Suasana Ramadan di tanah rantau tahun ini begitu hangat. Kami berkesempatan merasakan momen buka bersama atas kedermawanan warga Bursa, ibu kota pertama Kesultanan Utsmaniyah (Turki Utsmani).
Perjalanan buka bersama pertama kami dimulai dengan berkumpul di salah satu stasiun pada sore hari. Sesampainya di gang, seorang nenek paruh baya menjemput kedatangan kami. Beliau mengantar kami menuju ke kediamannya dengan berjalan semangat seraya terus memperhatikan kami.
Tibalah di sebuah gedung apartemen, keluarga Turki itu menyambut dengan hangat kedatangan kami. Mereka membukakan pintu rumahnya dengan sambutan "Merhaba, Hoş Geldiniz" atau "Halo, Selamat Datang" dengan pelukan seakan-akan rindu yang telah lama terpendam terbayarkan saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kami dipersilahkan duduk seolah tamu kehormatan mereka telah berkunjung di waktu yang tepat. Kedermawanan mereka belum habis sampai di situ.
![]() |
Ada sesuatu hal yang menarik perhatian kami dalam tatanan meja makan orang Turki. Meja makan untuk perempuan ditempatkan lebih tinggi dari meja makan laki-laki. Saya dan teman-teman berspekulasi itu merupakan sebuah tradisi untuk menghormati kedudukan seorang perempuan. Namun, bisa saja itu bertujuan untuk lebih mengefisienkan tempat dan luas datar meja makan yang tidak mencukupi untuk jumlah tamu sebanyak kami.
![]() |
Makanan khas Turki seperti dolma, marul salatası, kurma, çorba, bombay goreng dan roti-rotian tersedia lengkap di meja makan.
Azan berkumandang, waktu berbuka telah tiba. Kami menyantap dengan nikmat makanan-makanan keluarga Turki ini. Kami tidak menduga sesi kedua dari makanan yang hanya menjadi menu pembuka itu adalah sup, nasi dan daging ayam.
Setelah menyantap semua hidangan itu, kami menunaikan salat berjamaah yang membuat salah satu dari keluarga Turki itu, ibu yang mengundang kami ke rumahnya untuk buka bersama di awal bulan Ramadan ini, meneteskan air mata. Haru yang biasanya kami rasakan kali ini berbeda. Namun, itulah indahnya Islam, menyatukan saudara muslim meskipun banyak pandangan sekularisme yang masih menyelimuti orang-orang Turki.
Saya menyadari bahwa teologi Islam yang tentunya dapat kita temukan di berbagai negara-negara Timur Tengah hingga ke Selat Bosphorus ini akan menjadi saksi bahwa keberagaman dan toleransi Islam ini menjadi sebuah pandangan yang tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang satu arah saja.
Momen buka bersama kami bersama warga Bursa ditutup dengan berdiskusi riang, sembari nge-çay (minum teh) juga disambut dengan manisan susu. Kami juga memberikan hadiah baju khas Indonesia sebagai sebuah hadiah kedermawanan dan rasa syukur kami.
--
Moh Andy Iqbal
Mahasiswa Jurusan Business Administration di Bursa Uludag University
PPI Turki
Artikel ini merupakan kolaborasi detikHikmah dengan PPI Dunia. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(kri/kri)
Komentar Terbanyak
Ketum PBNU Gus Yahya Minta Maaf Undang Peter Berkowitz Akademisi Pro-Israel
MUI Serukan Setop Penjarahan: Itu Bentuk Pelanggaran Hukum
BPJPH Dorong Kesiapan Industri Nonpangan Sambut Kewajiban Sertifikasi Halal