Jakarta -
Bermodal nekat dan uang yang tak cukup, Devi merantau ke Bandung selepas SMA pada 2007 lalu. Kala itu perempuan dengan nama lengkap Devi Ulumit Tias itu bahkan tak tahu dari mana uang untuk melanjutkan hidup di Bandung.
Bukan tanpa tujuan, Devi berangkat ke Bandung untuk melanjutkan kuliah di ITB. Ibunya hanya membekali uang untuk daftar ulang sebesar Rp 3.050.000,00. Sementara, biaya hidup selanjutnya belum terbayang dapat dari mana.
Nasib di ITB Belum Terbayang
Devi sempat gap year sebelum akhirnya diterima di ITB. Dia memang sempat ditolak masuk kampus yang sama pada tahun sebelumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Devi mengaku sangat down kala itu. Tertuang juga pengalaman ini dalam suratnya kepada Imam Santoso pada 2011 lalu.
Saat itu Devi mengaku sempat takabur lantaran mendapat nilai tertinggi UAN di sekolah. Dia mengikuti les di bimbel di kecamatan dengan asal-asalan.
"Satu bulan menunggu pengumuman saya lewatkan dengan bersenang-senang, saya berpikir sebentar lagi akan meninggalkan daerah ini, yakin sekali diterima di Bandung. Itu semua karena saya tidak pernah tahu bahwa ITB diincar oleh banyak sekali orang pintar di luar sana. Saya seperti katak yang terkurung dalam batok kelapa, merasa dirinya paling pintar sedunia.
Tibalah tanggal 5 Agustus 2006, pengumuman SPMB jam 00.30. Saat itu saya ada di Primagama Ambulu, saya stand-by dari jam 15.00. Setelah dicek 3 kali, tulisan layar komputer tetap "maaf nomor peserta 106-76-00110 tidak diterima di jurusan mana pun".
Saya tidak percaya dengan tulisan itu. Begitu sadar jika tulisan itu benar, saya langsung lari ke kamar mandi dan menangis seperti orang gila, rasanya mau menghilang saja dari muka bumi ini. Seakan masa depan sudah tak ada lagi," bunyi surat itu.
Setahun kemudian Devi diterima di ITB. Namun, perjalananya juga tak mudah.
Sambil sesekali tertawa, Devi menceritakan bagaimana awal mula kehidupannya di ITB, yang dia akui sudah lupa masa-masa susah itu.
Perempuan asal Ambulu, Jember, Jawa Timur itu menceritakan saat itu dia diajak bersama-sama berangkat ke Bandung oleh kelompok mahasiswa asal Jember di Bandung. Dia dibantu oleh Imam Santoso, kakak tingkat sekaligus mentor yang kemudian menyebabkan paguyuban mahasiswa Jember tersebut mencarinya.
"Itu meskipun udah disiapkan jauh hari ya, maksudnya ingin ke ITB, tapi soal keuangan tuh enggak disiapkan karena memang ya buat sehari-hari aja enggak ada," ujar Devi kepada detikEdu (27/5/2024).
"Ibu saya ke mana-mana cari pinjaman, dapat pinjaman Rp 3 juta," ungkapnya.
Untuk daftar ulang Teknik Kelautan ITB kala itu masih kurang Rp 50 ribu, belum lagi bagaimana transportasi ke Bandung, biaya kos, dan sebagainya.
"Saya kan gap year, enggak punya sepatu. Dulu bayangannya kuliah harus pakai kemeja karena enggak tahu sama sekali kayak gimana kan kuliah di Bandung. Jadi yang penting ya udah saya berangkat bareng anak-anak paguyuban," jelasnya.
Dikurangi dengan biaya transportasi, makan, dan lainnya, modal Rp 3 juta pun berkurang menjadi tersisa Rp 2 juta sekian.
Tak makan 3 hari hingga jadi OB di jurusan >>>
Nekat Daftar Ulang dengan Uang yang Kurang
Devi menuju ke Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB meski dia tahu uangnya kurang untuk daftar ulang.
"Begitu dipanggil, saya enggak punya uang kan. Saya enggak tahu uang saya tinggal berapa waktu itu," kata Devi.
"Waktu itu saya sok iye gitu," ungkapnya sambil tertawa.
"Biarin aja lah kalau ITB enggak mau nerima. Meskipun saya pengin banget sih ya ke ITB. Biarin aja kalau ITB enggak mau nerima, yang rugi ITB enggak nerima saya yang semangat banget ini," lanjutnya.
Singkat cerita Devi yang saat itu berangkat ke ITB dengan persiapan kurang, diberi tahu bahwa dia tak dapat mendaftar ulang. Beruntung Devi masih bisa menjadi mahasiswa baru dengan jaminan penangguhan daftar ulang dari Imam Santoso, kini dosen Teknik Metalurgi ITB.
Devi pun diberi tahu pihak ITB untuk mencari beasiswa di sana. Dia pun berhasil melanjutkan kuliah dengan Beasiswa Sinarmas, meski bantuan yang didapat hanya untuk membayar uang kuliah.
"Saya waktu itu pun enggak pede, anak dari desa mau mencoba beasiswa-beasiswa yang bonafit kayak Tanoto, Total gitu saya enggak berani," ucapnya.
Tak Makan 3 Hari untuk Berhemat
"Tahun pertama saya itu paling berat," kenang Devi.
Dia menceritakan tahun pertamanya sebagai mahasiswa ITB begitu berat karena tidak ada kenalan, ada budaya yang berbeda, dan ke mana-mana berjalan kaki.
"Dulu saya sering banget enggak makan, tiga hari enggak makan dulu tuh, cuma minum air tok," kata Devi mengingat kembali.
"Sekarang ini kena mag jadinya. Dulu kuat, sekarang kali efeknya," sambungnya.
Dahulu Devi berjualan donat bukan untuk dana usaha (danus) seperti teman-temannya, melainkan untuk dirinya sendiri. Sebelum kelas, dia mengambil 2-3 boks donat untuk dijajakan.
"Orang tua saya sama sekali enggak ngirim, emang enggak ada. Saya juga bilang enggak usah ngirim," ujar Devi.
"Normalnya sih saya 10 ribu maksimal. Itu udah paling mantep maksimal 10 ribu sehari dulu," kata dia lagi.
"Saya juga cuci piring dulu di kafe dekat kosan. Pokoknya segala macam, ngelesin anak juga saya mau," sebutnya.
Devi mengenang, dahulu dia terkadang tidak masuk kuliah karena lapar, sehingga tidak bisa berpikir. Namun, seiring waktu, ada banyak teman di kos yang membantunya.
Jadi OB di Jurusan
Devi menceritakan ulang kehidupannya membaik saat tingkat kedua kuliah. Saat itu, dia sudah mendapatkan penjurusan. Devi menghadap ke kepala prodi dan menyatakan bahwa dirinya membutuhkan pekerjaan.
"Waktu itu saya kayak jadi OB gitu di prodi saya Teknik Kelautan. Sebelum teman-teman saya datang, saya datang duluan bikinin teh buat dosen-dosen. Dapat gaji itu Rp 600 ribu. Trus saya bantu fotokopiin, nge-scan. Jadi saya juga belajar teknologi," ungkap Devi.
"Problem saya itu saya enggak pede ke teknologi, ke bahasa Inggris. Saya pegang komputer takut. Jadi waktu saya berkesempatan kerja di prodi, sekalian saya berkesempatan belajar berani pegang komputer, fotokopi," ujarnya.
Sayang dia tak lama bekerja di prodi lantaran ikut diajak dalam kegiatan ospek ITB. Namun, ini rupanya membukakan keberuntungan yang lebih baik.
Devi diajak bekerja proyek bersama dosennya, dengan gaji yang sama Rp 600 ribu. Dari sinilah Devi mulai bisa mengirim uang untuk orang tuanya sebesar Rp 300 ribu.
Kerjaan proyek bersama dosen itu pun semakin baik. Pada tingkat empat, dia diberi motor, juga difasilitasi laptop.
"Sampai tingkat empat saya masih ngelakuin itu, tapi udah enggak jualan donat kayaknya karena proyek makin dipercaya. Jadinya makin banyak yang di kantor," jelas Devi.
Antar anak pedalaman ikut olimpiade >>>
Sempat Ikut Indonesia Mengajar dan Antar Siswa Olimpiade
Devi mengaku setelah lulus ingin mengikuti kegiatan yang baginya tidak biasa dan bermanfaat.
"Memang dulu tuh bener-bener pengin ke daerah, pengin bermanfaat," kata dia.
Akhirnya Devi pun ikut program Indonesia Mengajar di Musi, Banyuasin, Sumatera Selatan. Meski begitu, lantaran kondisi di daerah yang kurang, upah Indonesia Mengajar habis untuk kebutuhan anak didiknya.
"Kan saya bawa anak-anak ke olimpiade ya. Jadi saya belikan anak-anak alat-alat belajar. Misal saya pergi ke kota beli, jadi ya habis aja uang itu," kenangnya.
Saat masih kuliah pun Devi kerap melakukan tugas sosial. Dia sempat menjadi relawan di panti tunanetra.
"Dulu cara saya untuk tidak merasa paling sengsara, dengan saya jadi apa gitu. Saya suka banget datang-datang ke pemulung gitu. Ngobrol gitu, jadi kita enggak ngerasa susah sendirian gitu," ujarnya.
Menurut Devi, justru karena dia dahulu tidak memiliki apa pun, maka tidak takut kehilangan apa pun juga.
Masih Ingin Lanjut S3
Setelah ikut Indonesia Mengajar selama kira-kira setahun setengah, dia sowan ke dosen yang dahulu menawarinya bekerja di proyek dan akhirnya bekerja di sana hingga sekarang.
Ibu satu anak ini sambil bekerja juga melanjutkan jenjang magister Teknik Kelautan ITB dan sudah lulus pada 2022 lalu.
"Sebenarnya konsentrasi utamanya memang di sini, konsultan, tapi saya juga di kampus bantu-bantu ngajar sekarang," kata Devi.
"Kalau dulu istilahnya mungkin dosen muda ya, bukan asisten mata kuliah juga bukan," kata dia.
"Shadow teacher kali ya istilahnya," sebut Devi.
Ke depannya, Devi ingin menjadi dosen non-PNS di ITB dan ada keinginan untuk melanjutkan ke jenjang S3.
"Saya mikirnya, kalau semakin banyak terlibat pekerjaan profesi, tentu kita makin tahu apa aplikasi dari ilmunya. Itu bisa dibagikan ke mahasiswanya. Ya harus sekolah lagi tentu ya," ungkap Devi.
Simak Video "Video: Kesederhanaan Siswa Kurang Mampu di Pelosok Sumbar Lolos Masuk ITB"
[Gambas:Video 20detik]