Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang dibolehkannya kampanye di lingkungan kampus tanpa atribut menuai respon dari banyak pihak, salah satunya dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Irfa'i Afham.
Menanggapi putusan MK tersebut, Irfa'i membeberkan dampak dan tantangan jika hal tersebut terjadi. Menurutnya, masuknya politik ke dalam kampus tak bisa terelakkan terlebih saat dinamika politik semakin dinamis.
"Saya sepakat dengan kehidupan politik yang dinamis di lingkungan kampus karena di kampus menjadi tempat lahirnya ide-ide politik besar dan alternatif dalam konteks berbangsa dan bernegara,"kata Irfa'i dikutip dari laman Unair, Senin (28/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan adanya politik di kampus tak bisa terlepas dari sejarah yang pernah ada. Irfa'i mengatakan periode otoritarian di Indonesia lah yang membawa dampak partisipasi politik di kampus.
"Kita mengalami 32 tahun era otoritarian di bawah pemerintahan Soeharto. Dampaknya adalah pasifnya keterlibatan politik di kampus. Mahasiswa dan dosen yang berpendapat kritis sering ada anggapan sebagai ancaman, bukan sebagai potensi untuk mengembangkan ide-ide besar dalam politik," ucap Irfa'i.
Jaga Batasan dari Politik Praktis
Meski kampus merupakan wadah mahasiswa dalam belajar berpolitik, namun mahasiswa harus tetap menjaga batasan sehingga tak ikut masuk ke dalam politik praktis.
"Batasan yang diperlukan adalah bagaimana institusi pendidikan tetap menjaga diri dari campur tangan dalam politik praktis yang hanya fokus pada kemenangan dalam pemilu. Tetapi seharusnya juga mengarah pada agenda lebih besar yang terkait dengan nasionalisme," ujar Irfa'i.
Irfa'i menyebut bahwa mahasiswa para penyelenggara kampanye di kampus harus tetap memperhatikan etika. Menurutnya, isu anti korupsi harusnya menjadi agenda utama untuk ditanamkan di kampus lewat ajang politik ini.
"Agenda anti korupsi seharusnya menjadi agenda utama dalam memperkuat budaya politik di kalangan mahasiswa, yang mencakup pembentukan karakter yang toleran dan demokratis," kata Irfa'i.
Dampak Kampanye di Kampus bagi Mahasiswa
Irfa'i tak menampik bahwa kampanye di kampus memiliki dampak baik dan buruk bagi bagi mahasiswa. Dampak baiknya, Irfa'i menyebut kampanye bisa membentuk kultur kritis yang sehat bagi mahasiswa. Hal tersebut sebagaimana praktik kampanye yang ada di kampus-kampus luar negeri.
"Ketika saya belajar di Eropa, khususnya di Prancis, saya melihat suasana politik yang dinamis di mana mahasiswa, calon legislatif, calon walikota, dan calon presiden berdiskusi tentang gagasan-gagasan. Ini sangat penting dalam membangun kultur kritis di kalangan mahasiswa," katanya.
Adapun dampak buruk kampanye di kampus menurut Irfa'i adalah bisa menimbulkan intoleransi.
"Saya pikir beberapa pemilu terakhir yang mencuatkan intoleransi akan tetap melekat dalam ingatan bangsa, termasuk di kalangan pelajar. Di sini, pihak akademik harus tegas dalam mengatur batasan dan sanksi," ujarnya.
Untuk itu, menurutnya pemerintah dan lembaga pengawas harus bisa mengawasi kampanye di kampus ini agar politik di kampus tetap sehat.
"Dalam menghadapi situasi ini, kampus-kampus yang memiliki otonomi perlu merumuskan aturan yang mengayomi agar politik di kampus tetap sehat. Dengan mengambil langkah bijak, putusan MK ini dapat menjadi peluang untuk membangun politik yang lebih dinamis setelah lebih dari dua dekade reformasi," ucapnya.
(cyu/pal)