Menteri PPPA Ungkap 1 dari 4 Perempuan di RI Pernah Jadi Korban Kekerasan

Menteri PPPA Ungkap 1 dari 4 Perempuan di RI Pernah Jadi Korban Kekerasan

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Minggu, 20 Apr 2025 18:03 WIB
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Kecamatan Semarang Selatan,Minggu (20/4/2025).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Kecamatan Semarang Selatan, Minggu (20/4/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menyebut satu dari empat perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan. Selain itu, lebih dari separuh remaja usia 13-27 tahun juga pernah mengalami kekerasan.

Hal itu dikatakan Arifah dalam acara Peluncuran Relawan Paralegal Muslimat NU di Gedung Gradhika, Kantor Gubernur Jateng, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang.

"Hasil survei pengalaman perempuan tingkat nasional, satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan, baik kekerasan seksual maupun kekerasan yang lainnya," kata Arifah di Gedung Gradhika, Minggu (20/4/2025).

Arifah mengungkapkan, dalam survei tersebut, kekerasan yang paling banyak terjadi justru di lingkungan keluarga.

"Sementara hasil survei pengalaman hidup anak dan remaja 51 persen anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan, dan yang paling tinggi jenisnya adalah di tingkat emosional," ungkapnya.

Kondisi ini, kata Arifah, menuntut kerja kolaboratif dari pemerintah serta masyarakat. Temuan soal kekerasan terhadap perempuan dan anak itu pun menjadi salah satu dasar kuat perlunya penguatan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, termasuk lewat peluncuran Paralegal Muslimat NU.

"Paralegal muslimat NU ini penting untuk mendampingi masyarakat di tingkat grassroot ketika melihat atau mengalami kekerasan terhadap perempuan atau anak," jelasnya.

Ia mengatakan, Kementerian PPPA menyambut baik peran Paralegal Muslimat NU yang telah dilatih secara bertahap untuk mendampingi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.

Dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, Kementerian PPPA memiliki tiga program prioritas nasional, yaitu Ruang Bersama Indonesia, penguatan call center SAPA 129, dan pengembangan satu data perempuan dan anak berbasis desa.

"Kami dari kementerian menganalisa salah satu penyebab kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak. Salah satu penyebabnya adalah pola asuh dalam keluarga," ungkapnya.

Selain itu, kata Arifah, kekerasan terhadap perempuan dan anak juga disebabkan pengaruh media sosial dan lingkungan, sehingga menurutnya harus ada penguatan lingkungan.

Ia berharap, sukarelawan paralegal nantinya tak hanya penting secara hukum, tetapi juga menjadi penguat keberanian korban untuk bersuara dan pulih.

Di kesempatan yang sama, Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen menyoroti peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, dan disabilitas.

Taj Yasin mengaku prihatin terhadap kenaikan jumlah kasus kekerasan di Jateng selama beberapa tahun terakhir sejak 2022.

"Kita lihat data dari tahun 2022 ada sebanyak 939 kasus (korban perempuan). Lalu ada kenaikan tahun 2023 jadi 1.019 kasus. Lalu korban anak naik dari 1.214 menjadi 1.349. Naiknya signifikan, masif," kata Taj Yasin, Minggu (20/4).

Namun di sisi lain, menurutnya, hal ini menandakan meningkatnya keberanian masyarakat untuk melapor.

"Di sisi lain kami senang, karena yang terungkap semakin meningkat. Semakin meluas masyarakat terhadap permasalahan perempuan dan anak. Masyarakat Jateng perempuan dan anaknya berani menyuarakan permasalahan yang dihadapinya," ungkapnya.

Ia mengatakan, budaya Jawa yang cenderung sungkan sering membuat korban enggan mengungkapkan kekerasan yang dialaminya. Bahkan, banyak korban masih dihantui perasaan bersalah karena pelaku berasal dari lingkungan sekitar.

"Memang mungkin budaya Jawa. Mau ngomong permasalahannya, kasusnya, itu ada 'pekewuh', nggak enak atau merasa nanti disalahkan. Wis (sudah) jadi korban tapi masih dihantui perasaan karena pelakunya di lingkungan kita," jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, dilaksanakan pula peluncuran Paralegal Muslimat NU Jateng. Ia menegaskan, kehadiran paralegal Muslimat NU menjadi penting untuk memperkuat perlindungan terhadap anak, perempuan, dan disabilitas.

Ia menyebut, program paralegal aman terhubung dengan program Kecamatan Berdaya yang menjadi salah satu upaya untuk memberikan pendampingan komprehensif, tidak hanya dari sisi hukum, tetapi juga ekonomi, pendidikan, dan mental korban.

"Pendampingannya bukan hanya hukum, tapi juga bagaimana korban bisa berdaya. Kita dampingi terkait ekonominya, tetap mendapat pendidikan yang baik, nggak malu kembali ke sekolah atau pondok pesantren," jelasnya.

Ia juga menyinggung masalah pernikahan dini yang berujung pada persoalan kesehatan, termasuk temuan pasangan muda yang mengidap HIV sebelum menikah. Ini disebutnya sebagai persoalan serius yang harus menjadi perhatian bersama.

"Permasalahan itu lebih parah lagi, bukan hanya kekerasan. Tapi ada yang Aids. Di beberapa kabupaten ada yang menikah usianya belum cukup, ini menjadi permasalahan pernikahan dini. Ternyata setelah menikah, hasil kesehatan dua-duanya mengidap HIV," jelasnya.

Program Kecamatan Berdaya dan Peluncuran Paralegal Muslimat NU pun menjadi bentuk upaya Pemprov Jateng untuk memperkuat pencegahan dan pendampingan agar kekerasan dan persoalan kesehatan tidak berulang di kemudian hari.


(ahr/rih)


Hide Ads