Kisah Wayang Rikmadenda, Anak Raja Bengal Mencari Tuhan

Kisah Wayang Rikmadenda, Anak Raja Bengal Mencari Tuhan

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Selasa, 10 Sep 2024 08:30 WIB
Ilustrasi kesenian Wayang Golek
Ilustrasi wayang golek (Foto: Wisma Putra/detikTravel)
Bandung -

Dalang memang tak pernah kehabisan cerita. Jika alur utama kitab pewayangan mentok karena dirasa jemu, dia akan membuat cerita sempalan yang pada ujungnya akan kembali ke alur cerita utama.

Cerita sempalan itu disebut "Carangan" dalam istilah wayang Cirebon, sebagaimana dijelaskan oleh sastrawan kenamaan, Ajip Rosidi.

Di antara cerita carangan itu adalah kisah Rikmadenda. Wayang ini mencari Tuhan, dan karena para dewa, sekalipun setingkat Batara Guru alias Jaganata, alias Gurunata, alias Sanghyang Otipati tak bisa menjawab pertanyaannya, maka kahiangan dia obrak-abrik. Para dewanya dia kejar sampai berlarian menyelamatkan diri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ajip Rosidi (wafat pada 2020) juga menulis cerita Rikmadenda ini. Judulnya, Rikmadenda Mencari Tuhan, terbit pada 1991. Diakui Ajip, cerita yang dia buat merupakaan rekaan ulang dari cerita wayang yang sering dipentaskan dalang Abyor dalang yang gemar mengeritik Orde Baru pada zamannya dahulu.

Dikutip dari situs Kemendikbud RI, dalang Abyor punya koleksi naskah ruwatan wayang Cirebon yang diduga dibuat abad ke-18. Isinya semacam propaganda para dalang untuk melawan kolonialisme Belanda.

ADVERTISEMENT

Namun, karena ketakutan oleh rezim, naskah yang dikoleksi dalang Abyor itu dibakar. Keturunan dalang Abyor, dalang Abi Udaya kemudian mengumpulkan kembali ingatan tentang ruwatan itu dan menuliskannya hingga terbit "Ruwatan Murwakala Cirebon".

Rikmadenda Mencari Tuhan versi Ajip Rosidi

Dalam buku Ajip Rosidi, tokoh Rikmadenda naik ke kahiangan tempat para dewa. Karena jalan yang ditempuh penuh onak dan duri, bajunya jadi rusak dan compang camping.

Sebagai anak raja, yakni Putra Prabu Mustakaluhur dari Kerajaan Girimustaka, Rikmadenda datang ke kahiangan untuk menanyakan siapa itu Tuhan dan bagaimana wujudnya?

Pertanyaan ini dianggap hal mustahil dan konyol oleh para dewa. Namun, Rikmadenda keukeuh ingin mengetahui siapa tuhan, sebab menurut informasi yang dia percaya, seseorang yang mengenal tuhan hanya namanya saja, masih dikategorikan kafir.

Tak ada dewa yang bisa menjawab, sampai dia berjumpa dengan rajanya para dewa, Sanghyang Otipati alias Gurunata, alias Jagatnata, raja tiga alam (Triloka) yang punya istri Dewi Uma.

Jagatnata menjelaskan siapa itu tuhan, sampai pada kesalahan fatal dalam penjelasannya yang membuat Rikmadenda mengamuk. Jagatnata menyebutkan bahwa dirinya adalah Tuhan itu.

Rikmadenda tidak terima, sebab menurut informasi, tuhan itu bukan laki-laki maupun perempuan, sedangkan Gurunata adalah laki-laki, bahkan punya istri. Maka menurut Rikmadenda, Gurunata bukanlah tuhan.

Rikmadenda lalu membuat kekacauan. Semua dewa dilawan, termasuk Otipati. Dia mengejar Otipati alias gurunata sampai ke manapun berlari. Dan ketika Otipati menghilang dari pandangannya, Rikmadenda berpikir bahwa Otipati lari ke rumah orang tuanya, Sanghyang Tunggal. Sekalian jika Rikmadenda bertemu Sanghyang Tunggal, dia juga akan bertanya siapa itu tuhan?

Rikmadenda Pada Wayang Golek Bandung

Perusahaan rekaman, S Record merekam pementasan wayang berjudul "Rikmadenda" yang dibawakan dalang wayang golek senior, Dede Amung Sutarya (wafat pada 2014). Pementasan ini dipirig musik dari sanggar Munggul Pawenang Bandung.

Rikmadenda yang dikisahkan Dede Amung Sutarya tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulis Ajip Rosidi dalam Rikmadenda Mencari Tuhan, tetapi karakter yang disajikan Dede Amung Sutarya lebih bengal. Dikisahkan, Rikmadenda adalah anak raja yang baru saja lulus berbagai macam pendidikan dan menguasai 'Ilmu Kadugalan'.

Ilmu itu akan berbahaya jika Rikmadenda diserahi tahta kerajaan. Maka, sebelum benar-benar 'hatinya tunduk' dan tidak lagi merasa sombong karena semua ilmu kadugalan dikuasai, dia tidak akan mendapatkan tahta kerajaan.

Syarat utama dia mendapatkan takhta kerajaan adalah menjawab dua pertanyaan: 1) Di manakah Mahakuasa?; 2) Bagaimana wujudnya?

Berikut ini adalah kisahnya, disarikan dari pementasan wayang oleh dalang Dede Amung Sutarya:

Rikmadenda, Anak Raja Bengal Mencari Tuhan

Kocap tercerita, Prabu Eling Rasa yang mengenakan Mahkota Binokasih memanggil anaknya, Rikmadenda ke Keraton Sirna Sampurna.

Alasan panggilan itu adalah pertama, Prabu Eling Rasa merasa kangen kepada anaknya yang telah lama pergi jauh untuk berguru mendalami beragam ilmu. Kedua, karena Prabu ingin tahu ilmu apa saja yang telah dipelajarinya.

Yang tak kalah penting dari itu adalah yang ketiga, Prabu Eling Rasa sudah tua dan ingin melimpahkan takhtanya kepada Rikmadenda. Tidak perlu menunggu besok, saat itupun Mahkotanya akan dia lepaskan dan diberikan ke Rikmadenda asal anaknya itu memang sudah cocok secara psikologis memimpin kerajaan.

Wooh! Rikmadenda yang sombong dan bengal karena merasa sudah selesai mencari ilmu dan telah mengalahkan murid beserta guru-guru dari 77 perguruan dengan pertentang siap bertakhta.

"Kalau ada rakyat yang melanggar saya akan bunuh, kalau saya ingin perempuan tapi orang tuanya tidak mengizinkan akan saya bunuh. Kalau ada istri orang saya inginkan tapi suaminya tidak mengizinkan akan saya bunuh!" kata Rikmadenda di hadapan ayahnya.

Ayahnya merasa menyesal membiarkannya berguru di banyak tempat dengan liar sehingga yang diraih anaknya bukan ilmu kesejatian, melainkan kadugalan, ilmu untuk berbuat kebengalan.

Namun, dengan bijaksana ayahnya menjawab bahwa menjadi raja itu tidak cukup dengan kadugalan. Raja harus bisa terbang.

"Apa? Cuman terbang? Lah saya bisa terbang," jawab Rikmadenda sambil melayang-layang.

"Bukan terbang melayang seperti burung, tapi harus bisa membuat rakyat menjadi makmur," jawab Prabu Eling Rasa, sambil menambahkan raja juga harus bisa Mubus Bumi atau menembus bumi.

"Lah, cuman menembus bumi. Ini saya bisa," jawab Rikmadenda sambil menembus bumi. Tapi lagi-lagi kesaktiannya ditepis Prabu Eling Rasa.

Mubus Bumi, bukanlah menembus bumi secara harfiah, melainkan menembus kedalaman hati rakyat, merasakan senang dan deritanya, merasakan keluh dan gelisahnya, mendengar dengan seksama apa harapan rakyat, baik rakyat elit maupun alit (kecil).

"Raja harus bisa napak sancang (berjalan di muka air)," kata Prabu Eling Rasa.

"Lah, cuman berjalan di atas air, nih saya bisa," kata Rikmadenda sambil berjalan di atas air.

"Bukan, bukan itu. Berjalan di atas air maksudnya pemimpin bisa berpijak pada semua golongan," jawab Prabu Eling Rasa.

Rikmadenda tak menjawab, hingga Prabu Eling Rasa memberinya pertanyaan yang jika bisa Rikmadenda jawab, jangan menunggu besok, saat itupun Mahkota Binokasih jatuh ke tangan Rikmadenda. Artinya dia bisa jadi raja seketika itu.

"Kamu sudah melanglang buana mencari ilmu. Jawab saja dua pertanyaan ini. Di mana itu Mahakuasa (tuhan)? Seperti apa wujud Mahakuasa itu?" tanya Prabu Eling Rasa.

Rikmadenda hening. Ilmu yang dia anggap selesai proses pencariannya, ternyata tidak bisa menjawab dua pertanyaan sederhana itu. Di tengah kebingungan itu, Rikmadenda akhirnya menyerah dan menunggu titah selanjutnya dari ayahnya.

Dia diharuskan mencari guru, apakah setingkat Begawan, Resi, Pandita, Wiku, Dewa, bahkan Sanghyang sebagai tempat bertanya dua pertanyaan itu. Rikmadenda lalu pergi melaksanakan titah itu.

Dia masuk ke hutan, dicabuti pohon-pohon barangkali di bawahnya ada tuhan. Dia hancurkan batu-batu, barangkali pada intinya ada Mahakuasa, tapi hutan hancur batu berantakan, dia tak menemukan tuhan. Sampai dia tersesat di Padepokan Jatisampurna.

Di situ, dia bertemu Pandita Kakasih Jatirasa yang dengan sombong dan bengal, Rikmadenda mengancam membunuh pandita itu jika tidak bisa menjawab pertanyaan yang dia cari jawabannya itu.

Pandita menjawab, jangankan soal ketuhanan, dia sendiri yang sehari-hari tinggal di desa tidak tahu hal-hal sederhana seperti nama anak raja yang sedang dihadapinya. Tapi, meski tidak bisa menjawab, dia bisa memberi petunjuk siapa yang bisa menjawab. Diberilah petunjuk bahwa Rikmadenda harus naik ke kahiangan untuk menanyakan itu kepada para dewa.

Dewa di Suralaya atau kahiangan berang dengan kehadiran "orang" ke tempat suci itu. Namun, Rikmadenda memaksa. Dan ketika ditanya maksud kedatangannya untuk mencari jawaban "Di manakah Mahakuasa? Seperti apa wujudnya?" taj satupun dewa menjawab.

Seperti kepada pandita tadi, Rikmadenda mengancam akan menyakiti para dewa jika tidak bisa menjawab. Dan karena tidak ada yang menjawab, Rikmadenda mengatakan, Kedewaan adalah lembaga yang tidak perlu ada, maka Kedewaan harus dibubarkan. Rikmadenda melawan satu persatu para dewa dan semuanya kalah. Brahma, Batara Bayu, semuanya takluk.

Sampai dia bertemu dengan Otipati alias Jagatnata alias Gurunata atau Batara Guru. Namun, dengan penjelasan berbelit-belit yang akhirnya Otipati menyebutkan dirinya sebagai Mahakuasa atau Tuhan, Rikmadenda marah besar.

Tidak mungkin Mahakuasa itu lahir dari ibu dan bapak seperti Otipati yang punya ibu dan bapak. Lagipula, Otipati menjadi raja kahiangan karena diposisikan oleh orang tuanya.

"Kalau begitu, Otipati itu bukan Mahakuasa tapi kekuasaan. Karena diadakan oleh Mahakuasa yang punya kuasa," kata Rikmadenda sambil bersiap-siap mengejar Otipati yang kabur menuju keponakannya, Kresna.

Oleh Kresna dijelaskan dengan pandangan ketuhanan menurut Islam, bahwa Tuhan itu laisa kamislihi syaiun (tidak ada yang semisal dengannya), dan wujudnya itu aqrabu min hablil warid (lebih dekat ketimbang urat leher). Rikmadenda pun mulai paham.

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads