Selain banyak terjadi wabah penyakit yang menyerang manusia, pada masa Hindia Belanda, di Cirebon juga pernah ada wabah penyakit yang menyerang hewan ternak, yakni wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Mengutip detikNews, PMK merupakan jenis penyakit yang disebabkan oleh virus dan menular sangat cepat pada hewan berkuku belahan, seperti sapi, kerbau, kambing dan domba.
Ada beberapa gejala hewan yang terinfeksi PMK, seperti air liur berlebih dan menggantung, lepuh dan luka yang mengelupas di sekitar mulut, lidah, gusi dan hidung, demam tinggi hingga kematian mendadak pada anak hewan yang tertular PMK. Penyakit PMK sendiri mulai terdeteksi di Indonesia pada tahun 1887, akibat dari adanya impor sapi dari Belanda ke Pulau Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kembali ke Cirebon, pada masa Hindia Belanda, wabah PMK banyak diberitakan dalam berbagai macam surat kabar, seperti surat kabar De Locomotif edisi 12 Februari 1895. Kala itu, penyakit PMK yang banyak menyerang hewan ternak khususnya sapi, sudah mulai menyebar di beberapa wilayah di Cirebon, seperti Susukan, Gegesik Wetan, Tegal Gubug, dan juga Gebang.
Untuk mencegah penularan, pemerintah Hindia Belanda, melarang keluar hewan ternak dari daerah yang terjangkit PMK. Selain melarang keluar, pemerintah Hindia Belanda juga melarang peternak untuk berhenti atau transit di daerah yang terkena wabah. Pada tahun 1926, hampir seluruh pulau Jawa terkena penyakit PMK. Namun, kematian yang dilaporkan akibat penyakit PMK pada ternak masih tergolong kecil.
Beberapa tahun kemudian, yakni di tahun 1933, wabah PMK kembali menyerang hewan ternak di Cirebon. Dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 19 Januari 1933 disebutkan, penyakit kuku dan mulut mulai menyebar di Sindanglaut, Cirebon, setidaknya ada sekitar 400 hewan ternak yang terjangkit virus PMK. Selain Sindanglaut, penyakit PMK juga menyebar di wilayah Leuweunggajah.
Setahun setelahnya, tepatnya di tahun 1934, wabah PMK sudah menyebar di Cirebon Barat, yakni Arjawinangun. Mengutip surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 10 Maret 1934, wabah PMK menyebabkan kematian puluhan hewan ternak di Arjawinangun. Untuk mencegah penyebaran, dokter hewan merelokasi peternakan yang terjangkit PMK.
"Epidemi penyakit mulut dan kuku telah merebak di antara kawanan hewan ternak di distrik Ardjawinangoen, yang telah menewaskan lima puluh hewan. Dinas Kedokteran Hewan telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menemukan dan memberantas penyakit ternak yang menakutkan ini," tutur surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 10 Maret 1934.
Sampai tahun 1935, peternak Cirebon masih khawatir akan penyebaran penyakit PMK pada sapi. Pasalnya, mengutip surat kabar Nederlandsch-Indische edisi 18 Januari 1935, salah satu sebab menyebarnya wabah PMK di Cirebon, adalah berasal dari sapi yang dikirim dari Jawa Tengah. Setidaknya ada 31 ekor sapi yang terdampak PMK di Cirebon, yang disebabkan karena sapi potong yang berasal dari Jawa Tengah.
Di tahun 1941, untuk memastikan hewan ternak tidak tertular PMK, sebelum diekspor ke Singapura, Dinas Kesehatan Hewan Provinsi mengkarantina 2.505 ekor hewan ternak terlebih dahulu selama 10 hari, karantina tersebut dilakukan oleh para exportir yang disepakati oleh bea cukai dan petugas pemeriksa hewan. Hal ini dilakukan, karena sepanjang tahun, hewan ternak di Cirebon terkena gejala penyakit PMK, seperti yang dikabarkan dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 17 April 1941.
"Penyakit mulut dan kuku terjadi sepanjang tahun di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, termasuk pada dua hewan dari peternakan sapi perah di Cirebon. Untuk mencegah agar penyakit tidak menular lebih banyak, angkutan ternak dilakukan dengan kapal atau kereta api," tulis surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 17 April 1941.
Ada banyak penyebab kenapa PMK marak terjadi di Cirebon, seperti kondisi kandang hewan yang sempit dan kotor. Selain kondisi kandang, banyak hewan ternak juga ditemukan dalam kondisi kurang gizi dan stress, karena dalam perawatannya seringkali dicambuk dan kurang diperhatikan kondisi kesehatannya.
"Hewan-hewan tersebut terlalu kecil, kekurangan gizi, terlalu muda atau terlalu tua, terluka, ternaknya tidak bahagia, dan diangkut dengan dicambuk di sepanjang jalan, hari demi hari sampai mereka terjatuh. Polisi tidak berbuat banyak mengenai hal ini. Kandang dan pekarangan seringkali sangat tidak memadai, dan hewan-hewan sering berada di lantai bambu yang tidak rata, penutup atap tidak memadai, dan drainase sering tidak ada, sementara beberapa pemindahan dilakukan tanpa izin," tulis surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 17 April 1941.
Para peternak, sebenarnya menginginkan kondisi kandang yang lebih baik. Namun, terkendala biaya, karena saat itu, peternak dan pemilik lahan banyak yang hidup dalam kemiskinan, usaha ternak mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh pemerintah Hindia Belanda, mereka diberikan akses ke dokter hewan dan pengawas hewan ternak.
"Tidak mudah untuk memperbaiki hal ini, karena mayoritas tuan tanah dan penduduknya sangat miskin, sehingga mereka dan keluarganya mereka hanya bertahan hidup dari pendapatan sehari-hari dan tidak ada yang tersisa untuk perbaikan kandang dan lain-lain. Ada kemungkinan bahwa peternak tersebut akan memiliki akses ke dokter hewan dan pengawas," tulis surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 17 April 1941.
Untuk mencegah penyebaran, pemerintah Hindia Belanda juga langsung menyembelih hewan ternak yang terkena penyakit PMK. Selain penyakit PMK, pada masa Hindia Belanda juga terjadi penyebaran penyakit antraks dan kudis pada hewan ternak. Mengutip surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 29 Oktober 1941, karena belum adanya vaksin hewan ternak, untuk menyembuhkan penyakit tersebut, para peternak menggunakan kreolin, salep minyak hati ikan, jeruk nipis, larutan belerang dan juga yodium.
(mso/mso)