Samsul, seorang pria berusia 39 tahun tak pernah menyangka mimpinya bekerja di luar negeri berakhir dengan memilukan hingga mengubah hidupnya. Berangkat dengan niat mengubah nasib melalui ajakan teman yang sudah lebih dulu bekerja di Thailand, ia kini terjebak dalam kondisi menyiksa di wilayah konflik Myanmar.
Keluarga di Kampung Ranji Tengah, RT 002/009, Desa Kebonpedes, masih terus berjuang mencari kejelasan nasib Samsul, dengan harapan suatu hari ia bisa kembali pulang dengan selamat. Ayah dari dua anak ini disebut disekap di Myanmar.
Dani Ramdani (23) sepupu Samsul menjadi saksi dari perjuangan keluarganya. Kepada detikJabar, Dani menceritakan dengan berat hati mengenai kronologi keberangkatan dan situasi yang dialami oleh pamannya itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ajakan dari Teman: Awalnya Thailand, Berakhir di Myanmar
Keberangkatan Samsul awalnya diajak oleh temannya yang sudah ada di negeri seberang. Mulanya, Samsul diberitahu bahwa ia akan bekerja di sebuah perusahaan sebagai admin dengan iming-iming upah tinggi.
Namun, setelah tiba di Thailand, situasinya mulai membingungkan. Informasi mengenai pekerjaan dan tempat tinggal Samsul semakin samar, hingga akhirnya mereka mengetahui bahwa Samsul sudah dibawa ke Myanmar, wilayah yang terkenal dengan situasi konflik dan eksploitasi pekerja migran.
Di sana mereka pun dipaksa menjadi scammer online, atau melakukan penipuan secara jarak jauh.
"Awalnya cuma diajak kerja di Thailand, tapi kemudian dipindahkan secara diam-diam ke Myanmar tanpa sepengetahuan kami (keluarga)," kata Dani.
Komunikasi Terbatas: Cuma 15 Menit untuk Suara Pilu
Selama di Myanmar, komunikasi antara Samsul dan keluarganya sangat terbatas. "Kalau komunikasi, paling cuma via telepon, itu pun dibatasi cuma 15 menit," kata Dani dengan nada pilu.
![]() |
Samsul diberikan jatah penggunaan telepon dalam waktu singkat, sehingga ia sulit menceritakan dengan rinci keadaan sebenarnya. Namun, ada satu momen yang sangat membekas dalam ingatan keluarganya.
"Waktu itu, paman menelepon sambil menangis. Dia bilang sudah tidak tahan, ingin pulang, tidak diperlakukan manusiawi," cerita Dani.
Kondisi di Myanmar tampaknya sangat menyiksa, dengan perlakuan yang tidak manusiawi, serta jatah makan yang tidak pasti-kadang diberi, kadang tidak, tergantung mereka bekerja atau tidak.
Potong Gaji dan Penyiksaan
Dani juga mengungkapkan bahwa Samsul sempat bercerita tentang pemotongan gaji yang dilakukan secara tidak adil. "Gaji dipotong hanya karena kesalahan kecil, bahkan kesalahan satu menit pun dipotong. Tapi rincinya paman tidak cerita banyak, mungkin takut atau ada hal lain yang ia sembunyikan dari keluarga," tambahnya.
Keluarga merasa semakin khawatir saat Samsul mulai jarang memberikan kabar. Setelah sekitar satu bulan, komunikasi benar-benar terputus.
Kabar terakhir yang mereka terima, Samsul sudah dipindahkan ke Myanmar tanpa alasan yang jelas. Bahkan, Samsul sempat mengirimkan lokasi terakhirnya pada Agustus 2024 lalu.
Upaya Keluarga dan Rintangan yang Menghadang
Tak tinggal diam, keluarga Samsul, bersama korban lain yang mengalami nasib serupa, mencoba meminta bantuan dari berbagai pihak, termasuk SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) di Jakarta. "Kami sudah dua kali ke SBMI, tapi masih menunggu informasi yang jelas dari sana," ujar Dani.
Namun, sejauh ini belum ada kepastian mengenai langkah yang akan diambil untuk memulangkan Dani dan para korban lainnya. Lebih menyakitkan lagi, keluarga menerima permintaan tebusan sebesar Rp50 juta per orang.
"Permintaan uang tebusan itu kami terima, tapi tidak jelas siapa yang memintanya, apakah kelompok penyekap atau pihak lain," ungkapnya.
Nasib Samsul: Terperangkap Tanpa Kepastian
Samsul, yang sudah terjebak selama lebih dari empat bulan di Myanmar, masih belum diketahui nasibnya secara pasti. Keluarga hanya bisa berharap agar pemerintah dan pihak berwenang segera bergerak untuk membantu para korban perdagangan manusia yang terjebak dalam jaringan internasional ini.
Dani mengakhiri wawancara dengan harapan besar agar pamannya dapat kembali ke tanah air. Terlebih, ia memiliki dua orang anak dan istrinya yang kini bekerja di Qatar.
"Kami hanya ingin paman pulang dengan selamat. Kami tidak ingin ada orang lain yang mengalami apa yang dialami paman. Ini harus segera dihentikan," katanya.
Nasib Samsul adalah gambaran suram tentang pekerja migran yang terjebak dalam jaringan perdagangan manusia di wilayah konflik. Upaya penyelamatan dan intervensi yang lebih kuat sangat diperlukan, tidak hanya untuk Samsul, tetapi juga untuk seluruh korban yang mengalami jeratan yang sama.
(yum/yum)