Ashabiyah

Kolom Hikmah

Ashabiyah

Aunur Rofiq - detikHikmah
Jumat, 28 Apr 2023 07:59 WIB
Aunur Rofiq
Foto: Ilustrasi: Zaki Alfaraby/detikcom
Jakarta - Dalam Islam fanatisme disebut dengan ashabiyah. Sebenarnya dalam kadar tertentu, ashabiyah sah-sah saja dan merupakan hal yang wajar. Ashabiyah dalam kadar yang terukur disebut solidaritas. Namun dalam kadar yang berlebihan, ashabiyah menjadi sesuatu yang tidak sehat. Karena itu dikenal sebuah istilah fanatik buta, dimana fanatisme membutakan pikiran individu.Ashabiyah ini diperlukan dalam kepemimpinan dan kekuasaan, hal ini terbukti beberapa Partai maupun Organisasi Kemasyarakatan yang unggul karena mempertahankan ashabiyah. Untuk Partai yang ingin berkembang akan meningkatkan sikap ini, dengan melakukan beberapa kegiatan seperti latihan kepemimpinan dan lain-lain.

Peran ashabiyah menurut Ibnu Khaldun, suatu suku mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu negara bila suku tersebut memiliki karakteristik sosial-politik tertentu atau ashabiyah. Karakteristik sosial-politik ini adalah kekuatan penggerak partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun negara. Ashabiyah juga mempunyai peran untuk perluasan negara yang sebelumnya sebagai landasan tegaknya negara tersebut. Bila ashabiyah kuat, maka negara akan luas, sebaliknya bila ashabiyah lemah, maka luas negara relatif terbatas.

Kekuasaan akan terpelihara jika rezim didukung oleh kekuatan partai politik penyokong dan kekuatan itu karena kader partai yang mempunyai kekuatan ashabiyah. Namun demikian, ingatlah bahwa kekuasaan itu membuat penguasanya mempunyai kecenderungan untuk melakukan korupsi. Disini peranan iman menjadi penting. Jika kaum beriman yang berkuasa, mereka selalu mengingat akan pengawasan oleh Sang Pencipta sehingga tindakannya tidak melebihi takarannya.

Ingatlah bahwa Allah Swt. mempunyai kuasa siapa yang dikehendaki berkuasa maupun terhina. Firman-Nya dalam surah ali-Imran ayat 26 yang berbunyi, "Katakanlah (Muhammad), "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu."

Jelas dalam ayat di atas agar utusan-Nya menyampaikan bahwa kekuasaan mengatur, mengurus, menetapkan dan mencabut, semuanya adalah di tangan-Nya. Pemilik kekuasaan dan menetapkan yang diberi kekuasaan maupun mencabut kekuasaan, maka jika seseorang hamba memperoleh kekuasaan janganlah menikmati kekuasaan itu dengan hidup berfoya-foya. Sebagian orang akan terpesona dengan kenikmatan dunia dan kadang menjadi tujuan hidupnya, inilah bahaya yang selalu mengintipnya dan saat berpaling pada-Nya maka tergelincirlah ia. Posisi saat berkuasa gunakanlah dengan menabur kebaikan dan jadikan wasilahmu untuk bekal akhirat yang memberatkan timbanganmu. Memang ujian sebagai penguasa akan jauh lebih berat daripada sebagai masyarakat kebanyakan. Namun tidak demikian bagi orang-orang beriman, hal itu sama ringannya karena tujuan hidupnya adalah akhirat dan mengambil dunia sesuai bagiannya saja, cukup tidak kurang dan tidak berlebih.

Kita kembali menyimak kehidupan sebelum Islam datang, solidaritas di kalangan masyarakat Arab dibangun berdasarkan hubungan darah. Kesukuan memegang peranan penting dalam masyarakat Arab. Seseorang bisa dilindungi atau diperangi karena faktor kesukuan. Sebuah konflik dan aliansi bisa terjadi karena faktor kesukuan juga. Maka pada masa pra Islam, fanatisme kesukuan sangatlah kuat.

Salah satu misi dari risalah Islam adalah mengganti fanatisme berdasarkan suku menjadi solidaritas berdasarkan ajaran agama. Hal ini berhasil dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad mengikat suku-suku yang berbeda bahkan agama yang berbeda dalam satu ikatan perjanjian yang dinamakan Piagam Madinah.Isi dari Piagam Madinah merupakan ruh dari undang-undang banyak negara. Penulis katakan bahwa tatakelola kenegaraan itu telah diatur dengan baik oleh Islam melalui Piagam Madinah itu.

Islam tidak mengajarkan ashabiyah yang berlebihan, solidaritas berdasarkan keyakinan ini yang bisa menumbuhkan Ukhuwah ( persaudaraan ) diantara umat muslim. Persaudaraan ini bisa menciptakan suasana saling tolong-menolong, nasihat-menasihati dan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidup. Peningkatan derajat ukhuwah ini akan menumbuhkan keeratan dalam hubungan antar orang dan antar organisasi, menumbuhkan ekonomi jika pemenuhan kebutuhan dapat diatasi sesama saudara.

Ashabiyah menjadi penting dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan hidup bergairah karena sosial dalam saling bantu-membantu, harga-menghargai dan saling memberi nasihat. Ashabiyah hendaknya dijauhkan dari Cinta yang berlebih maupun kebencian yang melewati batas. Penulis menutup dengan senandung syair :

Cinta dan Benci

Ketika cinta menjadi menu
Semua terlihat indah nan menawan
Sang kekasih tiada cela, seakan sempurna adanya
Mata tidak bisa menelisik keburukan, menjadi tumpul
Puja-puji selalu datang bagai banjir bandang
Kau lupa telah menoleh dan tiada memandang pada-Nya
Ketika kebencian menjadi selimutmu
Semua yang kau lihat hanyalah cacatnya
Cacian dan makian bagai senapan lepaskan peluru dari mulut
Itu beda cinta dan benci
Cinta hakikat hanya pada-Nya, bencilah pada maksiat

Semoga dengan memahami makna ashabiyah, cinta dan benci dapat menghindarkan terjadinya polarisasi di tengah masyarakat

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025

Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)


(erd/erd)

Hide Ads