Rabu (15/5/2024) malam lalu, nama Fandy Dawenan disebut di depan audiens Australian Alumni Gala Dinner: Perayaan 75 Tahun Hubungan Diplomatik Australia - Indonesia, di Hotel Raffles, Ciputra World, Jakarta. Fandy maju perlahan, membawa tongkat lipatnya sambil dipandu seorang perempuan menuju ke atas panggung.
Malam itu Fandy diumumkan menjadi penerima Penghargaan Australian Alumni Award kategori Mempromosikan Pemberdayaan Perempuan dan Inklusi Sosial. Fandy Dawenan adalah Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Provinsi Papua Barat Daya dan seorang guru di SMAN 10 Raja Ampat.
Fandy tunanetra nyaris 100 persen sejak lahir. Matanya dari dulu hanya bisa melihat bayang-bayang benda. Namun kondisinya ternyata tak menghalangi semangatnya untuk bersekolah, menimba ilmu bahkan hingga ke seberang, benua Australia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia meraih gelar Master Kebijakan dan Praktik Disabilitas dari Flinders University. Bagaimana kisah dan perjuangannya?
"Saya merasakan tiga sistem pendidikan untuk penyandang disabilitas. Yang pertama segregasi, yang kedua integrasi dan yang ketiga inklusi," jelas Fandy ditemui di sela-sela acara Gala Dinner, ditulis Senin (20/5/2024).
Segregasi itu, imbuhnya, disabilitas dipisahkan dari anak-anak yang non-disabilitas dalam hal ini Sekolah Luar Biasa (SLB) di bangku SD-SMP. Sistem integrasi dialaminya di bangku SMA di Makassar dan pendidikan sarjana di Universitas 45 Makassar (kini Universitas Bosowa-red).
"Jadi kampus cuma bilang, ya kamu silahkan masuk, tapi kami tidak menyediakan fasilitas khusus, tidak menyediakan guru khusus, bergantung sama siapa tidak ada. Jadi saya menyesuaikan diri saya, berupaya semaksimal mungkin semampu saya sehingga saya bisa selesai. Nah saya bersyukur tetap bisa selesai SMA dan S1," urai Fandy.
Cara Belajar Fandy dengan Kaset
Cara belajarnya saat itu, saat dosennya mengajar dia harus merekam pakai kaset tape. Membaca kamus pun sangat susah.
"Saya waktu SMA, kadang saya minta tolong teman saya bacakan buku paketnya, baru saya rekam. Di rumah saya putar lagi, saya dengar lagi. Nah itu kan, tapi kan orang tidak punya waktu banyak ya untuk meluangkan waktu, itu pasti kan orang punya kegiatan yang lain. Saya tidak selalu bisa dibantu. Nah sudah akhirnya dengan sering perkembangan teknologi makin canggih," kata dia.
Fandy juga mengaku tak sampai mengalami bullying akan kondisi berbedanya itu. Karena SD-SMP di SLB, jadi relatif aman. SMA, Fandy malah mendapatkan dukungan dari para teman-temannya.
"Waktu SMA juga karena pada dasarnya kalau SMA kan sudah mulai ke arah pemikiran yang lebih dewasa ya jadi anak-anak lebih menghargai. Cuman waktu itu memang yang mereka senang karena saya unggul di beberapa bidang studi tertentu, itu yang buat mereka jadi saling bantu. Misalnya kan saya kan memang suka bahasa Inggris dari dulu, mereka suka nanya ke saya kalau ada PR, segala macam. Jadi saya bantu mereka, mereka juga bantu saya di bidang studi yang lain. Akhirnya saya tidak menemukan bullying dan sebagainya itu yang saya rasakan," kesannya.
Perjuangan untuk Kuliah di Australia
Fandy sadar, perjuangan untuk berkuliah di Australia tentulah lebih berat dibanding nondisabilitas. Namun ternyata dia bisa mendapatkan beasiswa Australia Awards di Flinders University dan mengenyam pendidikan pascasarjana tahun 2018 hingga 2020.
"Kalau untuk master degree saya di tahun 2018 sampai 2020 di Flinders University," imbuhnya.
Ia menceritakan tantangan yang cukup berat karena sebagai seorang penyandang disabilitas apalagi di penglihatan, dia membutuhkan waktu yang lebih lama dalam tentunya belajar. Terutama meningkatkan kemampuan bahasa Inggris apalagi yang namanya tes IELTS.
"Nah itu kan butuh persiapan yang lama, jadi dengan adanya program-program dari Australia atau Universitas sangat membantu saya," ceritanya.
Metode belajarnya, adalah mengandalkan penggunaan audio melalui indera pendengarnya yang berfungsi sangat baik. Fandy pun banyak belajar dari materi online yang tersedia di internet seperti YouTube dan sebagainya. Saat mendapatkan beasiswa Australia Awards, ada program English Language Training Assistance (ELTA) yang disediakan untuk persiapan berkuliah di Australia.
"Saya digembleng 3 bulan di Bali waktu itu. Mempermantap kemampuan bahasa Inggris dan akhirnya pada tahun 2018 saya mendapatkan beasiswa Australia Awards itu. Jadi sangat membantu sekali program Australia Awards. Saya pertama kali ke Australia tahun 2012 lewat program short course bersama teman-teman Tunanetra," kisahnya.
Perkuliahan Inklusif di Australia
"Nah saya merasakan yang namanya pendidikan inklusi itu ketika saya berada di Australia. Kenapa saya mengatakan demikian? Karena sebelum masuk, sebelum perkuliahan saya ada mengikuti yang namanya asesmen dulu," tutur Fandy.
Fandy dinilai dan ditanya-tanya dulu seputar kebutuhan, kendala hingga detail ke materi kuliahnya. Pihak kampus juga menanyakan apakah Fandy membutuhkan tambahan waktu ketika mengerjakan tugas hingga soal pendamping studi.
"Itu semua terfasilitasi lewat beasiswa Australia Awards, bekerjasama dengan kampus saya di Flinders. Jadi ada namanya Disability Support System, atau Disability Support Center, di sana ketika saya ada masalah, saya konsultasi ke sana misalnya. Di kelas saya terkendali dengan materi yang ditulis di papan, mereka akan menyiapkan format Words buat saya. Bahkan sebelum perkuliahan mulai, semua materi sudah masuk ke dalam email saya dalam format digital, jadi saya bisa mengakses sendiri," tuturnya.
Culture shock yang dialami Fandy saat berkuliah di Australia adalah perkuliahan di Australia sangat disiplin. Baik itu jadwal kuliah hingga jadwal mengumpulkan tugas.
"Mungkin kaget juga dengan situasi pembelajaran di sana yang semua sudah terjadwal, tugas harus masuk sekian tanggal sekian, sangat disiplin banget itu menjadi tantangan sebenarnya, bukan kendala sih, tantangan," ucapnya.
Meski begitu, ia menuturkan bahwa sebagai penyandang disabilitas, ada beberapa privilege yang dia terima. Misalnya perpanjangan waktu tambahan untuk mengerjakan tugas, mengerjakan assignment. Misalkan ketikan teman-temannya dikasih deadline tanggal 20 Mei, ia bisa minta extend sampai 30 Mei atau bahkan awal Juni. Namun, tetap dengan syarat melampirkan hasil assessment sebagai penyandang disabilitas.
"Kalau tidak ada itu tentunya saya juga tidak bisa. Teman-teman yang lain bilang, kamu kok enak banget bisa dapat seperti itu saya bilang, 'Kamu mau nggak mata kamu kayak saya?'" ceritanya.
Terbantu Kecanggihan Teknologi
Meski awalnya Fandy harus belajar manual dengan metode audio dengan merekam kaset, kini bersyukur karena sudah sangat terbantu dengan kecanggihan teknologi. Salah satunya teknologi screen reader yang bisa dipasang di laptop.
"Saya tidak selalu bisa dibantu. Nah sering perkembangan teknologi makin canggih sekarang bahkan suara dari screen reader itu sudah sangat mirip dengan suara manusia. Jadi bagi saya tidak ada masalah, nyaman saja saya dengar bahkan speednya saya bisa atur, saya mau percepat, saya mau perlambat. Dengan itu saya bisa nyaman belajar dan kendala-kendala yang saya temui ketika di Australia sangat minim kecuali mungkin culture shock ya," jelasnya.
Teknologi juga yang membantu dirinya menyusun laporan ilmiah buat syarat kelulusan master. Pula, bahan-bahan laporan ilmiahnya sudah dalam bentuk format digital.
"Waktu itu saya kan masternya coursework ya, jadi lebih ke report. Tetap juga modelnya kayak tesis, cuman lagi-lagi semua saya kerjakan sendiri dengan komputer. Untungnya semacam jurnal, buku, semua itu kan sudah ada dalam format digital. Jadi itu saya baca lagi, pakai itu. Cuman memang waktunya agak lama, makanya waktu itu saya ingat saya minta extend hampir sebulan. Tapi disetujui aja sama dosennya, sama pembicara karena dengan alasan memang saya butuh itu saya sebagai penyandang disabilitas. Daripada saya kerja asal-asalan mending saya dikasih waktu tambahan agar bisa lebih optimal hasilnya," urai Fandy.
Mengajar Bahasa Inggris Siswa Nondisabilitas
Dengan kondisinya yang tunanetra, Fandy menjadi guru di SMAN 10 Raja Ampat, Papua Barat Daya. Dia mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Semua murid-muridnya adalah nondisabilitas.
"Ya, kalau untuk siswa-siswi saya itu, awal pertama saya ngajar memang mereka sempat kaget juga lihat kondisi saya 'Kok Bapak seperti ini'. Saya jelaskan jadi cara saya ngajar adalah tempat saya itu kan masuk wilayah 3T (Terluar-Terdepan-Tertinggal), listrik di sana hanya 6 jam, jam 6 sore sampai jam 12 malam. Jadi kalau malam itu materi saya print semua. Kami belum bisa pakai proyektor, kalau bisa pakai proyektor pasti lebih nyaman. Saya print materinya, saya bagiin ke siswa, setelah itu saya minta mereka baca sambil saya baca di depan," urainya.
Jadi setelah metode membaca bersama materi yang sudah disiapkan di kelas, murid-muridnya diberikan tugas. Tugasnya juga sudah dicetak malam sebelumnya.
"Itulah lagi-lagi saya bilang dengan adanya teknologi, sangat membantu," tuturnya.
Memberdayakan Disabilitas Netra
![]() |
Sekembalinya dari Australia, selain mengajar siswa nondisabilitas, Fandy juga mengupayakan untuk mengangkat teman-teman disabilitas netra lain untuk mengikuti jejaknya.
"Ada program namanya Australia Alumni Grant Scheme. Lewat program ini saya coba mengakses dan memasukkan proposal mengenai peningkatan kemandirian untuk teman-teman sesama saya penyandang disabilitas netra di Papua Barat Daya. Karena kalau dibandingkan dengan teman-teman disabilitas di provinsi lain, kami masih jauh tertinggal ya, makanya saya ke sana, saya lihat teman-teman saya butuh pelatihan-pelatihan terutama dalam bidang digital," harapnya.
Salah satunya bisa memberikan handphone (HP) dengan software canggih sesuai kebutuhan tunanetra. HP bagi tunanetra, lanjutnya, bukan buat gaya-gayaan melainkan sudah menjadi kebutuhan sebagai pengganti mata.
"Saya selalu katakan handphone itu bisa menjadi pengganti mata buat kami. Karena dengan handphone yang sudah dilengkapi dengan aksesibilitas yang berbagai macam aplikasi di dalamnya, sampai bahkan AI juga teman-teman tunanetra itu jadi melek sosial media, bisa menggunakan WhatsApps, bahkan bisa membaca tulisan yang tercetak di atas kertas hanya dengan menempatkan handphone di atas tulisan. Kemudian mereka juga bisa mengakses transportasi online, berhubungan dengan keluarga, teman, sehingga mereka makin meminimalkan ketergantungan terhadap orang lain. Nah itu yang menjadi harapan saya," tandas Fandy.
(nwk/faz)