Selain penyakit cacar, tifus dan malaria. Dahulu, Cirebon juga pernah terkena wabah penyakit kulit yang dikenal dengan nama frambusia atau penyakit patek. Dalam KBBI frambusia atau patek sendiri disebut sebagai penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri spora, penularannya melalui kontak langsung.
Surat kabar dan arsip foto zaman Hindia Belanda kala itu mengabarkan tentang wabah patek dan upaya penanganannya di Cirebon, seperti arsip digital Southeast Asian & Caribbean Images (KITLV) Leiden University Libraries. Banyak arsip digital yang menggambarkan tentang kondisi wabah penyakit frambusia di Cirebon, beberapa foto tersebut kebanyakan diambil pada tahun 1921.
Salah satunya foto berjudul 'Ibu dan anak yang terkena epidemi frambusia di sebuah desa di distrik Cirebon'. Seorang perempuan bersama dua anaknya dengan kulit wajah yang dipenuhi ruam mirip buah beri. Selain wajah, punggung anak itu mengalami ruam. Sedangkan satu anak perempuannya mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda, sambil memegang tangan sang ibu, di kulit tubuh anak tersebut terlihat luka ruam di bagian wajah, perut, tangan dan kaki sang anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam foto lain juga terlihat, dua orang pemuda bertelanjang dada yang mengidap penyakit patek. Wajah pemuda itu dipenuhi ruam, tepatnya bagian mulut dan mata. Kemudian, di tangannya juga terdapat ruam.
Ada juga foto keluarga. Orang tua dan satu anaknya mengidap patek. Wajah keluarga itu mengalami ruam di mulut dan matanya. Di bagian kaki dan tangan sang anak juga terlihat luka ruam karena frambusia.
Dalam foto arsip lain juga terlihat saat dokter pemerintah Hindia Belanda melakukan vaksinasi frambusia di Cirebon, foto arsip yang diberi judul 'Penduduk sebuah desa di distrik Cirebon di vaksinasi selama epidemi frambusia' memperlihatkan dua orang pribumi, kiri dan kanan, sedang divaksin oleh seorang dokter Belanda, di sekitarnya banyak penduduk pribumi berkerumun untuk menunggu giliran divaksin.
Menurut pegiat sejarah Cirebon Putra Lingga Pamungkas foto tersebut diambil di sebuah desa yang ada di Cirebon Barat. "Pemberian vaksin era Belanda di Desa Jungjang, Arjawinangun," tutur Lingga belum lama ini.
Tak hanya lewat foto, wabah frambusia atau patek juga banyak dikabarkan dalam beberapa surat kabar Hindia Belanda seperti yang ditulis De Preanger Bode edisi 29 Mei 1922, lewat artikel yang berjudul 'Pengendalian Frambusia', De Preanger Bode mengabarkan tentang upaya Pemerintah Hindia Belanda melalui dinas kesehatan di Jawa Barat melakukan penanganan wabah patek ejak tahun 1912 di Banten dan Cirebon.
Kala itu ada sekitar 10.000 orang yang terjangkit patek di Cirebon dan Banten. Oleh pemerintah Hindia Belanda mereka yang terjangkit diberi obat antibiotik berupa neo salvarsan, sebuah antibiotik yang marak digunakan ketika itu.
"Melalui kerja sama pejabat administrasi dan medis, ribuan pasien frambusia dapat dikumpulkan dalam waktu singkat dan menyuntik mereka dengan neo salvarsan, tanpa harus menyumbang biaya untuk obat ini. Baik di Banten maupun Cheribon (Cirebon), sejauh ini sekitar 10.000 penderita frambusia telah dirawat tanpa membayar biaya salvarsan, selain itu juga beberapa ratus pasien yang disuntik secara gratis untuk tujuan propaganda," tulis surat kabar De Preanger Bode edisi 29 Mei 1922.
![]() |
Neo salvaran juga dijual. Masyarakat yang menginginkan obat itu harus membelinya ke camat dengan membayar beberapa gulden, mata uang yang diapakai saat itu. Dengan memberikan tarif, tujuannya agar masyarakat tahu cara membayar obatnya sendiri. Selain itu juga, menurut camat, satu suntikan neo salvarsan cukup untuk menyembuhkan penyakit frambusia.
Sementara itu, dalam surat kabar De Locomotif edisi 16 September 1933 menyebutkan, pemerintah bersungguh-sungguh dalam memberantas frambusia, yakni dengan melakukan pemeriksaan gizi di setiap desa, membuka klinik rawat jalan, serta menerima konsultasi penyakit.
Bahkan, pada tahun 1941, pemerintah Kabupaten Cirebon, mengalokasikan anggaran untuk penanganan frambusia mencapai ribuan gulden, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar De Indische Courant edisi 18 September 1940.
"Kabupaten Cirebon telah mengalokasikan dana sebesar NLG 6.000 untuk tahun dinas 1941 untuk memerangi frambusia yang ditakuti," tulis surat kabar De Indische courant edisi 18 Desember 1940.
Setelah kemerdekaan, wabah frambusia tak kunjung hilang. Pada tahun 1950 di Cirebon, pemerintah masih memberikan vaksinasi frambusia kepada 3.000 orang. Pemerintah juga memberikan pakaian dan obat-obatan dalam jumblah yang besar, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Preangerbode edisi 18 Agustus 1950.
"Lebih dari 3.000 orang di 15 desa menerima vaksinasi frambusia, sedangkan di kampung Suranenggala (kabupaten Cirebon) warga menerima vaksinasi punggung bukit. Di Cirebon, sebanyak 4.100 potong pakaian jadi telah dibagikan secara gratis kepada masyarakat, serta 4.400 buah pelindung dada untuk anak sekolah dan stok obat-obatan dalam jumlah besar," tulis surat kabar Preangerbode edisi 18 Agustus 1950.
Dalam surat kabar Algemeen Indisch dagblad de Preangerbode edisi 1 September 1954, dipaparkan tentang sebuah penelitian yang dilakukan tahun 1954. Diperkirakan, ada sekitar 40% penduduk Cirebon yang terkena penyakit frambusia, bahkan dari 64 kelurahan di Cirebon yang terjangkit frambusia, baru 3 kelurahan yang ditangani.
"Menurut penelitian, jumlah penderita penyakit frambusia di kediaman Cirebon, setidaknya 40% dari total penduduk. Angka pastinya belum bisa ditentukan karena baru sekitar 80% populasi yang diperiksa. Terakhir, terkait hasil pengendalian frambusia di Cirebon, diumumkan bahwa dari 64 kelurahan kendali di karesidenan ini, baru 3 kelurahan yang tertangani," tulis Algemeen Ide Preangerbode edisi 1 September 1954.
Dalam surat kabar tersebut juga dipaparkan tentang sebab meluasnya wabah frambusia di Cirebon, yakni, karena tingkat kepadatan penduduk yang tinggi serta kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya berobat ke pelayanan kesehatan.
(sud/sud)