingga belum lama ini.

Meski lamban dalam menangani wabah tifus. Menurut Lingga, pemerintah Hindia Belanda tetap melakukan berbagai upaya untuk menangani wabah, seperti membangun rumah sakit dan klinik, menutup Kali Bacin yang menjadi sumber penyakit, serta melakukan vaksinasi.

Senada dengan Lingga, dalam beberapa surat kabar Hindia Belanda, mengabarkan tentang proses vaksinasi tifus untuk mencegah penyebaran penyakit tifus. Ada sekitar ribuan orang yang di vaksin tifoid. Cerita soal vaksinasi itu dimuat dalam surat kabar De Locomotief 25 Juli 1930.

"Lebih dari 6.000 anak telah menerima vaksinasi, dan masih banyak lagi orang yang datang untuk mendapatkan suntikan. Serum menjadi habis. Para dokter saat ini hampir tidak punya persediaan lagi," tulis surat kabar De Locomotief edisi 25 Juli 1930.

Pada tahun 1941, akhirnya, hampir semua penduduk Kota Cirebon telah divaksin tifoid, seperti yang dikabarkan dalam surat kabar Koran Batavia Nieuwsblad edisi 20 Desember 1941.

"Melaporkan dari Cheribon bahwa penduduk kotamadya ini telah di vaksinasi terhadap penyakit tifus, disentri dan kolera," tulisan surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 20 Desember 1941.

(sud/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads