Kisah Asiyah Istri Firaun, Bukti Kesalihan Tak Bergantung Suami

Kisah Asiyah Istri Firaun, Bukti Kesalihan Tak Bergantung Suami

Lusiana Mustinda - detikHikmah
Rabu, 16 Jul 2025 05:00 WIB
Silhouette of young  human hands open palm up worship and praying to god  at sunrise, Christian Religion concept background.
Istri salihah. Foto: iStock
Jakarta -

Banyak yang mengira bahwa kesalihan seorang istri sangat tergantung dari suaminya. Padahal dalam Islam, seorang perempuan bisa menjadi sosok salihah dan mendapatkan jaminan surga atas keimanan serta ketakwaannya sendiri, tanpa harus bergantung pada siapa suaminya.

Al-Qur'an Menjunjung Tinggi Martabat Perempuan

Islam sangat memuliakan perempuan, dan Al-Qur'an menjadi bukti nyata penghormatan itu. Salah satu bentuknya adalah penamaan Surah An-Nisa, yang berarti "para perempuan". Dalam buku Allah Menyayangi Istri Salihah dan Menjanjikan Surga Untuknya karya Umi Azizah Khalil dijelaskan bahwa perempuan memiliki posisi yang istimewa di dalam Islam.

Laki-laki dan perempuan diciptakan sejajar, dengan peran mulia sebagai khalifah di muka bumi (QS Al-An'am [6]: 165). Keduanya sama-sama bertanggung jawab untuk beribadah dan menaati Allah SWT (QS Az-Zariyat [51]: 50). Tak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal tanggung jawab spiritual dan moral.

Penciptaan perempuan sendiri merupakan bagian dari kehendak Allah untuk menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan (QS Az-Zariyat [51]: 49). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan perempuan bukan sekadar pelengkap, apalagi hanya untuk memenuhi kepentingan laki-laki. Pandangan semacam itu hanyalah warisan budaya sebelum datangnya Islam, sebagaimana ditegaskan oleh cendekiawan Muslim, Prof. Nasaruddin Umar.

Kisah Istri Fir'aun: Bukti Kesalihan Tak Bergantung Suami

Salah satu contoh nyata tentang perempuan salihah yang tetap beriman meskipun berada di lingkungan yang sangat buruk adalah Asiyah binti Muzahim, istri Fir'aun. Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menyebutkan bahwa Asiyah adalah wanita dari kalangan Bani Israil yang hidup di bawah kekuasaan Fir'aun-raja Mesir yang kejam, zalim, dan menganggap dirinya sebagai Tuhan.

Namun di tengah kekejaman itu, Asiyah tetap berpegang teguh pada imannya. Bahkan ia berdoa dengan penuh harap kepada Allah SWT:

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا امْرَاَتَ فِرْعَوْنَۘ اِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ

Artinya: "Allah juga membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, yaitu istri Fir'aun, ketika dia berkata, "Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga, selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang zalim." (QS At-Tahrim: 11)

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menjadi perumpamaan luar biasa dari Allah bahwa berada dalam satu rumah dengan orang kafir sekalipun tidak akan mencelakakan seseorang yang tetap menjaga keimanan dan ketaatannya. Kesalihan seorang istri tidak terhapus hanya karena suaminya kafir.

Bahkan, Asiyah mendapat tempat yang mulia di sisi Allah. Ia juga merupakan wanita yang menyelamatkan bayi Musa AS saat dihanyutkan ibunya ke sungai demi menghindari pembunuhan bayi-bayi oleh Fir'aun.

Dari kisah Asiyah binti Muzahim, kita belajar bahwa kesalihan seorang istri tidak ditentukan oleh siapa suaminya, melainkan oleh hubungan spiritual dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Islam menegaskan bahwa setiap individu memiliki peluang yang sama untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi-Nya, asalkan mereka senantiasa taat dan istiqamah.

Jadi, menjadi istri salihah bukan berarti harus memiliki suami yang salih terlebih dahulu. Yang terpenting adalah komitmen pribadi dalam menjalankan perintah Allah dan menjaga iman di tengah berbagai ujian kehidupan.




(lus/inf)

Hide Ads