Tahu Sumedang merupakan salah satu ikon kuliner bagi Kabupaten Sumedang. Selain bentuk dan rasanya yang lezat, ciri khas lainnya yakni dikemas dengan sebuah wadah yang namanya bongsang.
Bongsang adalah sebuah keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Wadah ini digunakan bagi mereka yang membeli tahu Sumedang.
Eksistensi bongsang boleh dibilang tidak terlepas dari kepopuleran tahu Sumedang. Atau dapat diibaratkan seperti botol dengan tutupnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti dikutip dari buku Tahu Sejarah Tahu Sumedang oleh M. Luthfi Khair A, Rusydan Fathy (2021 :120), Bungkeng dan tahu Sumedang sejatinya juga membawa berkah bagi pelaku usaha lain. Perajin keranjang bongsang (wadah yang digunakan ketika membeli tahu Sumedang yang terbuat dari anyaman bambu) dapat hidup karena adanya tahu Sumedang.
Tahu Sumedang, dengan demikian, mampu menggerakkan ekonomi lokal masyarakat, ekonomi kerakyatan yang mana bagi Indonesia, juga merupakan tumpuan bagi ekonomi nasional.
Salah satu pengurus UMKM Bongsang Jembar Sawargi di Dusun Cinungku, Desa Cikonengkulon, Ade Sukiman menjelaskan, Desa Cikoneng dan Desa Cikonengkulon merupakan salah satu sentra para perajin bongsang.
"Desa Cikonengkulon terbagi ke dalam tiga dusun, yakni Cinungku, Nagrak dan Cimareme dan dari tiga dusun itu yang masih banyak perajinnya di Desa Cikonengkulon yaitu Dusun Cinungku dan Nagrak," terang Ade kepada detikjabar, Sabtu (24/9/2022).
Ade sendiri menampung bongsang tidak hanya dari dusunnya saja. Akan tetapi menampung dari dusun yang ada di sekitarnya.
"Kita juga menampung bongsang dari perajin bongsang dari dusun lainnya seperti dari Dusun Cijengkol di Desa Cikoneng dan dusun lainnya," ujarnya.
Ade menuturkan, ada sekitar 30 perajin di bawah naungan UMKM Bongsang Jembar Sawargi. Para perajin ini dalam satu minggunya rata-rata mampu menyetorkan sekitar 3 sampai 4 kontet (1 kontet berisi 100 bongsang).
"Atau satu bulan rata-rata mampu menjual sekitar 300 kontet," ujarnya.
Ade menyebut, permintaan bongsang akan meningkat jika akan menghadapi hari-hari besar, seperti Idul Fitri, Idul Adha dan hari besar lainnya.
"Dalam sebulan bisa sampai 1.500 kontet permintaannya," ujarnya.
Bongsang-bongsang hasil para perajin Dusun Cinungku sendiri banyak diminati oleh sejumlah konsumen baik lokal atau luar daerah.
"Untuk sekarang-sekarang ini penjualan bongsang untuk luar daerah seperti ke Kalimantan, Sumatera seperti Jambi dan daerah lain disana, Kuningan, Jakarta, Sukabumi dan daerah lainnya," terangnya.
"Kenapa di Kalimantan, Sumatera atau daerah lainnya banyak konsumen bongsang, karena di daerah-daerah itu banyak orang Sumedang yang sukses mendirikan pabrik tahu, jadi disana pun sama buat wadah tahu," Ade menambahkan.
Harga bongsang Cinungku sendiri untuk satu kontetnya dihargai pada kisaran Rp 43 ribu.
Ade menjelaskan, pembuatan bongsang terbilang cukup sederhana. Dimulai dari pemilihan bahan baku berupa bambu yang tidak terlalu tua.
Setelah itu, bambu yang masih gelondongan untuk kemudian dipotong-potong ke dalam dua ukuran, yakni 74 centimeter untuk membuat bongsang berukuran kecil dan 90 centimeter untuk bongsang berukuran besar.
Proses selanjutnya bambu tersebut dirajang panjang atau warga lokal menyebutnya dihua untuk menghasilkan bahan anyaman.
"Setelah proses itu, masuk pada proses penganyaman, proses penganyaman ini tiga kali tahapan, yakni anyaman bawah dan anyaman tengah dan anyaman atas hingga terciptalah satu buah bongsang," terangnya.
Baca juga: 6 Rekomendasi Makanan Khas Tasikmalaya |
Bahan Baku Sulit
Selain tingginya persaingan, mulai susahnya mencari bahan baku bambu menjadi tantangan cukup serius yang dihadapi para perajin bongsang dewasa ini.
"Sekarang kendala para perajin itu susah cari bahan baku. Harga bambu sekarang cukup mahal dibanding dulu, sekarang satu batang bambu harganya 10 ribu," terangnya.
Salah satu sebab sulitnya mencari bahan baku lantaran saat ini banyak lahan yang dijadikan perumahan-perumahan.
"Dengan adanya perumahan-perumahan otomatis pohon-pohon bambu ada banyak yang di tebang," ujarnya.
Sebab lainnya, banyak bandar bambu yang membeli dengan cara memborong langsung kepada warga untuk kebutuhan lainnya.
"Terus kadang ada juga bandar yang memborong langsung pohon bambu itu satu kebun kepada warga, padahal kalau diitung-itung jika digunakan untuk kerajinan bongsang bisa lebih bernilai ekonomis," paparnya.
Perajin Bongsang Menjamur
Seiring berjalannya waktu, para perajin bongsang pun semakin banyak bahkan tidak hanya di Sumedang.
"Dulu sebelum di Cisarua, Rancakalong dan wilayah lain di Sumedang banyak perajin, para konsumen rata-rata, ya lokalan lah jika mencari bongsang ya datang ke sini (ke Desa Cikoneng dan Desa Cikonengkulon)," terangnya.
Ade menyebut bongsang sendiri awalnya berasal dari Dusun Cinungku.
"Penyebaran perajin bongsang diawali dari pernikahan, jadi seperti orang sini menikah dengan wilayah lain di Sumedang, lalu buatlah bongsang di wilayah itu," ujarnya.
Baca juga: Menengok Pesona Kampung Turis Pangandaran |
Semakin maraknya para perajin bongsang di Sumedang menjadikan tingginya daya saing kaitannya dengan permintaan konsumen khususnya di Dusun Cinungku.
Kendati demikian, bongsang Desa Cikoneng dan Cikonengkulon khususnya di Dusun Cinungku hingga kini masih tetap eksis meski harus diakui bahwa permintaannya menjadi sedikit berkurang.
Simak Video "Menikmati Berbagai Kuliner Khas Kota Sumedang"
[Gambas:Video 20detik]
(dir/dir)