Di usia senja, Pak Udung, demikian ia biasa disapa, menjalani hari-harinya dengan kesunyian ditemani helai-helai bambu yang ia anyam dengan penuh cinta. Di sebuah gubuk tepi pantai, pria 63 tahun ini mencurahkan keahliannya membuat berbagai kerajinan bambu.
Kesendiriannya tak pernah mematahkan semangatnya, meski kelima anaknya telah merantau ke kota. Bagi Pak Udung, setiap anyaman dan kerajinan bambu adalah wujud kasih sayang dan dedikasinya terhadap kehidupan dan warisan budaya yang bermanfaat bagi kehidupan orang lain.
"Sudah belasan tahun saya menekuni keterampilan ini, menciptakan beragam kerajinan seperti hihid, kandang burung, meja, dan kursi. Apa saja, selama dari bambu bisa saya buat," tutur Udung kala ditemui detikJabar di pinggir Jalan Raya Citepus, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Udung, usia yang tidak lagi muda membuatnya tak sanggup memilah bambu sendiri. Setiap bambu ia pesan dari temannya. Ketika pesanan membeludak, dalam sehari ia bisa menghabiskan 40-50 batang bambu.
"Kalau untuk keranjang, satu batang bambu itu bisa jadi 6 sampai 7 keranjang. Pemesan kebanyakan nelayan, pencari ikan, hingga tukang mancing. Jadi kualitas anyamannya tidak sembarangan, harus benar-benar tahan air laut," tuturnya.
Saat musim ikan, pesanan keranjang membeludak. Ia kerap mendapat orderan hingga ribuan keranjang. Namun, pesanan sebanyak itu terpaksa ia tolak. Alasannya, usia yang tidak lagi muda dan semua kerajinan itu ia buat sendirian.
![]() |
"Musim ikan banyak yang pesan, bisa sampai ribuan, tapi saya tolak. Ya, yang kira-kira saya bisa 200 sampai 300 keranjang, saya juga sudah tua kan. Mengerjakan sendiri. Anak 5 sekarang sudah pada pergi, dua menikah, yang tiga kerja di Bekasi dan Jakarta," ucapnya.
"Ya menolak diam, tanpa kegiatan jadi untuk isi kekosongan, menyendiri aja. Tinggal di gubuk bikin sendiri, masak sendiri. Anak-anak sudah besar. Hasilnya buat makan, jadi enggak ngerepotin anak-anak juga. Mereka juga berjuang untuk diri sendiri dan keluarganya," lirih Udung.
Setiap anyaman bambu yang dihasilkan oleh Pak Udung tidak hanya menggambarkan keahliannya, tetapi juga cinta dan dedikasi yang ia curahkan dalam setiap bambu yang dirangkainya. Hasil kerajinan Pak Udung tidak hanya indah dipandang, tetapi juga kokoh dan fungsional.
"Satu set kursi dengan meja dan kursi saya jual Rp 400 ribu. Kalau satu kursi panjang Rp 120 ribu. Dinding bilik mata walik, 2 x 2 meter Rp 200 ribu, empat meter. Karena per meternya kan Rp 50 ribu. Kalau keranjang ikan besar Rp 15 ribu, yang kecil Rp 10 ribu. Kebanyakan untuk wadah ikan teri, ikan tembang, tongkol bisa," kata Udung.
"Bedanya plastik dan kayu, pertama keluar yang plastik, saya sempat sulit jual. Tapi sekarang malah pada nyari lagi, pakai boboko, pakai kipas bambu, tempat nasi ada yang mau pakai bambu lagi. Tidur juga dari bambu, katanya orang tua dulu menghilangkan rematik. Kalau tidur di lantai keramik malahan jadi penyakit, terlalu dingin. Dari bambu enggak."
Udung mendapatkan keahlian dari orang tuanya yang juga pengrajin bambu. Setiap pesanan bisa ia selesaikan dalam satu hari, tergantung ukuran dan kerumitan. Setiap rezeki yang ia peroleh ia simpan untuk biaya hidupnya.
Udung sempat dihantam badai sepi pesanan beberapa tahun silam. Kala itu, keranjang plastik merajalela membuat pesanan berkurang. Namun seiring waktu, banyak lagi pesanan mengalir karena ternyata bahan bambu dianggap lebih tahan lama.
"Kalau plastik kena air laut jadi rapuh, akhirnya pada nyari lagi, pakai boboko (tempat nasi), pakai kipas bambu, keranjang ikan. Bahkan membuat bale juga dari bambu. Kata orang tua dulu bisa menghilangkan rematik, kalau tiduran di lantai keramik malahan jadi penyakit," pungkasnya.
(sya/orb)