Nasib 11 warga Kabupaten Sukabumi kini sedang diujung tanduk. Mereka sekarang terdampar di negara Myanmar setelah diduga terjebak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Sebelum kasus ini terbongkar melalui video yang viral di media sosial, ke-11 orang itu awalnya ditawari kerja di Thailand menjadi admin perusahaan keuangan digital semacam Kripto. Tawaran ini kemudian diterima dan mereka berangkat dalam rentang Mei hingga Juni 2024 menggunakan visa kunjungan.
Tapi ternyata, tawaran yang datang dengan menggiurkan ini rupanya hanya tipuan semata. Mereka terombang-ambing tak tentu arah hingga akhirnya mendarat di salah satu wilayah yang terkenal dengan situasi konflik dan eksploitasi pekerja migran yaitu di Myawaddy, Myanmar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah tiba di Myanmar, ke-11 warga Sukabumi ini ternyata dijebak untuk menjalankan tugas penipuan bermodus daring atau scammer. Bahkan ironisnya, mereka ikut dieksploitasi seperti mengalami pemotongan gaji hingga penyiksaan fisik.
Belakangan terungkap identitas ke-11 korban. Tujuh orang merupakan warga Desa Kebonpedes, dua dari Desa Jambenenggang, satu warga Desa Ciruenghas dan satu diantaranya berasal dari Desa Cipurut, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi. Kabar mengenai mereka pun kini sudah ditangani setelah keluarga korban melapor ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Pusat di Jakarta pada 14 Agustus 2024.
"Awalnya, mereka dijanjikan kerjanya di Thailand jadi admin di salah satu perusahaan seperti Kripto. Namun, faktanya mereka bekerja di Myanmar atau negara konflik dan juga disekap sebagai scamer online. Kita dapat laporan ada 11 orang warga Kabupaten Sukabumi," kata Ketua SBMI Kabupaten Sukabumi Jejen Nurjanah.
Kondisi terakhir 11 orang Sukabumi itu hanya bisa terpantau melalui video berdurasi 36 detik yang tersebar di medsos. Berbekal video tersebut, mereka meminta pertolongan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Prabowo Subianto selaku Presiden terpilih agar bisa dipulangkan kembali ke Tanah Air.
Ternyata, sebelum berangkat, 11 warga Sukabumi ini awalnya ditawari pekerjaan dengan upah hingga Rp 35 juta. Tapi kenyataannya, setelah tiba di negeri orang, mereka harus mengikuti pelatihan (training) selama tiga bulan tanpa gaji dan gaji pertama pun antara Rp 3,5 juta sampai Rp 6,5 juta.
"Iya (temannya) yang di Myanmar itu, dia sudah kerja di sana, (katanya) kerjanya enak, kerjanya sebagai admin salah satu perusahaan. Jadi korban tergiur dengan iming-iming gaji sebesar Rp35 juta per bulan," ujarnya.
"Faktanya kemarin gajinya itu variasi, ada yang nerima Rp5 juta, ada Rp6,5 juta, itu pun setelah training tiga bulan baru nerima. Kan training dulu untuk mengoperasikan jadi operator itu harus seperti apa, hanya dikasih makan (selama training)," sambungnya.
Upaya 11 warga Sukabumi ini untuk mendapat pertolongan ternyata menemui jalan yang terjal. Semenjak kabar pengaduannya tersebar, atasan mereka pun ditengarai naik pitam hingga menyekap mereka agar tak bisa berkomunikasi lagi dengan dunia luar.
"Iya disekap, ketika dia sudah ada yang tahu, bocor ke bosnya informasinya, dia disekap nggak dikasih makan atau hanya dikasih makan satu kali sehari dan itu pun makanan sisa. Memang kasus seperti ini kalau tahu ada pengaduan, ya disekap," ungkapnya.
Salah satu korban TPPO adalah Samsul (39) asal Kebonpedes, Sukabumi. Dani Ramdani (23) sepupu Samsul, kemudian menceritakan peristiwa pilu yang dialami saudaranya sekarang yang sedang terombang-ambing di negeri orang.
Samsul ternyata diajak temannya yang sudah berada lebih dulu di negeri Seberang. Mulanya, Samsul diberitahu bahwa ia akan bekerja di sebuah perusahaan sebagai admin dengan iming-iming upah tinggi.
Namun, setelah tiba di Thailand, situasinya mulai membingungkan. Informasi mengenai pekerjaan dan tempat tinggal Samsul semakin samar, hingga akhirnya mereka mengetahui bahwa Samsul sudah dibawa ke Myanmar, dan dipaksa menjadi scammer online, atau melakukan penipuan secara jarak jauh
Bukan cuma itu saja. Samsul juga disekap dan komunikasinya dengan dunia luar menjadi terbatas. Paling bantar, ia bisa menelepon keluarganya selama 15 menit yang membuat Samsul sulit untuk menceritakan kondisi teranyarnya.
"Waktu itu, paman menelepon sambil menangis. Dia bilang sudah tidak tahan, ingin pulang, tidak diperlakukan manusiawi," cerita Dani.
Keluarga merasa semakin khawatir saat Samsul mulai jarang memberikan kabar. Setelah sekitar satu bulan, komunikasi benar-benar terputus.
Kabar terakhir yang mereka terima, Samsul sudah dipindahkan ke Myanmar tanpa alasan yang jelas. Bahkan, Samsul sempat mengirimkan lokasi terakhirnya pada Agustus 2024 lalu.
Tak tinggal diam, keluarga Samsul, bersama korban lain yang mengalami nasib serupa, mencoba meminta bantuan dari berbagai pihak, termasuk SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) di Jakarta. Tapi, sejauh ini belum ada kepastian mengenai langkah yang akan diambil untuk memulangkan Dani dan para korban lainnya.
Keluarga pun hanya bisa berharap agar pemerintah dan pihak berwenang segera bergerak untuk membantu para korban perdagangan manusia yang terjebak dalam jaringan internasional ini. Dani menaruh harapan besar agar pamannya dapat kembali ke tanah air.
"Kami hanya ingin paman pulang dengan selamat. Kami tidak ingin ada orang lain yang mengalami apa yang dialami paman. Ini harus segera dihentikan," pungkasnya.
(ral/mso)