Pada masa Hindia Belanda, di Cirebon pernah terkena wabah kolera. Dalam catatan arsip koran yang terbit pada masa Hindia Belanda, penyakit kolera mulai muncul di Cirebon pada abad ke 19, seperti yang ditulis dalam koran Java Bode edisi 14 Juni 1865.
Kala itu, koran Java Bode memberitakan wabah kolera banyak terjadi di Cirebon. Selama hampir satu tahun, ribuan penduduk pribumi, orang Tionghoa, dan sebagian orang Eropa terkena wabah kolera.
"Kolera muncul kembali dan beberapa kasus juga terjadi di Cheribon . Orang mungkin berpikir bahwa Cheribon selalu terbebaskan. Tapi sayangnya, Kolera telah merajalela di sini selama lebih dari setahun. Ribuan orang Jawa, segerombolan Tionghoa, dan juga sebagian orang Eropa telah direnggut olehnya," tulis koran Java Bode edisi 14 Juni 1865.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koran Oprechte Haarlemsche Courant edisi 14 Februari 1865, menyebutkan kolera sudah memakan banyak korban jiwa. Dalam koran de Locomotif yang terbit pada tahun 1897, wabah kolera sudah menyebar di Ketanggungan dan Rawaurip.
"Laporan dari Pulau Jawa hingga tanggal 31 Desember tahun lalu melaporkan bahwa kolera kembali merebak di kediaman Cheribon dan telah memakan banyak korban jiwa," tulis koran Opregte Haarlemsche Courant edisi 14 Februari 1865.
Penyebaran terus berlanjut, pada tahun 1901, dalam koran Lokomotif edisi 14 November 1901, dilaporkan wabah kolera sudah menyebar ke Ciledug, Cirebon Timur. Saat itu puluhan pasien meninggal. Untuk mencegah penyebaran, di Ciledug, masyarakat dilarang menjual buah mentah karena dapat membahayakan kesehatan.
![]() |
Pada tahun 1906, surat kabar De Locomotif melaporkan kembali kondisi wabah di Ciledug yang semakin parah. Di sana, pemerintah tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi wabah. Salah satu petugas administrasi rumah sakit yang berasal dari kalangan pribumi, bahkan menyebutkan penduduk asli tidak diberikan obat apapun saat ke rumah sakit.
"Saya tidak dapat memberitahu anda berapa banyak korban yang telah ditimbulkan, karena tidak ada tindakan yang dilakukan pemerintah di sini mengenai penyakit ini," tulis surat kabar Lokomotif edisi 20 September 1906.
Pada tahun 1902, di Desa Cangkol, wabah kolera juga sudah menyebar. Setiap hari penyakit kolera merenggut beberapa nyawa manusia, seperti yang dipaparkan dalam koran Algemeen Handelsblad edisi 27 Maret 1902. "Di Desa Tjankol misalnya, kemarin masing-masing tujuh dan lima orang meninggal dunia ," tulis Algemeen Handelsblad edisi 27 Maret 1902.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1913, wabah kolera juga ditemukan di Desa Waru dan Gamel, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon. Ini seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Het Vaderland edisi 27 Juni 1913.
"Kolera telah terdeteksi di desa Gamel dan Weroe (distrik Ploembon) . Kasus penyakit terjadi di desa Sunyaragi, yang kemungkinan adalah kolera. Penting untuk sangat berhati-hati, terutama di hari-hari panas ini, terjadi juga kesembuhan pada kasus kolera Djamblang," tulis surat kabar Het Vaderland edisi 27 Juni 1913.
Oleh masyarakat, penyakit kolera disebut juga dengan diare ganas, karena menyebabkan rasa sakit yang sangat serius di area perut, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 2 Maret 1902.
"Sepertinya penyakit ini kembali mewabah di kota kita. Angka kematian penduduk pribumi sangat tinggi, terlihat jelas dari banyaknya pemakaman yang melewati kantor kami setiap hari. Kita mungkin menyebutnya sebagai "diare ganas" atau "serangan" dari penyakit mirip kolera , namun penting untuk tidak meremehkan penyakit ini dan melakukan kewaspadaan yang diperlukan," tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 2 Maret 1902.
Tidak hanya di darat, wabah kolera juga menyebar di laut. Kala itu sebuah kapal dari Tanjung Priok mendarat di pelabuhan Cirebon tanpa karantina terlebih dahulu, seperti yang dikabarkan dalam surat kabar de Locomotif edisi 14 Oktober 1909.
"Kasus kolera didiagnosis di kapal di Cheribon dan dokter setempat di sana melarang kapal tersebut melakukan kontak dengan pantai," tulis de Lokomotif edisi 14 Oktober 1909.
![]() |
Mengutip dari Jurnal Belajar dari Sejarah Wabah di Cirebon, karya Tati Rohayati, menyebutkan total masyarakat yang terkena wabah kolera di Cirebon mencapai 50.000 orang dengan rincian, 29.709 menderita demam tinggi dan 21.883 memiliki gejala muntah-muntah.
Wabah kolera juga menyebabkan pabrik gula dan para pedagang beras tutup. Hal ini menyebabkan roda perekonomian terganggu, dan banyak pedagang mengalami kerugian.
Penyebab Wabah Kolera
Dalam banyak surat kabar juga disebutkan tentang berbagai macam hal yang menyebabkan kolera mudah tersebar di Cirebon. Salah satunya ketidakpedulian pemerintah terhadap kebersihan di Cirebon.
Kala itu kolam-kolam di Cirebon banyak yang tergenang, rawa-rawa yang selalu penuh dengan air, pemukiman kumuh, pipa saluran air yang mampet, serta Kalibacin yang tercemar dengan limbah, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 22 Mei 1911.
"Dan sudah menjadi fakta yang diketahui selama bertahun-tahun bahwa penyakit-penyakit ini dapat menyebar dengan sangat cepat, karena di sini, seperti di banyak tempat lain di India, negara belum menjamin saluran air limbah dan pengurasan kota yang efektif. Kali Batjin, yang sebenarnya ada di sana untuk menyiram air ke sistem selokan di kota sudah tidak memadai, bahkan tidak memiliki cukup air untuk menghilangkan kotorannya sendiri selama masa pengeringan," tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 22 Mei 1911.
Bahkan parit yang ada di pantai Cirebon, penuh dengan limbah yang mengendap selama berbulan-bulan, menyebabkan warga Kejaksan yang tinggal dekat dengan laut meninggal karena kolera.
"Tepian parit yang bau ini tertimbun lumpur, rumput dan rumput liar setinggi satu meter, dan kotoran yang terkumpul di antara keduanya, yang tertinggal di sana selama berbulan-bulan, merusak udara. Melewati sebagian kamp Arab dan Cina, banyak rumah muncul, dengan pintu belakang yang hanya ada untuk membuang kotoran dan puing-puing ke Kali Batjin," Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 22 Mei 1911.
Pegiat sejarah Cirebon, Putra Lingga Pamungkas mengatakan, sejak dahulu Kalibacin memang dikenal sebagai sarang penyakit, seperti malaria, dan kolera. Untuk mengatasinya pemerintah Cirebon menimbun Kalibacin agar tidak menularkan penyakit.
"Sejak dahulu Kalibacin memang jadi sarang penyakit, berasal dari nama Bacin yang dalam bahasa Indonesia berarti bau busuk. Oleh walikota Cirebon, Kalibacin diurug untuk menghindari wabah penyakit," tutur Lingga, belum lama ini.
"Selain mengurug Kalibacin, langkah pemerintah Hindia Belanda lainya adalah dengan, membangun banyak rumah sakit dan klinik, serta vaksinasi. "Pengurugan kalibacin, membangun rumah sakit orange, membangun klinik dan mensosialisasikan vaksin," tutur Lingga.
Dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 7 Juni 1916 disebutkan, setiap hari ada sekitar ribuan vaksin kolera yang diberikan oleh seorang dokter dari Batavia kepada masyarakat Cirebon.
"Kasus kolera terdeteksi di kota Cheribon. Beberapa pasien lainnya masih dalam observasi. Beberapa kasus terjadi di Kecamatan Kapetakan. Seorang dokter dari Batavia segera datang dari Batavia, sekitar 2.000 orang menerima vaksinasi setiap harinya," tulis koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 7 Juni 1916.
(orb/orb)