Nekat Daftar Ulang dengan Uang yang Kurang
Devi menuju ke Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB meski dia tahu uangnya kurang untuk daftar ulang.
"Begitu dipanggil, saya enggak punya uang kan. Saya enggak tahu uang saya tinggal berapa waktu itu," kata Devi.
"Waktu itu saya sok iye gitu," ungkapnya sambil tertawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biarin aja lah kalau ITB enggak mau nerima. Meskipun saya pengin banget sih ya ke ITB. Biarin aja kalau ITB enggak mau nerima, yang rugi ITB enggak nerima saya yang semangat banget ini," lanjutnya.
Singkat cerita Devi yang saat itu berangkat ke ITB dengan persiapan kurang, diberi tahu bahwa dia tak dapat mendaftar ulang. Beruntung Devi masih bisa menjadi mahasiswa baru dengan jaminan penangguhan daftar ulang dari Imam Santoso, kini dosen Teknik Metalurgi ITB.
Devi pun diberi tahu pihak ITB untuk mencari beasiswa di sana. Dia pun berhasil melanjutkan kuliah dengan Beasiswa Sinarmas, meski bantuan yang didapat hanya untuk membayar uang kuliah.
"Saya waktu itu pun enggak pede, anak dari desa mau mencoba beasiswa-beasiswa yang bonafit kayak Tanoto, Total gitu saya enggak berani," ucapnya.
Tak Makan 3 Hari untuk Berhemat
"Tahun pertama saya itu paling berat," kenang Devi.
Dia menceritakan tahun pertamanya sebagai mahasiswa ITB begitu berat karena tidak ada kenalan, ada budaya yang berbeda, dan ke mana-mana berjalan kaki.
"Dulu saya sering banget enggak makan, tiga hari enggak makan dulu tuh, cuma minum air tok," kata Devi mengingat kembali.
"Sekarang ini kena mag jadinya. Dulu kuat, sekarang kali efeknya," sambungnya.
Dahulu Devi berjualan donat bukan untuk dana usaha (danus) seperti teman-temannya, melainkan untuk dirinya sendiri. Sebelum kelas, dia mengambil 2-3 boks donat untuk dijajakan.
"Orang tua saya sama sekali enggak ngirim, emang enggak ada. Saya juga bilang enggak usah ngirim," ujar Devi.
"Normalnya sih saya 10 ribu maksimal. Itu udah paling mantep maksimal 10 ribu sehari dulu," kata dia lagi.
"Saya juga cuci piring dulu di kafe dekat kosan. Pokoknya segala macam, ngelesin anak juga saya mau," sebutnya.
Devi mengenang, dahulu dia terkadang tidak masuk kuliah karena lapar, sehingga tidak bisa berpikir. Namun, seiring waktu, ada banyak teman di kos yang membantunya.
Jadi OB di Jurusan
Devi menceritakan ulang kehidupannya membaik saat tingkat kedua kuliah. Saat itu, dia sudah mendapatkan penjurusan. Devi menghadap ke kepala prodi dan menyatakan bahwa dirinya membutuhkan pekerjaan.
"Waktu itu saya kayak jadi OB gitu di prodi saya Teknik Kelautan. Sebelum teman-teman saya datang, saya datang duluan bikinin teh buat dosen-dosen. Dapat gaji itu Rp 600 ribu. Trus saya bantu fotokopiin, nge-scan. Jadi saya juga belajar teknologi," ungkap Devi.
"Problem saya itu saya enggak pede ke teknologi, ke bahasa Inggris. Saya pegang komputer takut. Jadi waktu saya berkesempatan kerja di prodi, sekalian saya berkesempatan belajar berani pegang komputer, fotokopi," ujarnya.
Sayang dia tak lama bekerja di prodi lantaran ikut diajak dalam kegiatan ospek ITB. Namun, ini rupanya membukakan keberuntungan yang lebih baik.
Devi diajak bekerja proyek bersama dosennya, dengan gaji yang sama Rp 600 ribu. Dari sinilah Devi mulai bisa mengirim uang untuk orang tuanya sebesar Rp 300 ribu.
Kerjaan proyek bersama dosen itu pun semakin baik. Pada tingkat empat, dia diberi motor, juga difasilitasi laptop.
"Sampai tingkat empat saya masih ngelakuin itu, tapi udah enggak jualan donat kayaknya karena proyek makin dipercaya. Jadinya makin banyak yang di kantor," jelas Devi.
Antar anak pedalaman ikut olimpiade >>>
Simak Video "Video: Kesederhanaan Siswa Kurang Mampu di Pelosok Sumbar Lolos Masuk ITB"
[Gambas:Video 20detik]