Kasus Kekerasan Anak Bagaikan Gunung Es, Kemen PPPA Ungkap Fakta Ini

ADVERTISEMENT

Kasus Kekerasan Anak Bagaikan Gunung Es, Kemen PPPA Ungkap Fakta Ini

Devita Savitri - detikEdu
Senin, 13 Nov 2023 17:00 WIB
Sejumlah anak membentangkan poster saat memperingati Hari Anak Nasional pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (23/7/2023). Kegiatan yang diikuti ratusan pelajar sekota Surabaya guna menyerukan berbagai aspirasi diantaranya stop kekerasan pada anak, stop perkawinan usia dini dan stop mempekerjakan anak. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/YU
Foto: ANTARA FOTO/DIDIK SUHARTONO
Jakarta - Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu jelaskan keadaan kasus kekerasan anak di Indonesia.

Ia menjelaskan pihaknya selalu melakukan survei nasional setiap tiga tahun sekali. Hingga saat ini, data terakhir yang dimiliki Kemen PPPA adalah data tahun 2018 dan 2021.

"Dari kedua data tersebut ditemukan bila kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia menurun. Walaupun total secara keseluruhan kasus masih tetap tinggi hingga puluhan juta," ujarnya.

Hal tersebut disampaikan Pribudiarta dalam acara Dialog Forum Merdeka Barat 9 yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI secara daring, Senin (13/11/2023).

Kasus Kekerasan Anak Bagaikan Gunung Es

Dengan data yang diperoleh, Pribudiarta menyatakan kasus kekerasan anak di Indonesia bagaikan gunung es. Publik hanya melihat sedikit kasus kekerasan namun secara total yang tak terlihat sangat besar.

Secara prevalensi, ia mengatakan setidaknya 4 dari 10 anak perempuan pernah mengalami kekerasan. Sedangkan untuk anak laki-laki setidaknya 3 dari 10 anak pernah mengalami kekerasan.

"Kekerasan yang kami maksud di sini adalah kekerasan fisik, psikis dan kekerasan seksual. Itulah gambaran gunung es terkait kasus kekerasan kepada anak saat ini," tambahnya.

Karena dilakukan setiap tiga tahun sekali, Budiarta mengaku Kemen PPPA akan melakukan survei nasional kembali terkait hal ini di tahun 2024 mendatang.

Melalui survei ini akan dilihat berbagai program yang dilakukan pemerintah termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kemendikbudristek sudah efektif atau tidak.

Sekolah dan Rumah Menjadi Tempat Kekerasan Anak Paling Tinggi

Lebih lanjut, Pribudiarta menjelaskan sekolah dan rumah menjadi tempat terjadinya proses kekerasan anak paling tinggi dilakukan. Terkait pelaku, ia menyatakan sosok yang paling dikenal oleh anak menjadi faktor yang paling memungkinkan melakukan kekerasan.

"Pelakunya paling banyak adalah orang yang paling dikenal anak dan berada di sekitar anak. Termasuk orang tua," tutur Pribudiarta.

Sedangkan berbicara faktor mengapa kekerasan pada anak bisa terjadi, ia menyatakan kemiskinan dan ketidakmampuan mengasuh orang tua menjadi hal yang harus diperhatikan.

Menurutnya, banyak orang tua menganggap bila 'keras' kepada anak termasuk dalam langkah mendisiplinkan anak. Padahal menurutnya, itu hanyalah dalih semata untuk melakukan kekerasan.

Faktor lain yang mendukung kekerasan pada anak adalah rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan mental. Kasus terkait faktor ini meningkat pada era Covid-19 di tahun 2020-2021 lalu.

"Pada masa itu, orang tua dipaksa untuk menjadi guru. Dengan banyaknya tekanan lain, anak kerap menjadi korban kekerasan," bebernya.

Peran Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023

Ai Maryati Solihah, Ketua KPAI juga mengatakan hal serupa. Ia menyatakan bila sekitar 60 persen anak-anak mendapat kekerasan pada saat belajar di rumah kala Covid-19.

"Faktornya eskalatif dari mulai olok-olok dan meningkat menjadi dicubit, dijambak, ditendang, dipukul. Sehingga angka kekerasan sangat besar ketika masa pandemi di dalam rumah," ungkapnya.

Akibatnya fatal, anak-anak mulai mencari kegiatan di luar rumah seperti bekerja menjadi badut, manusia silver, hingga pengemis lainnya. Ai menyatakan data per tahun 2020-2021 pekerja anak di luar rumah meningkat tinggi meski di tahun 2019 sudah turun drastis.

Dengan demikian ketika keadaan kembali berjalan normal, Ai menyatakan banyak hal yang perlu diperhatikan pemerintah. Terutama dalam dampak psikologis.

"Ada dampak psikologis yang dirasakan anak-anak termasuk guru dan tenaga kependidikan di sekolah. Situasi transisi perlu dikawal bersama," tambahnya.

Dengan demikian, ia menyatakan kini dunia pendidikan telah memiliki capaian yang baik lantaran hadirnya Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidikan (PPKSP).

Meski harus terus digerakan berbagai upaya agar status darurat kekerasan anak ini bisa menurun di waktu mendatang.


(det/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads